Sabtu, 02 April 2011

"MENDAGRI SOEPARDJO ROESTAM JATUH SAKIT"



      (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (46)


      Kisah sedih di Bulan Puasa.

Pertengahan bulan Mei tahun 1986 adalah awal bulan puasa.
Seperti biasa jam kerja di instansi Pemerintah dan swasta  disesuaikan dengan suasana bulan puasa. Tapi aturan itu tidak berlaku bagi staf Pribadi Mendagri. Termasuk Satuan Polisi Pamong Praja yang bertugas jaga dikediaman Mendagri.
Selama menjabat Mendagri, Pak Pardjo mempunyai dua orang Ajudan dinas (saya dan dik Syaiful)  yang piket bergantian tiap 2 hari sekali.
Pada hari Kamis Wage tanggal 22 Mei 1986 pagi karena mendapat giliran "on duty", sehabis sahur saya langsung meluncur kekediaman Mendagri di Jl.  Widya Chandra. 
Saya agak heran, tidak biasanya sepagi itu sudah kelihatan ada kesibukan dirumah Pak Menteri. Begitu turun dari mobil salah seorang Polisi Pamong Praja lari mendekat:
“Pak Tony, Bapak sakit, tadi habis sahur tiba-tiba ibu turun mencari dokter”
Saya agak terkejut. Kemarin dik Syaiful tidak berkata apa-apa sewaktu turun dinas. Biasanya kalau terjadi sesuatu yang tidak biasa, pasti kita saling kontak. Atau ditulis sebagai “pending matters” (masalah yang belum tuntas) dibuku serah terima Ajudan.
Saya juga tidak melihat ada tanda-tanda Pak Pardjo kurang sehat. 
Memang sejak terjadi “kisruh” pada Konggres III PDI di Medan, Mendagri jadi sangat sibuk. Hampir setiap hari ada rapat dengan Dirjen Sospol Depdagri dan fihak-fihak yang sedang bertikai. Walaupun akhirnya semua beres, tapi proses “membereskannya” termasuk sangat menguras tenaga dan pikiran. Maklum, ini ‘test case’ terberat pertama yang dialami Pak Pardjo sejak menjabat sebagai Mendagri. Dan karena kesibukan itu, akhir-akhir ini memang Pak Pardjo agak kendor berolah raga. Biasanya beliau main tenis, sekurangnya sekali seminggu. Main golf juga sangat jarang. Paling kalau ada yang mengundang, belum tentu sebulan sekali.
“Sudah ada dokter yang datang?” saya bertanya.
“Sudah pak, Pak Menkes sendiri tadi yang datang dan sudah memeriksa Bapak. Kita sedang menunggu ambulans dari RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina)”
Saya baru ingat, Pak Soewardjono Soerjaningrat, Menteri Kesehatan yang juga seorang dokter, tinggal bersebelahan rumah dengan Pak Mendagri.
Bergegas saya lari masuk kedalam. Kalau sampai harus memanggil ambulans, ini pasti sakit yang serius. Suasana dilantai atas (kamar bapak dan ibu ada dilantai dua) agak ramai. Beberapa adik Bu Pardjo sudah tampak berkumpul. Saya tidak berani menengok kedalam kamar tidur. 
Selama ini ajaran orang tua  saya adalah menghargai “privasi” siapapun. Kamar tidur adalah kamar  yang sangat pribadi bagi seseorang. Dulu kalau mau masuk kekamar bapak ibu saya sendiripun saya harus minta ijin dahulu. Paling tidak harus mengetuk pintu.  
Ketika mobil ambulans dari RSPP tiba, saya ikut petugas paramedisnya yang membawa tandu naik kelantai atas lagi. Saat itulah saya baru melihat kondisi Pak Pardjo. 
Tergolek lemah ditempat tidur, kedua matanya terpejam. Bu Pardjo berada disampingnya sambil memijat tangan suami tercintanya. Wajah Pak Pardjo kelihatan sangat pucat. Rambutnya yang sudah mulai menipis tampak tak tersisir.
Dengan cekatan petugas paramedis langsung  membawa Pak Pardjo turun kelantai bawah. Agak susah, karena tangga naik kelantai dua itu selain sempit juga berbentuk huruf “U”. 
Jelas sekali bahwa tangga naik dirumah para Pejabat Tinggi Negara dikompleks Widya Chandra ini tidak didisain untuk keadaan darurat
Padahal suatu ketika bisa saja  penghuninya jatuh sakit dan harus dibawa turun dengan memakai tandu. Seperti kasus yang terjadi pada Mendagri Soepardjo Roestam pagi hari ini.
Pak Menkes langsung memberikan perintah kepada petugas paramedis agar Pak Pardjo segera dilarikan ke RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto. Beliau sudah memerintahkan Tim Dokter Kepresidenan untuk bersiap menerima kedatangan Pak Pardjo disana. 

Pak Pardjo terkena serangan stroke!
 
Karena Pak Menkes Soewardjono terlihat begitu tenang, hati saya ikut tenang. Mudah-mudahan Pak Pardjo hanya kelelahan saja.
Pada waktu tandu dinaikkan kemobil, saya sempat melihat Pak Pardjo membuka matanya. Ketika melihat kehadiran saya, mulutnya seolah-olah akan berbicara. Saya segera mendekat. 
Lirih sekali saya dengar suaranya yang sangat lemah:
“Jangan bilang siapa-siapa kalau saya sakit. Tonny ikut ke rumah sakit”
“Inggih Pak” saya menjawab pendek. Saya tidak mungkin ikut didalam ambulans. Karena sudah ada Bu Pardjo dan beberapa petugas paramedis. Jadi saya langsung naik kemobil sendiri dan ‘ngebut’ mendahului ke RSPAD. Waktu itu belum jamannya ‘three in one’. Lalu lintas sepanjang Sudirman-Thamrin setiap pagi berjalan seperti biasa, agak tersendat. Tapi belum macet.

foto: google

Sewaktu diturunkan dari mobil ambulans setiba di RSPAD, Pak Pardjo memberi kode agar saya mendekat.
“Ambil kertas” perintahnya lemah, pendek saja. Sejak menjadi ajudan beliau, kemanapun pergi saya selalu membawa notes. Juga ‘sign-pen’ bertinta biru yang beliau sukai, untuk cadangan setiap saat Pak Pardjo membutuhkan. Itu ‘protap’ yang tidak boleh saya langgar, kalau tidak ingin kena marah.
Saya sobek selembar kertas dan saya serahkan kepada beliau berikut sign-pen.
Dengan susah payah beliau menulis sesuatu dikertas itu, tapi…Masya Allah, beliau menulis dengan TANGAN KIRI!
Astagfirullah. Saya baru sadar sekarang. Tangan Pak Pardjo yang sebelah kanan rupanya tidak bisa digerakkan! Jangan-jangan beliau terkena serangan “stroke”. Itu yang terlintas cepat dalam pikiran saya. Wah, gawat ini. Setahu saya seseorang yang kena serangan stroke harus cepat ditangani. Kalau lebih dari tiga jam sejak serangan terjadi baru mendapat pertolongan, maka akibatnya bisa lebih parah.
Saya baca tulisan ‘cakar ayam’ hasil karya Pak Pardjo yang nyaris tak terbaca: “Jangan bilang siapapun saya sakit”. Itu perintah yang sama dengan yang diucapkannya dengan sangat lemah tadi sebelum berangkat. Saya genggam tangan kanan beliau. Terasa dingin dan lemah. Saya ingin meyakinkan beliau bahwa saya akan selalu berada disampingnya. Saya lihat ada setitik air mata menggenang di matanya yang setengah tertutup. Hati saya ikut menangis. Pikiran saya kalut. Tapi saya tidak boleh larut. 
Saya harus tunjukkan kepada beliau bahwa saya cukup tegar. Walaupun sebenarnya hati saya agak ‘ciut’ juga, sempat berkelebat pikiran buruk: AKAN BERAKHIR SAMPAI DISINI kah karir Pak Pardjo? Saya sedih sekali.
Sekalipun saya memegang teguh perintah Pak Pardjo : “Jangan bilang siapapun  kalau saya sakit”, tapi hal itu hampir tidak ada gunanya. Bukankah Pak Menkes yang pertama kali tahu? Saya yakin bahwa Pak Suwardjono juga sudah melapor kepada Bapak Presiden. Mungkin malah sudah bicara kepada rekan-rekan Menteri yang lain. Mendagri sakit, masak iya teman sejawatnya tidak boleh tahu? 
Oleh karena itu kabarpun cepat merebak kemana-mana. Pak Pardjo dirawat diruangan khusus Super VIP, dilantai tiga RSPAD. Hari itu juga karangan bunga berdatangan bagai orang mau berpesta. Disetiap sudut gang menuju kamar beliau dirawat terletak karangan bunga. Penjagaan diperketat. Tidak semua orang boleh datang menjenguk.
Setelah menjalani observasi dengan CT-Scan, Tim Dokter Kepresidenan menyatakan bahwa ada “iskemik” (penyumbatan di pembuluh darah) otak sebelah kiri. Itu sebabnya bagian tubuh beliau yang disebelah kanan  mengalami kelumpuhan. Jadi memang benar Pak Pardjo telah terserang “STROKE”. Walaupun akibat yang ditimbulkan tidak separah kalau ada pembuluh darah otak yang pecah (hemoragi). Oleh karena itu kemungkinan bagi Pak Pardjo untuk recovery (sembuh kembali) agak besar, sekitar 50 persen.
Dalam riwayat kesehatan Pak Pardjo yang tertera pada “medical record” (rekam jejak medis), ternyata beliau sudah pernah terkena “TIA” (Trancient Ischaemic Attack, penghentian sesaat suplai darah ke otak), yang bisa disebut sebagai serangan stroke ringan. Meskipun kejadian itu sudah berlangsung sangat lama, yaitu pada saat Pak Pardjo menjabat sebagai Duta Besar RI di Yugoslavia. 
Menurut keterangan Tim Dokter, mereka yang pernah terserang TIA memang dianjurkan untuk waspada, karena itu sesungguhnya merupakan tanda awal seseorang akan terkena stroke, entah kapan.
Jadi prosentase kemungkinan bagi seseorang yang pernah terkena TIA untuk terserang stroke yang lebih parah (lagi)  sangat besar.
Sejak Pak Pardjo dirawat, praktis semua staf pribadi (Ajudan dan Polisi Pamong Praja) yang dinas dikediaman Widya Chandra ikut pindah ke RSPAD. Bergiliran bertugas menyaring dan mencatat para tamu. Juga menemani Pak Pardjo ketika menjalani rehabilitasi medis. Walaupun dokter sangat membatasi pengunjung, namun ternyata tamu yang datang  untuk menjenguk Pak Pardjo jumlahnya “bejibun” (banyak sekali). Memang tidak semua tamu diijinkan masuk ke ruang perawatan, karena kalau ada tamu yang hubungannya sangat dekat, justru membuat Pak Pardjo terharu dan sedih berkepanjangan.
Jadilah selama bulan puasa itu kita habiskan di RSPAD, sahur dan buka puasa seadanya diwarung-warung sekitar jalan Kwini. Semua prihatin. Semua berdoa semoga Pak Pardjo segera mendapat karunia kesembuhan dari Allah SWT. Amin.
Sementara itu Presiden Soeharto setelah berkenan menjenguk Pak Pardjo ke RSPAD, memutuskan untuk menunjuk Mensesneg (Bapak Soedharmono, SH) merangkap sebagai Mendagri ad interim untuk sementara waktu.



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar