Jumat, 22 April 2011

"LEMPAR JUMRAH DI 'SIANG NDHRANDHANG'....JATUH SAKIT DI MINA"


(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)


( 12 )


Jumroh Aqobah  


Released by mastonie on Friday, April 22, 2011 at 10.35 am


Lempar Jumroh Aqobah  pertama di siang ‘ndhrandhang’

Turun dari bus 4, waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah hari kurang sedikit. Padahal seharusnya penumpang bus 4 sudah harus melaksanakan rukun haji berikutnya yaitu melempar Jumroh Aqobah untuk yang pertama kali. Tenda Maktab di Mina masih kelihatan sepi. Pasti  para penghuninya masih berada disekitar lokasi Jamarat.
Siang itu juga harus pergi melempar untuk mengejar waktu. Tentu setelah sholat Dhuhur dan makan seadanya. Penumpang bus 4 ada 32 orang. Beberapa orang sudah termasuk ‘lansia’. Harus segera dibuat kesepakatan. Ternyata semua setuju sehabis sholat dan makan terus pergi melempar. jumroh Aqobah. Saya cepat-cepat mengambil batu kerikil yang disediakan pengurus Maktab 82. 
Karena saya berniat meng-haji badal-kan almarhum ayah kandung saya, maka saya mengambil 14 butir batu, saya tambah beberapa butir sebagai cadangan untuk berjaga-jaga kalau lemparan saya meleset.
Disiang ‘ndhrandhang’  (bolong) itu dalam keadaan cuaca panas terik rombongan berjalan kaki menuju lokasi melempar jumroh. Jaraknya sekitar 1 kilo lebih. Pemandu dari Anubi ternyata salah mengambil jalan, sehingga rombongan yang dipandunya harus berjalan kaki memutar. 
Saya merasa badan sudah agak greges-greges (meriang).
Tapi semangat saya masih cukup tinggi.
Sampai dilokasi Jumroh Aqobah saya tertegun. Kali ini saya betul-betul pangling (hampir tak kenal lagi) dengan lokasi Jamarat (tempat pelemparan Jumroh). 
 tiang 'Jumroh' jaman dahulu
Tahun 1992 dulu lokasi jamarat masih sangat sederhana. Walaupun jalannya saat itu sudah dibuat bertingkat dua.  Tiang Jumroh masih berupa tugu segi empat berujung lancip yang menjulang menembus sampai lantai dua. Ditiap lantai  tiang Jumroh dikelilingi oleh semacam lingkaran mirip  bibir sumur yang tingginya sebatas dada orang dewasa.
Sekarang (2007) yang ada dihadapan saya adalah semacam jalan layang yang menuju ke bangunan besar yang  mirip  Gedung Parkir sebuah Mal. Sebagian belum selesai dikerjakan. Tampak lengan-lengan  crane masih berada disekitar lokasi jamarat. Setidaknya saya lihat ada bangunan empat atau lima tingkat. Dua tingkat sudah hampir selesai sempurna, sedang yang dua tingkat lagi masih dalam pengerjaan.
Dari segala penjuru  jemaah haji berbondong-bondong berjalan kaki menuju Jamarat. Panji-panji dan bendera Negara berkibaran dibawa rombongan. Banyak rombongan jemaah yang masih memakai pakaian ihram, tapi ada juga sebagian yang berpakaian biasa saja. Saya melihat jalan menuju jumroh sudah dibuat satu arah. Jalan masuk dan jalan keluar sudah dipisah. Dimana-mana tampak askar berjaga-jaga. Tapi jemaah yang nekat mencoba melanggar peraturan dengan melawan arah ternyata masih banyak juga.

