Rabu, 20 April 2011

"PULANG WUKUF.....'TERDAMPAR' DIJALANAN SELAMA 12 JAM...."



(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)

( 11 )

 saat Wukuf,  didalam  tenda di Arafah         


Released by mastonie on Wednesday, April 20, 2011 at 10.17 pm

 
Dapat hadiah kapling lagi….

Hari Selasa, 18 Desember 2007 (9 Dzulhijjah 1428 H) dinihari, rombongan jemaah calon haji Anubi berangkat dengan 4 bus menuju padang Arafah. Saya tetap berada di bus nomor 4. Bus paling buncit dalam rombongan. Diujung hari itu semua orang sudah memakai pakaian ihram. Suasana jalan raya Mina yang terang benderang oleh lampu kendaraan yang memadati badan jalan  ditambah dengan sinar dari lampu penerangan jalan membuat malam menjadi terang benderang nyaris seperti siang. Seluruh penumpang bus nomor 4 larut dalam kalimat talbiyah, sehingga  'festival klakson'  kendaraan dan keruwetan  serta kemacetan di jalanan tak terasakan.
Hari menjelang subuh ketika rombongan tiba di lokasi tenda Maktab 82 di Padang Arafah.
Inilah keempat kalinya saya menginjak tanah padang Arafah. Rimbun pepohonannya kini menghilangkan bayangan tanah tandus, panas  dan gersang di jaman Rasulullah dahulu kala.

  tenda2 di Arafah,    foto2 : mastonie
Tenda-tenda Maktab 82 berwarna putih berjejer rapi. Bentuknya berbeda dengan tenda di Mina yang menyerupai kerucut. Di padang Arafah tenda beratap setengah bulat yang mengingatkan saya pada hanggar pesawat terbang. Hanya bentuknya lebih kecil. Di Maktab 82 yang menampung jemaah calon haji non reguler, semua tenda dilengkapi dengan pendingin ruangan.  Hanya tenda untuk tempat makan dan untuk shalat berjama’ah yang dibiarkan terbuka dindingnya.
Alangkah kaget saya ketika memasuki tenda. Masih setengah kosong, saya mendapati (lagi-lagi) Jenderal Sarining yang tiba lebih dahulu dengan bus nomor 1 (satu), sudah berada didalam tenda. Dengan tertawa lebar dan wajah sumringah beliau menyambut kedatangan saya:
“Ini kapling Pak Tony sudah saya siapkan, persis disebelah saya”, katanya sambil menunjuk tempat kosong disebelah beliau.
Disitu terletak bantal, selimut dan mug (cangkir) souvenir dari pengurus Maktab 82.
Saya bengong. Dua kali sudah saya dihadiahi ‘kapling’ oleh Pak Jenderal! Subhanallah.
Rombongan jemaah haji Anubi (yang berjumlah sekitar 120 orang) ternyata mendapatkan satu tenda besar yang bisa memuat lebih dari seratus orang. Oleh sebab itu jemaah pria dan wanita bisa ditampung bersama-sama. Hanya tempatnya dipisahkan. Dari pintu masuk tenda, jemaah pria dikelompokkan disebelah kiri, sedangkan jemaah wanita ditempatkan disebelah kanan.
Menunggu saat adzan Subuh tiba, saya berjalan menuju tempat shalat berjamaah untuk melaksanakan shalat Tahajud dan shalat Tasbih. Udara sejuk segar dingin berangin membuat sepertiga malam itu terasa menyentuh kalbu. Tak terasa air mata menetes disudut mata saya.
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar…


Melaksanakan wukuf yang kedua…

Sambil berdzikir saya merenung, inilah keempat kalinya saya berada di padang Arafah. Miniatur dari Padang Mahsyar dimana  seluruh umat manusia kelak dikumpulkan jadi satu setelah dibangkitkan dari alam kubur dan dipadang Mahsyar itulah manusia akan di hisab (dihitung) amalnya oleh Sang Maha Pencipta.
Tapi inilah kedua kalinya saya melaksanakan Wukuf, rukun haji yang menentukan syah atau tidaknya haji seseorang. Tanpa Wukuf, maka  ibadah haji menjadi tidak syah.
Wukuf  selalu jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun. Waktunya sendiri adalah selepas matahari tergelincir (kurang lebih pukul 12 siang), sampai lepas tengah malam.
Yang terpenting adalah Wukuf hanya bisa dilaksanakan di padang Arafah, tidak bisa ditempat lain. Selama melaksanakan wukuf, jemaah haji akan mendengarkan khotbah Wukuf, mendirikan shalat berjama’ah secara jamak taqdim (digabung dimuka) yaitu shalat Dhuhur dengan Ashar, dan shalat Magrib dengan Isya. Sebelum matahari terbenam jemaah haji disarankan untuk berdoa ditempat terbuka (tidak boleh didalam tenda) dengan menghadap Ka’bah, seraya menengadahkan kedua tangan keatas. Bagi jemaah pria bahkan disunahkan sampai terlihat ketiaknya.
berdoa diluar tenda menjelang senja
Pada waktu melaksanakan wukuf saya yang pertama tahun 1992 dulu, saya bebas berjalan-jalan kemana saja. Maklum saya anggota TPOH, yang harus memantau penyelenggaraan haji  jemaah Indonesia. Lagipula suasana padang Arafah pada saat itu masih belum tertata rapi seperti saat saya datang untuk wukuf yang kedua kali tahun 2007. Waktu itu jemaah haji masih bisa ‘berkeliaran’ kemana-mana dengan bebasnya, sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan kerabat atau sanak saudara yang juga sedang berhaji bisa terjadi. Suasananya memang sangat ramai. Dimana-mana terlihat jemaah haji pria wanita yang mengenakan pakaian ihram, bahkan sampai kepuncak bukit “Jabbal Rahmah”.  Memang terkesan menjadi agak kurang khusyuk ibadah wukufnya.
Kalau keadaan sekarang (tahun 2007), kemungkinan itu kecil sekali karena antara tenda yang didirikan oleh Maktab diberi pembatas. Dan dijaga dengan ketat oleh pengurus Maktab. Setidaknya itu yang saya alami di Maktab 82 yang terdiri dari jemaah ONH Plus. Jemaah dilarang pergi kemana-mana kecuali dilingkungan Maktab sendiri.  Ini membuat jemaah dari Maktab satu tidak bisa pergi ke Maktab yang lain. Walaupun lokasinya berdekatan, bahkan berdempet pagar pembatasnya. Memang terasa agak mengikat tapi dari segi keamanan lebih terjamin. Tapi terus terang saya kurang tahu bagaimana keadaan di Maktab lain yang mengurus jemaah haji reguler (biasa).
Siang hari itu matahari merayap naik perlahan. Bulan Desember cuaca di tanah suci tidak terlalu panas. Siang cenderung pendek, malam agak panjang dan suhu mulai dingin.

 mendengarkan khotbah wukuh didalam tenda         


Ketika tiba saat Wukuf, seluruh jemaah haji masuk kedalam tenda masing-masing untuk mendengarkan khotbah wukuf. Saya merasa lebih khusyuk mendengarkan khotbah kali ini, karena suasananya sangat mendukung. Antara lain karena tenda yang berpendingin udara. Selanjutnya tiba saat adzan Dhuhur. Sesuai ajaran Rasulullah Saw, selama berada di Arafah shalat fardhu dilaksanakan secara jamak taqdim (Dhuhur dengan Ashar dan Magrib dengan Isya) dengan satu adzan dan dua iqamat.
Airmata saya kembali menetes setelah doa wukuf dibacakan. 
Kalimat talbiyah berkumandang keseluruh penjuru padang Arafah. Bulu roma saya berdiri.
“Laabbaik Allaahumma Laabbaik, Laabbaika  Laa Syarikalaka Laabbaik, Innal Hamda Wanni’mata Laka Wal Mulk Laa Syarikalaka ..”
(aku datang ya Allah, aku penuhi panggilan Mu, kusambut panggilan Mu yang tak ada sekutu bagi Mu. Sesungguhnyalah segala puji dan nikmat serta kerajaan adalah milik Mu, tak ada sekutu bagi Mu)

Terjebak macet berkepanjangan…..

Makan malam prasmanan kali ini terasa nikmat sekali. Seluruh beban seperti telah terlepas. Rangkaian ibadah wukuf di padang Arafah akhirnya telah selesai dilaksanakan.
Sekitar pukul setengah sebelas malam rombongan jemaah haji (kini bukan calon lagi) mulai bertolak menuju Muzdalifah untuk mabit dan mengambil batu yang akan dipergunakan untuk melempar Jumroh esok pagi. Empat buah bus bergerak perlahan meninggalkan lokasi tenda Maktab 82 menuju jalan raya dan langsung terjebak macet.  
Ujian kesabaran seorang haji terulang lagi. Jarak Arafah-Muzdalifah hanya sekitar 6-7 kilometer, tapi bus hanya bisa bergerak tidak lebih dari 5 km/jam. Itupun masih lebih banyak dan lebih lama berhentinya. Malam ini empat bus Anubi kembali tercerai berai mencari jalan sendiri-sendiri. Saya sempat berfikir, berjalan kaki barangkali malah bisa lebih cepat. Tapi mengingat kondisi kesehatan saya dan sekarang saya pergi haji bersama istri, maka fikiran itu saya buang jauh-jauh. Saya pasrahkan saja semuanya kepada kehendakNya.
Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
(Tiada daya ataupun kekuatan selain karena pertolongan Allah).
Waktu adzan Subuh berkumandang, bus masih belum sampai di Muzdalifah. Bayangkan. Berjam-jam kita duduk tepekur didalam bus berusaha tetap membaca kalimat talbiyah tapi dengan mendengarkan sopir yang tak berhenti mengomel.
Beruntung (orang Jawa selalu untung) pengurus Maktab 82 berbaik hati membawakan sekedar bekal makanan dan minuman didalam bus. Jadi rasa kesal bisa terlampiaskan dengan menyantap makanan kecil yang ada.
Hari sudah terang tanah ketika bus berhasil mendekati Muzdalifah. Beberapa rekan pria berlari turun untuk mengambil kerikil buat melempar Jumrah. Beruntung (lagi) pengurus Anubi dan Maktab telah menyediakan kerikil untuk semua anggota rombongan, Jadi tidak semua orang harus turun di Muzdalifah.
Hari Rabu, 19 Desember 2007 (10 Dzulhijjah 1428 H) sekitar jam 11 siang bus nomor 4 baru bisa memasuki wilayah Mina lagi! Nyaris selama 12 jam kita harus “duduk manis” berada didalam bus. Padahal rukun haji yang lain telah menanti, yaitu melempar Jumrah Aqabah untuk yang pertama kali.
Sungguh ujian kesabaran yang cukup lumayan.
Beberapa waktu kemudian kita baru tahu bahwa penumpang bus nomor 4 termasuk yang beruntung (lagi!). Walaupun baru berhasil masuk Mina setelah berjuang selama 12 jam.
Bus nomor 3 lebih ‘ancur Mina’ lagi.  Saat akan meninggalkan tenda di Arafah, sopir bus nomor 3 ternyata sakit berat. Dokter Naryo yang menjadi salah satu penumpang di Bis 3 tentu saja keberatan kalau sopir yang sakit itu dipaksa membawa bis pulang ke Mina. Pengurus Maktab  82 agak panik, mengingat tidak mudah mencari sopir pengganti disaat seperti itu.  Tapi akhirnya dapat juga sopir pengganti entah darimana, yang pasti berkulit hitam seperti orang Nigeria. Maka berangkatlah bus nomor 3 dengan sopir 'pocokan' (pengganti) itu. Sewaktu lalu lintas macet parah sebelum memasuki Muzdalifah, mesin bus mendadak mati. Dan (kata sopir pengganti) mesin bus  rusak dan tidak bisa dihidupkan lagi. Yang mengejutkan,  sopir pocokan itu malah keluar dari bus, nyelonong masuk kebawah kolong bus lalu tidur! Bisa terbayang paniknya para penumpang bus nomor 3. 
Mereka akhirnya patungan untuk mengumpulkan uang (konon terkumpul lebih dari 300 real) guna mencari bus sewaan yang lain agar bisa meneruskan perjalanan pulang ke Mina.
Saya dengar bus nomor 2 baik-baik saja dan selamat tiba kembali di Mina tanpa kurang suatu apa.
Entah bagaimana nasib bus nomor 1,  karena bus itu membawa rombongan jemaah haji istimewa (VVIP), yang tidak pernah mampir (apalagi mabit) di Mina, karena para penumpangnya lebih suka membayar 'dam' agar dapat terus bertahan tinggal dikamar hotelnya yang mewah di Mekah.




bersambung….



Tidak ada komentar:

Posting Komentar