Minggu, 03 April 2011

"MENUNGGU BERTEMU KIM IL SUNG, TANPA KEPASTIAN.."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (57)


Mejeng didepan Hotel "Pyongyang Koryo"

Released by mastonie, Friday, June 4, 2010 at 11.55 pm
 

Dibiarkan menunggu tanpa kepastian....

Setelah semua acara seremonial Pesta Perayaan 40 Tahun Kemerdekaaan Korea Utara selesai diikuti, kini hanya tinggal satu lagi misi utama yang harus dikerjakan Menko Kesra Soepardjo Roestam selaku Pimpinan Delegasi RI: Menyampaikan surat pribadi Presiden Soeharto kepada Presiden Kim Il Sung. Secara resmi Bapak M. Sanadji Tamziz, Duta Besar RI untuk Korea Utara sudah menyampaikan permohonan menghadap ke sekretariat Istana Presiden Kim Il Sung, lewat Park Kim Soo sang Liaison Officer. Menurut staf KBRI, sangat sulit untuk dapat bertemu dengan Presiden Kim Il Sung. Apalagi kini dia sedang sibuk menerima kunjungan kehormatan para Kepala Negara dan atau Kepala Pemerintahan yang hadir sendiri dalam acara Pesta Kemerdekaan itu. Sedangkan Pak Pardjo hanya seorang Menteri Koordinator, meskipun mewakili Presiden RI. Tapi bukan Pak Pardjo kalau tidak bersikukuh harus bertemu sendiri dengan Presiden Kim Il Sung. Beliau terus mendesak  si LO untuk meminta kepastian tanggal, waktu dan tempat dimana Presiden Kim berkenan menerima. Sementara itu saya sudah mendengar bermacam cerita tentang gaya Presiden Kim Il Sung apabila berkenan menerima tamunya. Tak pernah ada kabar yang pasti yang membuat sang tamu harus tetap menunggu dalam keadaan siap sedia setiap saat. Konon ada yang tiba-tiba dijemput tengah malam dengan heli Kepresidenan. Kemudian dibawa ketempat yang sangat dirahasiakan untuk bertemu dengan orang nomor satu Korea Utara itu.
Dan itulah yang terjadi dengan Delegasi RI saat itu. Bayangkan kondisi ini. Setiap hari kita harus siap sedia sejak pagi dalam pakaian sipil lengkap (PSL) plus peci, dirumah dinas Pak Sanadji, Duta Besar RI, untuk menunggu jemputan dari Istana Kepresidenan. Karena menurut keterangan Park, pemberitahuan akan datangnya jemputan biasanya baru disampaikan sekitar satu jam sebelumnya! Hari pertama lewat, berlalu begitu saja. Tak ada pemberitahuan. Apalagi jemputan. Beruntung kita dihibur oleh keluarga besar staf KBRI dirumah dinas Pak Sanadji, dengan aneka macam hidangan ala Indonesia. Malam harinya kita pulang kembali ke hotel. Meski saya (dan juga Pak Andi Syamsu) tampak bersungut-sungut bahna kesal. Tapi Pak Pardjo tetap tegar! Saya berpikir itulah jiwa dan semangat ’45 yang tetap dimilikinya. Hari kedua dimulai dengan ‘prosesi’ yang sama. Menunggu sejak pagi dengan “full dress” dikediaman Pak Dubes. Tapi hari ini Pak Sanadji membuat acara selingan, silaturahmi dengan semua staf KBRI dan keluarganya. Dan Pak Pardjo dimohon berkenan memberikan pengarahan. Saya tahu itu hanya ‘trik’ Pak Sanadji saja untuk menghilangkan kejenuhan kita menunggu dalam suasana ketakpastian. Saya lihat si LO Park sudah tak berani lagi mendekat. Mungkin dia takut atau malu terus diburu pertanyaan. Sore itu kita kembali kehotel. Masih belum ada kabar. Malam hari Pak Dubes beserta Ibu Sanadji mengundang kita makan malam. Dengan satu pesan agar kita datang tetap dalam keadaan ‘siaga satu’: pakai pakaian lengkap. Alamak. Pak Andi Syamsu keluar darah ‘Bugis’nya. Dia mengeluarkan sumpah serapah untuk sang Pemimpin Besar. Untung saya bukan orang Bugis, orang ‘Pakgis’ juga bukan. Jadi santai sajalah. Malam itu sekali lagi berlalu dengan ‘selamat’, tak ada pemberitahuan. Kita kembali lagi ke hotel “Koryu” untuk beristirahat.
Keesokan harinya, tanggal 11 September 1988,  pagi-pagi saudara Park menggedor pintu kamar saya:
“Pak Tony, pagi  ini kita akan dijemput. Sudah ada kabar hari ini Presiden Kim berkenan mau menerima”. Saya menanggapi dengan dingin saja, Walaupun hati berbunga-bunga. Saya segera melapor kekamar Pak Pardjo. Beliau juga terlihat biasa saja menerima pemberitahuan saya. Bergegas kita meluncur lagi kerumah dinas Pak Dubes untuk menunggu kepastian disana. Sekitar pukul sebelas siang akhirnya “Sang Penjemput” pun datang. Dari Istana Presiden sudah ditentukan yang akan diterima Presiden paling banyak hanya empat orang saja: Menko Kesra mewakili Presiden RI, Duta Besar RI untuk Korea Utara, Pak Andi Syamsu dari Deplu dan Sekretaris Pribadi Menko Kesra, saya sendiri.

      Bersalaman dan foto bersama orang nomor satu di  Korea Utara.

Mobil penjemput sekaligus pengawal dari Istana berjalan didepan. Seolah tidak terburu waktu, mobil berjalan tak terlalu cepat. Tepat dibelakang mobil pengawal adalah mobil Mercedes Tamu Negara dimana duduk Pak Pardjo, Pak Sanadji dan saya dikursi depan. Pak Andi dan Mr. Park duduk dimobil dinas Pak Dubes.
Agak mengherankan, sebab iring-iringan tiga mobil itu seperti dibawa berkeliling kota. Kadang berhenti sejenak dipinggir jalan, kemudian berjalan lagi. Akhirnya mobil masuk kesebuah jalan besar yang sangat sepi. Tak banyak bangunan disepanjang jalan itu. Pak Sanadji sendiri juga tak dapat mengenali nama jalan itu. Setelah berbelok beberapa kali, tampak sebuah barikade penutup jalan yang sudah terbuka ditengahnya. Iring-iringan mobil melewati barikade itu dan masuk kesebuah jalan yang kini betul-betul lengang seolah tak berpenghuni. Dikejauhan tampak sebuah bangunan megah tapi sederhana sekali bentuknya. Kesederhanaan bentuk yang justru menebarkan pesona angker dan berwibawa. Bangunan berwarna abu-abu itu tampak seperti hanya berlantai dua saja. Aneh, saya tidak melihat adanya pasukan pengawal seperti laiknya pengawalan sebuah Istana Kepresidenan.  Entah berada dimana “Paspampres”nya. Tapi saya memiliki kesan, area sekitar Istana Presiden (atau apapun namanya) ini jelas-jelas sangat “steril”.     
                                                                                         Istana Presiden Korea Utara          foto: google
Begitu turun dari mobil, rombongan dibawa masuk melalui pintu depan Istana yang lengang, langsung diarahkan menuju lift untuk naik kelantai dua. Dan lift itu hanya punya kapasitas untuk mengangkut enam orang saja! Disebuah kamar tunggu kita berempat diperiksa ala kadarnya saja, sambil diminta untuk membenahi pakaian masing-masing. Tidak ada pemeriksaan dengan ‘metal detector’ layaknya masuk ke Istana Presiden. Prosedur amat sangat sederhana yang entah mencerminkan kepercayaan diri berlebihan atau memang meremehkan tamu, saya kurang pasti.
Lalu tibalah saatnya pertemuan itu. Seorang petugas Protokol membawa kita memasuki sebuah ruangan dilantai dua itu. 
Dan disanalah “Sang Pemimpin Besar Revolusi”, sekaligus "Bapak Bangsa" itu berada. 

Dia berdiri santai dengan didampingi beberapa orang Menteri kepercayaannya. Mengenakan setelan jas berpotongan sangat sederhana berwarna abu-abu tua, dengan kemeja putih bersih dan dasi polos warna merah, Kim Il Sung sama sekali tak tampak sebagai orang “kuat”. Tubuhnya tidak terlalu tambun untuk ukuran seorang Kepala Negara yang sudah 40 tahun berkuasa. Rambutnya disisir rapi kebelakang, Ada ‘selarik barisan’ uban berwarna putih abu-abu seolah ditata rapi menyelinap disebelah kiri rambutnya. Sekelebat saya teringat ‘gaya’ uban Koes Hendratmo. Sebagai orang nomor satu di Korea Utara, Kim Il Sung ternyata tidak “modis”, ia memakai kacamata baca yang modelnya biasa saja. Tidak ada kesan kemewahan sama sekali. Dengan senyum tipis dan tanpa kata-kata dia menjabat tangan anggota rombongan satu persatu. Tangannya hangat, tapi genggamannya tak begitu kuat. Setelah basa basi sebentar, (tentu lewat penerjemah yang duduk dibelakangnya), Kim Il Sung menerima surat pribadi Presiden Soeharto dari tangan Menko Kesra Soepardjo Roestam. Saya melihat sekilas guratan kepuasan diwajah Pak Pardjo. Tugas khusus dari Presiden telah tuntas dilaksanakannya. Sebuah pertemuan yang ‘zakelijk’ (lugas) dan ‘to the point’. Bahkan tak ada suguhan minuman apalagi makanan kecil.
Protokol kemudian mempersilakan rombongan tamu untuk memasuki ruangan yang biasa dipergunakan Presiden Kim berfoto bersama para tamunya. Dinding dipenuhi sebuah lukisan berukuran besar menampilkan pemandangan pegunungan yang didominasi warna hijau hutan rimba. Lukisan itu juga menggambarkan sebuah air terjun disebelah kanannya. Nampaknya lukisan besar itulah yang akan dipakai sebagai latar belakang. Konon inilah lukisan yang menggambarkan pegunungan dan hutan rimba tempat Kim Il Sung muda bergerilya memimpin perjuangan melawan tentara pendudukan Jepang.
Sebagai tuan rumah, Presiden Kim Il Sung berdiri ditengah. Diapit oleh Pak Pardjo disebelah kanannya dan Pak Dubes Sanadji disebelah kirinya. Saya berdiri disebelah kiri Pak Dubes. Disamping kiri saya berdiri Menteri Keuangan Korea Utara. Sedangkan disamping kanan Pak Pardjo berdiri Menteri Luar Negeri Korea dan Pak Andi Syamsu. Fotografer Istana memakai sebuah kamera (yang mirip) Hazelblad Profesional untuk mengabadikan acara foto bersama itu.
Tanpa aba-aba, dia mengambil dua atau tiga ‘jepretan’, dan selesai sudah.
Seluruh proses kunjungan kehormatan sampai foto bersama memakan waktu tidak sampai 45 menit. Padahal Delegasi RI yang diutus oleh Presiden Soeharto telah menunggu waktu yang bersejarah  itu selama hampir 3 kali 24 jam!

      Hadiah foto ‘hitam putih’ dari Presiden Kim Il Sung.
Delegasi Indonesia bersama Presiden Kim Il Sung.        foto: istimewa

Keesokan harinya semua suratkabar yang terbit di Pyongyang menampilkan foto-foto Presiden Kim Il Sung bersama para Tamu Negara yang telah diterimanya. Termasuk foto bersama Delegasi RI! Ternyata semua tamu Presiden Kim difoto dengan latar belakang lukisan yang sama. Sayang seluruh berita dikoran ditulis memakai huruf Korea,  jadi saya tidak faham apa saja yang diberitakan di koran. Yang mengejutkan,  masing-masing anggota Delegasi mendapat ‘hadiah’ foto tersebut dari Istana Presiden sebagai kenang-kenangan. Sebuah foto bersejarah yang tidak setiap orang bisa memilikinya. Walaupun hanya dalam format foto ‘hitam putih’, bukan foto berwarna.
Bagaimanapun itulah momen bersejarah yang menjadi kenangan tak terlupakan bagi saya.



bersambung.....



1 komentar:

  1. Mas Tonie,koq belum ada sambungannya.
    Saya terakhir masih sempat menunggui beliau Bpk Dubes Sanadji sebelum wafatnya di RSAD karena kanker ususnya.Saya masih ingat ketika itu beliau sering berpesan kepada saya kalau ada apa2 hubungi Bpk Sidoarjo Rustam.
    Lahumul Faatehah Untuk Bapak Dubes Korut Sanadji Tamziz

    BalasHapus