Jumroh Aqobah (tahun 2007)
Ketika tiba persis didepan Jumroh Aqobah saya terlongong-longong bahna heran bin takjub. Yang disebut sebagai “jumroh” itu kini berbentuk seperti tiang pondasi jalan layang atau fly over di jalan tol Jakarta! Malah bentuknya lebih besar lagi. Dilapisi dengan semacam kepingan batu berukuran sekitar 50 x 50 cm berwarna abu-abu kehijauan, dinding jumroh itu berbentuk pipih tapi tampak kokoh membentang dihadapan para jemaah. Kalau dulu sewaktu masih berbentuk tiang kecil bersegi empat, jemaah bisa luput melempar jumroh sehingga batunya bisa melayang keseberang, kini hal itu tidak akan mungkin terjadi.  Dinding jumrah itu masih tetap dikelilingi dengan tembok pembatas setinggi  dada orang dewasa. Dari luar tembok pembatas inilah para jemaah beramai-ramai melempari dinding “perlambang setan” itu.
Yang masih sama saya rasakan dengan tahun 1992 dulu adalah ‘atmosfer’ nya. Walaupun jumroh sudah dibuat menyerupai dinding sebesar itu, tetap saja para jemaah berebut tempat untuk melempar dari jarak yang sedekat-dekatnya. Hiruk-pikuknya tetap sama. Teriakan riuh rendahnya tetap tak berbeda. Juga emosinya. Terlihat dengan masih adanya jemaah yang melempar dengan benda apa saja selain batu kerikil yang ditentukan. Disekitar dinding pembatas jumroh terlihat berserakan kerikil bercampur dengan sepatu, sandal, botol minuman, payung dan benda lain yang tak terkira jenisnya. Masya Allah.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah dengan bijak mengeluarkan pemberitahuan tentang jadwal pelemparan jumroh untuk masing-masing Negara. Maksudnya agar para jemaah haji tidak hanya memburu waktu yang afdol untuk melempar, sehingga bisa mengakibatkan bertumpuknya para jemaah disatu tempat.  Tapi toh tetap saja jumlah para jemaah yang melempar jumroh setiap saat luar biasa banyaknya yang membuat daerah sekitar Jamarat selalu penuh sesak.
Terngiang dalam pikiran saya ceramah salah seorang ustad, juga (katanya) penelitian beberapa ahli (!) yang menyebutkan bahwa banyak keajaiban terjadi pada saat jemaah melempar jumroh. Salah satu keajaiban  menyebutkan bahwa pertanda mabrur atau tidaknya seseorang dalam menunaikan ibadah haji bisa terlihat ditempat pelemparan jumroh ini.
Konon jemaah yang hajinya diterima oleh Allah Swt, maka batu (kerikil) yang dilemparnya kearah jumroh tidak akan jatuh kebawah tapi seakan tersedot keatas dan raib entah kemana. Wallahu ‘alam bissawab.
Saya tak berniat untuk membuktikannya. Tidak sempat lagi. Biarlah Allah Swt yang menentukan. Waktu itu saya hanya berusaha menjaga istri saya tetap berada tidak jauh dari tempat saya melempar agar saya tetap bisa melindunginya dari desakan jemaah lain yang bagaikan air bah melanda. Sepanjang perjalanan menuju Jamarat saya membaca doa dan ayat kursi berulang-ulang. Saya bermohon kepada Allah Swt agar diberi kekuatan dan kemudahan, karena saya juga berniat menghaji badalkan almarhum ayah kandung saya. Jadi saya akan melempar dua kali, oleh sebab itu saya membawa batu yang jumlahnya juga dua kali lipat. 
dinding Jumroh Aqobah
Disaat itulah saya merasakan ada ‘invisible hand of God’. Bergandengan tangan rapat dengan istri, saya mendapatkan jalan yang tiba-tiba saja seperti tersibak dihadapan kami. Kosong! Segera saya tarik maju istri saya kedekat dinding pembatas. Disitulah kami berdua memulai melempar jumroh Aqobah.
Bismillahi Allahu Akbar. Dengan tenang saya melempar tujuh batu, kemudian saya ulangi lagi lemparan kedua (untuk badal haji almarhum ayah saya) sebanyak tujuh kali juga. Saya lirik istri saya juga sudah selesai melempar. Usai sudah!
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.
Saya sempatkan untuk mengambil beberapa gambar sebelum secepatnya saya gandeng istri saya keluar dari kerumunan jemaah yang terus mengalir seperti banjir. Saya bergerak kearah daerah diluar jumroh Aqobah yang sedikit kosong. Disitulah pemandu Anubi dengan bendera lambang Anubi dan bendera Merah Putih  berada. Beberapa rekan satu rombongan sudah ada pula yang bergabung. Saya keluarkan gunting kecil dari tas leher saya. Kita melakukan tahalul awal yang pertama bersama-sama. Saling menggunting beberapa helai rambut. Sungguh lega sekali rasanya.
Tapi badan saya sudah mulai terasa seperti melayang-layang.

Terserang demam tinggi….

Sempat berfoto-foto sebentar diluar Jamarat, saya kemudian berjalan pulang ke tenda Maktab di Mina. Matahari sudah bergeser tapi panasnya masih tetap terasa. Meski tidak sangat terik.
Tenggorokan saya kering dan mulai terasa sakit. Padahal batuknya sudah agak reda.  

Sehabis shalat Ashar saya masuk ketenda untuk beristirahat dan mencoba tidur. Tapi badan saya sekarang mulai menggigil. Ditengah cuaca panas seperti itu saya justru merasa sangat kedinginan. Wah, ada yang tidak beres ini, begitu yang terlintas dalam pikiran saya. Segera saya telepon istri saya yang tendanya terpisah agak jauh (untung sudah jaman telepon genggam).  Saya tutup sekujur badan dengan selimut yang ada untuk mengurangi rasa dingin yang mendera.
Istri saya kaget waktu meraba badan saya.
“Panas sekali lho pah” katanya agak panik. Dia pasti sangat cemas mengingat saya memang baru sembuh dari sakit. Segera saya minta dia memanggil dokter Naryo ditenda yang berseberangan letaknya dari tenda saya. 

Ono opo (ada apa) bang?” Tanya dokter Naryo sambil mengeluarkan stetoskop nya.
 “Embuh iki dok, aku koq krasa kadhemen ya? Iki nganti awakku ndrodog (tidak tahu ya dok, saya merasa kedinginan sampai badan saya gemetar)” saya menjawab sangat lirih.
Setelah memeriksa nadi, denyut jantung dan tensi saya dia bergumam:
Iya he, panas nemen iki awak sampeyan (Iya nih, panas sekali badanmu)”
Dia keluarkan thermometer dan ditaruhnya diketiak saya. Beberapa saat kemudian dilihatnya sambil keningnya berkerut. Istri saya cepat-cepat  ikut melihat. Dia pasti penasaran ingin tahu suhu badan saya.
“Wah, dhuwur iki. Piye rasane? (wah, tinggi ini. Bagaimana rasanya?)” Tanya dokter Naryo.
“Kadhemen (kedinginan)  dok”
Dokter Naryo meminta saya membuka mulut. Dia memeriksa tenggorokan  saya.
“Hmm,  ana infeksi tenggorokan iki sajake (ada infeksi di tenggorokan rupanya)”
Dia mengeluarkan beberapa obat dari kotak ajaib yang selalu ditentengnya kemana-mana.
“Iki obat turun panas karo antibiotik ya? Gek ndang diombe. Yen mengko sore isih panas aku diundang maneh (Ini obat turun panas dan antibiotik. Segera diminum. Kalau nanti sore masih panas, panggil saya lagi)”
Saya lihat ada rona khawatir diwajah dokter Naryo. Tapi dia mencoba menyembunyikan sebisanya.
“Yen biso pindhah nggon wae bang, neng kene kayane angine gede banget (Kalau bisa pindah tempat saja bang. Disini anginnya besar sekali)” dia memberikan saran.
“Iya tuh dok, dari kemarin saya sudah bilang. Disini terlalu dekat dengan pintu masuk. Gampang terkena angin, tapi dia tetep ngeyel ” istri saya menimpali. 
Saya tidak menjawab. Rasanya saya sudah krasan (betah) ditempat ini. Lagipula saya merasa tempat kedudukan saya ini adalah 'kapling' hadiah dari Jenderal Sarining, jadi ini sebuah amanah yang harus saya pegang. Walaupun memang saya akui anginnya besar sekali.
Sore itu saya shalat Magrib sambil tiduran di’kapling’ saja. Makan malam juga sampai disuapi oleh istri saya. Seisi tenda geger.  Pak ‘portir’  (penjaga pintu) jatuh sakit.
Malam harinya kondisi tubuh saya tidak juga membaik. Padahal malam ini saatnya untuk melempar tiga jumroh lagi. Saya niatkan untuk pergi melempar. Saya merasa mempunyai tanggung jawab melempar jumrah untuk almarhum ayah saya. Saya sampaikan niat saya itu pada istri saya.
“Jangan deh pah, lebih baik istirahat saja dulu. Kan melemparnya bisa diwakilkan” desak istri saya. Saya bersikeras walau badan saya rasanya tidak karu-karuan (sangat tidak nyaman).
Istri saya tidak mau kalah. Dia langsung ‘melapor’ ke Ustad Nuruddin (pembimbing ibadah haji Anubi) dan ke dokter Naryo.
Sesudah shalat Isya’ dokter Naryo didampingi Ustad Nuruddin datang menjenguk saya.
Setelah memeriksa tensi dan suhu badan saya dokter Naryo bilang:
Sampeyan kudu tetep istirahat bang, panase isih dhuwur lho. Aja mlaku-mlaku disik, wis ora usah mikir mbalang jumroh barang. Rak bisa diwakilno. Iki ana pak Ustad, yen ora percaya takona dewe (Kamu harus tetep istirahat bang, panasnya masih tinggi. Jangan berjalan-jalan dulu. Tidak usah memikir melempar jumroh, itu bisa diwakilkan. Ini ada pak Ustad. Kalau tidak percaya tanya sendiri)” kata dokter Naryo. Istri saya cepet-cepat meng-iyakan.
Ustad Nuruddin kemudian menasehati saya panjang lebar. Dibacakannya beberapa hadits Rasulullah Saw tentang dibolehkannya mewakilkan untuk melempar jumroh kalau seseorang sedang menderita sakit. Itu syah menurut aturan agama. Bahkan Pak Ustad sendiri sanggup untuk mewakili saya, andaikata saya memintanya.
Akhirnya saya luluh. Saya minta istri saya mewakili saya untuk melempar tiga jumroh, sedangkan Ustad Nuruddin saya mohon mewakili melempar untuk almarhum ayah kandung saya. Judulnya: saya pasrah. Saya yakin ini semua pasti adalah ketentuan Allah Swt sekaligus cobaan buat saya. Saya sedikit terhibur ketika dokter Naryo bilang bahwa ada dua orang lagi jemaah yang dia larang pergi  untuk melempar jumroh karena sakit.
Jadi ada tiga orang jemaah Anubi yang malam itu mewakilkan untuk melempar tiga jumrah.
Sekalipun merasa sedikit lega, tapi malam itu ketika semua rekan pergi untuk melempar tiga jumroh (termasuk istri saya), saya tergolek sakit sendirian dalam tenda.
Saya hanya bisa menangis dalam hati. Dalam kegalauan hati dan rasa kedinginan yang amat sangat, saya mohon ampun kepada Allah Swt atas segala dosa dan mohon pula segera diberi kesembuhan agar bisa melaksanakan rukun dan wajib haji selanjutnya.
Saya tersadar inilah rupanya salah satu resiko yang harus dihadapi ketika menunaikan ibadah haji ketanah suci pada saat usia makin menua. Saya bahkan sempat bertanya-tanya dalam hati: akankah usia saya berakhir ditanah suci?
Sisa malam itu saya habiskan untuk berdoa dan berdzikir dalam tenda sampai tak terasa jatuh terlelap kealam mimpi..
Sewaktu makan di hotel 'Grand Saraya' Mekah, beberapa hari setelah kejadian saya sakit pada saat mabit di Mina,  dokter Naryo sambil cengengesan (tertawa-tawa) bilang kepada saya:
"Tak kandhani ya bang, mbiyen ki wektu neng Mina aku wis nratap lho. jane laramu pancen tenanan, aku wis kuatir yen sampeyan 'bablas' (Saya beritahu ya bang, dulu pada waktu di Mina saya sudah berdebaran, sebetulnya sakitmu sangat serius, saya sudah kuatir kalau sampeyan 'lewat' ...)"
Astagfirullah......trondholo tenan....




bersambung…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar