Kamis, 07 April 2011

"AKHIRNYA SAYA RASAKAN LEMBUTNYA SALJU......."




(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (81)

 Saya mejeng dgn latar belakang salju

Released by mastonie, Friday, June 18, 2010 at 09.34 pm
   

      Keliling kota naik 'limousine'....

Beberapa hari terakhir berada dikota Washington DC, cuaca dipenghujung bulan Februari tampak kurang begitu baik. Setiap hari mendung. Suhu udara rata-rata kurang dari sepuluh derajat Celcius. Apalagi bila malam tiba. Saya terpaksa harus selalu mengenakan jas untuk mengurangi hawa dingin. 
Tapi acara ‘sight seeing’ dan ‘city tour’ harus jalan terus.
Kota Washington, DC. (District of Columbia), berdiri sejak tanggal 16 Juli tahun 1790. Terletak disebelah utara sungai Potomac, berbatasan dengan Negara bagian Maryland dan Virginia disebelah tenggara.  Sungguhpun Washington, DC adalah ibukota sebuah Negara Adidaya, tapi ternyata penduduknya (pada tahun 1992) tidak sampai satu juta jiwa. Menurut statistik, sejak tahun 1960, populasi penduduk kota ini justru terus menurun sampai awal tahun ini (1992). Luar biasa.
Dikota tua ini terdapat banyak sekali monumen kuno bersejarah yang dibangun untuk mengenang mantan Presiden Amerika Serikat yang terkenal dalam sejarah dunia. Seperti George Washington (Washington Monument), Abraham -Abe- Lincoln (Lincoln Memorial), dan Thomas Jefferson  (Jefferson Memorial). Beberapa bangunan memorial juga dibuat untuk mengenang para pahlawan perang, termasuk Perang Dunia, Perang Korea dan Perang Vietnam. 
Dikota ini pula, diseberang sungai Potomac, terdapat Taman Makam Pahlawan (TMP) Arlington. 
Disinilah jenasah para Presiden Amerika Serikat dan para Pahlawan Perangnya dimakamkan.

Pak Pardjo dan rombongan didepan Museum "Smithsonian" 
Washington juga ‘gudangnya’ museum. Salah satu yang terbesar adalah  Museum “Smithsonian Insitute”. Museum ilmiah dan teknologi milik pemerintah yang terbuka gratis bagi pengunjung ini memiliki bagian-bagian museum yang terpisah sesuai bidang masing-masing. 
Bangunan-bangunan yang ada dikota Washington juga rata-rata bangunan tua. Selain Gedung Putih, bangunan lain yang tidak kalah tua dan menarik serta menjadi ‘land mark’ kota adalah Gedung Capitol, yang merupakan kantor dan gedung persidangan anggota Konggres Amerika Serikat.
Hari itu Pak Pardjo memerintahkan saya untuk menyewa sebuah sedan limousine merk Cadillac dari Hotel. 
Limousine adalah sebuah sedan ‘long body’, yang bisa memuat 6 – 8 orang. Tempat duduk belakang dibuat seperti sofa berlapis kulit yang empuk dalam posisi berhadapan. Tidak terasa sempit walau yang ada didalamnya 6 orang dewasa. Interior mobil ini mewah dan nyaman sekali. Ruang pengemudi disekat dengan semacam tirai kaca yang bisa dibuka tutup. Sedan sewaan ini (ongkos sewanya 40 USD untuk 12 jam) dikemudikan oleh seorang sopir yang mengaku bernama “Jimmy”. Ia memakai pakaian ‘kebesaran’ sopir limousine, jas gelap panjang berekor dan (ini yang membuat saya tersenyum) dia memakai topi yang sporty bak seorang detektip. 
Saya sempat membayangkan, kalau sedan mewah ini beroperasi di jalanan Jakarta, saya yakin akan jadi bulan-bulanan metro mini dan bis kota, karena bodi nya yang panjang.
Seharian itu kita keliling kota Washington naik limousine mewah. Diselingi istirahat makan siang di Pentagon Mall (yang terletak di area Pentagon, markas AB Amerika Serikat), disebuah ‘pujasera’ yang atapnya terbuat dari fiber bening tembus pandang, sehingga mengesankan seolah atapnya terbuka..

 saya, mas Wiwiek dan Pak Pardjo makan siang di Pentagon Mall

Kelak ternyata ‘pujasera’ model begini banyak ditiru di Mall yang dibangun di Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia.
Memasuki bulan Maret 1992, sehari sebelum jadwal kepulangan kita, cuaca makin memburuk. Menurut prakiraan cuaca yang saya lihat di TV CNN, suhu udara berkisar antara 3 – 13 derajat Celcius. Dan salju diperkirakan akan turun sampai ketebalan 4 sentimeter. Ternyata betul, didepan hotel The Embassy Row, salju mulai turun rintik-rintik. Suhu udara semakin dingin. Tapi hati saya bersorak. Akhirnya saya bisa melihat salju dan merasakan kelembutannya dengan tangan telanjang saya. 

Mengenakan ‘overcoat’ pinjaman (saya tak pernah membawa ‘overcoat’ karena terlalu berat), saya bagaikan orang udik masuk kekota. Berdiri ditempat parkir mobil didepan hotel,  saya songsong turunnya salju dengan hati berbunga-bunga. Tak peduli dilihat orang yang lalu lalang dan menatap keheranan melihat tingkah saya.  
Who care? Emang gue pikirin?
Kapan lagi bisa menikmati hujan salju? Pasti tidak mungkin saya harapkan menikmati hujan salju di Pasarminggu.
So, it’s show time man! Ini saatnya saya puaskan bermain dengan salju, persis seperti anak kecil main hujan-hujanan dikampung saya dulu. Sesuatu yang baru pertama kali dijumpai dalam sejarah hidup, sudah selayaknya harus dirayakan. Dan saya merayakannya dengan cara saya sendiri. 
Jejogetan dipelataran hotel bermain salju ditonton banyak orang ‘Amrik’ yang (barangkali) keheranan!
Malam hari itu Pak Pardjo mengajak kita mencari makan malam direstoran Jepang, yang cukup mahal. Tip untuk pelayannya saja sampai 30 dolar AS!
Sementara dijalanan salju terus saja turun sepanjang malam. Tubuh saya mulai merasa kedinginan tapi hati saya justru senang bukan buatan.

      Pesawat terbang disemprot cairan garam.

Keesokan harinya kita harus terbang ke Paris. Cuaca dingin bersalju menyelimuti seluruh kota. 
Bandara Internasional Dulles terletak sejauh lebih dari 40 kilometer diluar kota Washington, DC. Disebuah daerah bernama Chantilly, Negara Bagian Virginia.

Foto bersama Pak AR Ramli Dubes RI utk AS sebelum take off ke Paris
Selalu harus berangkat lebih awal kalau hendak terbang dari Bandara Dulles. Karena situasi lalu lintas Washington DC yang tidak pernah bisa diprediksi. Tapi hari itu justru bukan lalu lintas yang menyebabkan jadwal terbang berantakan. Sewaktu memasuki Bandara Dulles, cuaca tidak membaik tapi justru semakin buruk. Di apron (tempat parkir pesawat) dan di landas pacu Bandara, yang tampak hanya salju. Menutup seluruh area termasuk badan pesawat yang sedang parkir disana. Oleh karena itu otoritas Bandara Dulles menyatakan bahwa Bandara ‘closed’ (ditutup) untuk sementara waktu sampai cuaca membaik. Alam ternyata tak bisa dilawan. Bukannya kesal, saya malah merasa sedang diberi anugerah oleh Allah SWT. 
Dapat memandang salju dengan sepuas-puasnya! Alhamdulillah.
Tidak nampak kesibukan dilandas pacu Bandara. Tidak ada satupun pesawat yang lepas landas maupun mendarat. Yang tampak adalah kesibukan petugas yang mengendarai mobil seperti mobil tanki, dan menyemprotkan semacam cairan ketubuh pesawat, terutama disayapnya. Saya mendapat penjelasan dari seorang local staff KBRI yang sudah lama mukim di Amerika, cairan yang disemprotkan kebadan pesawat itu adalah semacam larutan garam. Salju akan mencair apabila terkena semprotan cairan itu. Hal tersebut akan mengurangi resiko pesawat ‘over weight’ karena salju yang menempel disayap atau ditubuh pesawat. Pengalaman membuktikan telah terjadi kecelakaan fatal yang menimpa pesawat yang nekat lepas landas dari Bandara Dulles menembus badai salju. Pesawat naas itu  mengalami ‘stall’ dan jatuh masuk kedalam sungai Potomac sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Katanya kisah itu bahkan sempat dibuat menjadi sebuah film. Saya merinding dibuatnya.
Beberapa jam kemudian hujan salju mulai reda. Pesawat Boeing 747-300 KLM yang akan membawa kita ke Paris sudah terlihat bentuk aslinya. Hamparan salju yang tadi menempel dan menutup nyaris seluruh badan pesawat sudah berhasil dibersihkan. Disemprot dengan larutan garam memakai selang bertekanan tinggi.

 Akhirnya tiba juga saatnya kita meninggalkan Washington DC.
Pada saat Boeing 747-300 KLM lepas landas dari Bandara Internasional Dulles, saya sempat mengintip melalui jendela pesawat.
Dilihat dari udara, kota Washington, DC tampak begitu putih berselimut salju. Termasuk sungai Potomac, Taman Makam Pahlawan Arlington dan Gedung Lincoln Memorial. Saya bergidik mengingat tragedi pesawat yang gagal lepas landas dan terpuruk masuk kesungai Potomac.
Good bye, selamat tinggal Washington, DC. Sampai bertemu lagi dilain kesempatan.
Dan Jumbo jet KLM itu terus terbang mendaki, membelah awan dan serpihan salju menuju kota Paris.
Kini saya telah tahu seperti apa bentuk dan kelembutan salju yang sebenarnya. 
Bukan hanya dari lirik lagu  Jamal Mirdad: “Hati selembut salju”.



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar