Selasa, 26 April 2011

"MENINGGALKAN MINA.....'KEROKAN' DI TEMPAT TRANSIT..."


(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)

( 13 )


Selamat Tinggal Mina.......


 Released by mastonie on Tuesday, April 26, 2011 at 06.34 pm


Terharu biru meninggalkan Mina…..

melempar jumroh terakhir                             foto2: mastonie
Karena jemaah haji Anubi sejak awal diputuskan mengambil Nafar Awal, maka sehabis melempar tiga jumroh (Ula, Wustha dan Aqobah) untuk kedua kalinya, rombongan akan segera ‘check out’ dari tenda Maktab 82 di Mina untuk menuju ke kota Mekah.
Yang dimaksud dengan istilah Nafar Awal adalah: apabila jemaah haji hanya melempar jumroh Aqobah satu kali dan melempar tiga jumroh sebanyak 2 kali selama mabit di Mina. Sehingga jumlah batu yang dilempar hanya sebanyak 49 butir saja ( 7 butir untuk melempar Aqobah + 2 x melempar 3 jumroh @ 7 butir). Jemaah haji yang mengambil nafar awal sudah harus meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah. 
Alhamdulillah, akhirnya saya bisa 'bangkit' kembali dari tempat (lebih tepatnya alas) tidur. Disiang hari menjelang asar, saya paksakan diri ikut rombongan jemaah haji Anubi pergi melempar tiga jumroh , Ula, Wustha dan Aqobah untuk yang kedua kalinya (terakhir untuk nafar awal). Saya merasa badan sangat berat dan tulang terasa ngilu semua bagaikan habis dikeroyok Hansip dua kompi! Terseok-seok saya berjalan perlahan dalam barisan menuju lokasi jamarat. Semangat saya  terbangkitkan melihat betapa masih banyak jemaah haji dirombongan lain yang saya jumpai dijalan berusia lebih tua dari saya.  Mereka tampak begitu bersemangat walaupun tak dapat menyembunyikan wajah tua dan keletihannya. 
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada saya melempar ketiga jumroh masing-masing dua kali  dengan tujuh butir batu (karena saya harus meng-haji ba'dalkan almarhum ayah saya).

'numpang nampang' diluar lokasi jamarat
Tunai sudah janji saya. Usai sudah tugas terberat yang harus saya laksanakan sebagai bagian dari rukun haji. Kini saya merasa badan saya seperti melayang, ketika dipapah istri saya keluar dari kerumunan orang yang ribuan jumlahnya. Walaupun barangkali wajah saya yang terbungkus jaket 'ponco' (hadiah dari anak lelaki saya) tampak 'awut-awutan' karena menahan rasa sakit dan kelelahan, masih saya sempatkan untuk berpose bersama istri didepan lokasi Jamarat yang kini bagaikan sebuah "Mal" besar bertingkat empat atau lima itu. Kenangan yang pasti tak akan terlupakan. 
Hari menjelang Magrib ketika tiga buah bus (nomor 2, 3 dan 4) meninggalkan Mina.
Duduk meringkuk menahan sakit dan kelelahan didalam bus no 4, hati saya tercekat.
Sebentar lagi Mina akan menjadi tanah kosong kembali. Padahal pada waktu mabit, ‘penduduk’ Mina bisa lebih dari dua juta orang yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Sungguh sebuah tempat (selain padang Arafah) yang sangat mulia dan istimewa.
Sulit rasanya menahan perasaan haru yang tiba-tiba saja menyerbu kalbu.
Akan mampukah saya datang lagi ke Mina pada suatu waktu nanti dikelak kemudian hari?
Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang tahu segalanya. Namun saya terus berdoa.
Persis seperti doa saya didepan Multazam saat Umroh Ramadhan pada tahun 1992 dahulu:

(“Ya Allah ijinkanlah saya datang kembali memenuhi panggilan Mu baik untuk ber haji maupun ber umrah, baik sendiri maupun bersama keluarga. Dan dengan kebesaran kuasa Mu mohon ijinkan  kami sekeluarga untuk dapat mengunjungi tanah suci Mu bukan hanya untuk sekali saja. Amien Ya Rabbal Alamin”).


‘Tragedi kerokan' terulang lagi……

Magrib telah tiba ketika dua buah bus (bus no 3 dan bus no 4) merapat kesebuah gedung yang mirip sebuah apartemen. Tapi kondisi bangunannya sangat sederhana sekali. Entah berada didaerah mana.
(Menurut ceritera istri saya yang sempat berjalan-jalan disekitar pemondokan atau apartemen itu  pada malam dan siang harinya,  daerah itu masih berada diwilayah Aziziah).
Mengapa hanya ada dua bus yang berhenti disini? 
Bus nomor 2 tanpa koordinasi ternyata terus ngacir menuju kota Mekah.
Saya yang masih ‘setengah sehat’, agak bingung. Karena dalam buku panduan disebutkan, setelah meninggalkan Mina jemaah Anubi akan tidur dihotel di Mekah.
Pengurus Anubi Travel kemudian menjelaskan, bahwa karena adanya percepatan waktu atau dimajukannya waktu wukuf selama sehari (tanggal 9 Dzulhijjah 1428 H semula diperkirakan  jatuh pada tanggal 19 Desember, tapi Raja Arab Saudi -yang memang mempunyai kewenangan mutlak untuk menentukan- entah dengan alasan apa, memajukan waktu wukuf menjadi tanggal 18 Desember 2007), maka kacau balaulah rencana akomodasi yang disusun. Seluruh hotel di Mekah rupanya mengalami pergeseran ‘waktu tinggal’ semua penghuninya. Ini menyebabkan jemaah haji Anubi pada malam itu belum bisa ‘check in’ dihotel yang sudah tertulis dalam buku panduan dan jadwal acara.
Penumpang bus no 3 dan 4 tidak kuasa menolak lagi. Terpaksa malam hari ini kita menginap ditempat transit yang sederhana itu. Makanpun dijatah dengan nasi bungkus seadanya. Namanya juga keadaan darurat. Tapi kita semua menganggap hal tersebut sebagai bagian dari ujian (dalam bentuk yang lain lagi) kepada jemaah haji yang harus diterima dengan sabar dan tawakal.
Dilantai 3, saya mendapatkan kamar sederhana yang berisi 4 – 6 dipan, bersama 3 orang jemaah yang berasal dari bus 3. Malam hari itu badan saya meriang lagi. Batuk kembali menyerang dengan ganasnya. Saya nyaris putus asa karena lelah terus menerus batuk, padahal sudah minum segala macam obat yang diberikan oleh dokter Naryo.  

kerokan ditempat transit
Tiba-tiba saya teringat nasehat perawat di Poliklinik Haji Indonesia (juga terletak di daerah Aziziah) pada saat saya menderita batuk ketika pergi haji limabelas tahun yang lalu: 
“Batuk? Kerokan saja pak”.
Saya terpaksa memanggil istri saya yang tidur dikamar lain. Saya minta dia melakukan "ritual" penyembuhan tradisional itu: kerokan.
Alhasil karena saran dokter Naryo yang menetapkan bahwa kondisi tubuh saya harus terus dipantau, istri saya mendapat dispensasi untuk tidur didekat saya (tentu didipan yang berbeda) dikamar yang semua penghuninya lelaki.   
Namanya juga keadaan darurat.                                                     
Tapi rupanya ada yang merasa tidak ‘enak hati’. Seorang penghuni kamar (sebut saja namanya Pak Haji "O") merelakan dirinya untuk berjalan-jalan saja diluar apartemen sambil menunggu subuh tiba, daripada tidur dalam kamar yang ada “penghuni gelap”nya: seorang wanita yang bukan mahramnya. 
Saya tak mampu untuk mencegahnya. Maafkan saya Pak Haji.
Demikian tadi  sekilas info tentang ‘nasib’ penumpang bus no 3 dan 4.
Penumpang bus no 2 rupanya bernasib tidak lebih baik.
Setelah tiba di hotel yang ditentukan dikota Mekah, ternyata kamar yang sudah dipesan belum tersedia, karena masih dihuni oleh jemaah dari negara lain yang baru akan check out esok hari. Walaupun (konon) terjadi perdebatan seru antara Pengurus Anubi dengan Petugas  front office Hotel, tetap saja jemaah haji Anubi tidak diijinkan check in pada malam hari itu.
Jadi para penumpang bus nomor 2  terpaksa bermalam dengan menggelar alas seadanya dilobi hotel.
Masih lumayan nasib penumpang bus 3 dan 4 yang meskipun berada dalam kamar sederhana , tapi dapat nyenyak tidur diatas dipan dan masih mendapat jatah makan.
Penumpang bus no 1 tidak perlu diceritakan lagi. Mereka kan jemaah super VVIP yang sejak awal tidak pernah beringsut meninggalkan kamar hotel mewahnya.


bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar