Sabtu, 02 April 2011

"SEJARAH BERULANG......PAK PARDJO NAIK OJEK LAGI...!!"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (45)

      “Benang kusut” di Konggres III PDI di Medan.

Pada sekitar bulan April 1986, terjadi semacam ‘kisruh’ politik yang diakibatkan oleh gagalnya pemilihan Ketua Umum Partai pada Konggres III Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Medan..
Sesuai UU yang berlaku pada waktu itu,  kedudukan Mendagri adalah sebagai Pembina Politik Dalam Negeri. Sehingga dengan dalih untuk menjaga stabilitas politik nasional, Mendagri berhak ikut turun tangan menengahi apabila terjadi keributan atau konflik di internal sebuah Partai Politik. 
Pada suatu hari dibulan April 1986 itu Mendagri diundang untuk menghadiri acara Pekan Kesenian di Denpasar Bali. Acara dilaksanakan pada sore sampai malam hari. Seperti biasa kalau dinas ke Denpasar, Pak Pardjo selalu memilih bermalam di “Pertamina Cottage” Kuta, karena letaknya yang sangat dekat dengan Bandara Ngurah Rai.  Malam hari itu Pak Hari Sugiman (Dirjen Sospol Depdagri) menelepon saya dari Jakarta, minta disambungkan ke Pak Menteri karena belaiu ingin melapor tentang situasi “benang kusut” yang terjadi saat pemilihan Ketua Umum PDI pada Konggres III PDI di Medan. Malam itu juga Pak Mendagri langsung memerintahkan agar secepatnya mengadakan rapat tertutup dengan tokoh-tokoh senior PDI yang bertikai. Beliau minta Rapat diadakan besok pagi pukul 10.00 disebuah hotel ternama didaerah Semanggi. Akan tetapi Pak Pardjo minta diadakan rapat staf lebih dahulu pada pukul 09.00, bertempat ikediaman Mendagri di Widya Chandra untuk mendengar laporan dan paparan dari Dirjen Sospol. 
Akhirnya Pak Pardjo memutuskan untuk membatalkan acara yang masih tersisa di Denpasar Bali, agar bisa pulang ke Jakarta secepat mungkin dengan flight pertama Garuda esok pagi pukul 06.00.
Keesokan harinya ternyata pesawat Garuda flight pertama mengalami delay (penundaan terbang) karena kerusakan teknis, sayangnya tidak ada penerbangan lain ke Jakarta pada pagi hari itu. Sebagai seorang yang sangat disiplin soal waktu, Pak Pardjo kelihatan sekali sangat kesal. Penundaan ini jelas mengacaukan jadwal acara rapat yang akan diadakan di Jakarta. 
Ternyata pesawat baru bisa lepas landas pada pukul 07.30!  Saya lihat wajah Pak Pardjo sudah mulai berubah. Saya membuat ‘kalkulasi’. Pesawat paling cepat mendarat di Cengkareng pada pukul 09.15. Pada tahun 1986 jalan tol dari Bandara baru sampai perempatan Pluit. Padahal pada pagi hari daerah Pluit sampai Grogol dan Semanggi terkenal sangat macet. Perjalanan dari Bandara sampai kediaman di Widya Chandra saya perkirakan bisa lebih dari satu jam! Jadi kemungkinan pukul 10.30 Pak Pardjo baru tiba dirumah. Bisa lebih malah. Wah, bakal kacau semua jadwal acara Mendagri hari ini. 
Rupanya Pak Pardjo diam-diam juga sudah mengadakan perhitungan sendiri.

      Mendagri naik ‘ojek’...!!

Pukul 09.10 pesawat baru mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Tanpa berhenti di VIP Room, Pak Pardjo segera meloncat masuk kedalam mobil. Begitu masuk ke sedan Volvo langsung minta kepada Kasem (sopir Mendagri) untuk ngebut pulang. Situasi jadi sangat menegangkan. Saya lihat Kasem juga sama tegangnya. Entah kenapa pagi itu jalan tol Bandara juga padat sekali. 
Keluar dari pintu tol Pluit jalanan tidak kalah  padatnya. Karena (pada tahun 1986) jalan tol dalam kota Pluit-Semanggi belum dibikin, jadi silakan bayangkan macetnya! Saya lirik dari kaca spion Pak Pardjo terus saja melihat arloji ‘Breitling’ nya. Wajahnya keruh sekali!  
Ditambah lagi pada masa itu belum 'jaman'nya telepon genggam, yang ada baru telepon mobil. Itupun masih dimonopoli oleh  telepon mobil merk INTI yang hanya dimiliki oleh anggota Kabinet (jatah resmi dari Sekretariat Negara) dan pejabat atau orang kaya tertentu saja. Sedihnya,  dipagi hari 'kelabu' itu pesawat telepon mobil INTI ikut ‘meramaikan’ dan menambah tegang suasana. 
Jaringan telepon INTI sibuk terus. Susah sekali untuk mencoba menelepon keluar. 

(Bagi anda yang belum pernah mengoperasikan telepon mobil “INTI” yang berwarna orange, baiklah saya beritahu caranya: setiap mengangkat handset, kita harus menekan sebuah tombol untuk mengaktifkan jaringan. Ada dua lampu kecil berwarna merah dan hijau. Bila kita tekan tombol, lampu menyala merah, artinya jaringan penuh, kita belum bisa membuat panggilan. Harus menunggu sampai lampu hijau menyala. Nah kalau kondisi jaringan sedang “crowded”, maka lampu hijau itu susah sekali menyala. Artinya? Wasalam!).
 
Saya tambah ‘senewen’ karena tugas saya adalah memberitahu Pak Hari Sugiman tentang keterlambatan ini, sekaligus minta agar rapat yang diadakan di hotel diundurkan waktunya. Walaupun Protokol Pemda Bali sudah diminta untuk memberitahukan keterlambatan Pak Pardjo, saya yakin Pak Hari Sugiman juga sudah ‘senewen’  menunggu dirumah dinas Pak Menteri.
Sekarang sudah pukul 09.25! Mobil baru saja keluar dari perempatan Pluit. Jalanan semakin padat. Merayap saja susah. Tiba-tiba saja Pak Pardjo berteriak: 
“Minggir Sem. Berhenti disini saja, cari tempat yang aman”.
Saya dan Kasem saling berpandangan, belum faham maksud perintah Pak Pardjo.
“Minggir Sem! Berhenti!” Pak Pardjo membentak.
Astagfirullah. Saya kaget sekali, Kasem tidak kurang pula kagetnya. Dia banting setir kekiri diantara bunyi klakson mobil dan sepeda motor yang kaget karena ada sedan Volvo yang tiba-tiba nyelonong kejalur lambat.
“Coba turun Ton, cari ojek sepeda motor. Saya mau naik ojek saja” Kata Pak Pardjo. Welhadalah, sejarah akan terulang nih. Dulu Gubernur Jawa Tengah naik ojek, sekarang Mendagri! Orangnya sama: Soepardjo Roestam!
Begitu mobil berhenti saya melompat turun. Lihat kanan kiri mencari tukang ojek sepeda motor. Sekonyong-konyong saya melihat Pak Pardjo juga sudah turun dari mobil. Tangannya melambai-lambai, menghentikan seorang pengendara motor yang lewat didekatnya. Saya jelas panik. Sipengendara motor berhenti bengong.
“Saya Pak Pardjo, Menteri Dalam Negeri. Minta tolong saya diboncengin kearah Semanggi ya?” Tanpa menjawab ‘ba’ atau ‘bu’, Si “tukang ojek amatir” itu mengangguk, dan ‘bablas’ lah Pak Pardjo diboncengkan seorang pemuda yang entah siapa dia. Bahkan saya tidak tahu nama dan identitasnya!
Tinggallah saya dengan Kasem yang kini bingung bin bengong.
Mendagri kabur naik ‘ojek amatir’! Kalau terjadi apa-apa dijalan, siapa yang harus bertanggung jawab?
“Ayo cepat Sem, kita ikuti sepeda motor itu”
Maka sedan Volvo bernomor Polisi B-19 itupun meluncur lagi. Dijalanan yang macet seperti ini, mobil jenis apa saja (bahkan mobil balap) jelas kalah lincah dibanding sepeda motor. Mata saya ‘jelalatan’ mencoba mencari sepeda motor yang dapat “rejeki nomplok” memboncengkan salah seorang anggota terpenting di Kabinet itu. Tapi Pak Pardjo dan tukang ojeknya seakan lenyap.
Sementara itu saya terus mencoba peruntungan untuk memakai telepon mobil ‘INTI’ guna menghubungi kediaman Pak Mendagri. Orang rumah juga harus tahu kalau Menterinya kabur dengan tukang ojek, dong! Eh, bukan. Yang paling penting saya harus bicara dengan Pak Dirjen Sospol untuk menjelaskan duduk berdirinya perkara ini.
“Terus saya harus menjemput Pak Pardjo kemana dong Dik?” tanya Pak Hari Sugiman ketika saya sudah berhasil menghubunginya.
Waduh, saya sendiri juga bingung nih Pak, saya tidak tahu posisi Bapak sekarang ada dimana. Tadi kejadiannya cepat sekali, saya bahkan belum sempat tanya identitas sipemilik motor” jawab saya dan telepon terputus lagi. Jabang bayi!
Komplit sudah penderitaan saya. Ini untuk pertama kalinya saya “kehilangan” Pak Pardjo, tanpa tahu harus berbuat apa.
Mobil berjalan merayap. Pikiran saya menerawang jauh.
Pak Pardjo adalah seorang yang sangat besar rasa tanggung jawabnya. Beliau pasti merasa bahwa kalau kericuhan yang terjadi didalam tubuh PDI tidak cepat terselesaikan, beliau akan kehilangan muka. Presiden Soeharto telah memberikan mandat sebagai Pembina Politik Dalam Negeri kepadanya, jadi kericuhan politik atau apapun itu namanya berada dalam wewenang dan tanggung jawabnya. Dan kericuhan itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Makin cepat selesai makin baik.
Sebagai mantan Diplomat, Pak Pardjo juga terkenal sebagai ‘negosiator’ atau pelobi ulung. Banyak politisi senior di Komisi II DPR-RI (partner kerja Depdagri) mengakui hal itu. Pendekatan persuasif yang dilakukan Pak Pardjo, membuat orang-orang yang keras kepala sekalipun jadi melunak. 
Salah satu jurus ampuh yang sering digunakan Pak Pardjo adalah mengadakan pertemuan dihotel yang restorannya sudah terkenal enak masakannya. Sebelum mengadakan rapat atau pertemuan, mereka dijamu makan siang atau makan malam lebih dahulu. Dan hasilnya selalu positif. Ada yang menamakan itu sebagai jurus “pendekatan perut”. Oleh sebab itu kalau menjumpai hal-hal yang krusial (rumit) atau bahkan dead lock sekalipun, Pak Pardjo akan mengundang rapat dihotel atau direstoran dengan didahului jamuan makan sebelumnya. Saya sampai hafal diluar kepala, nama-nama hotel dan restoran enak yang jadi favorit beliau untuk menjamu kawan dan lawan-lawan politik pemerintah.
Termasuk rapat dengan tokoh-tokoh senior PDI dan fihak yang sedang bertikai, yang akan diadakan dihotel pada hari ini juga direncanakan begitu. 
Pertemuan biasanya diawali dengan ramah tamah sambil saling melobi, dilanjutkan makan siang, lalu rapat lagi. Biasanya gool!! Masalah terselesaikan dan case closed”!
“Pak Tony, itu kayaknya Bapak, tapi koq sekarang yang mboncengin tentara?” Saya terkejut tiba-tiba, Kasem membuyarkan lamunan saya.
Mobil sudah berada disekitar jembatan Slipi. Kemacetan mulai agak berkurang. Dikejauhan tampak seorang laki-laki yang diboncengkan oleh seseorang yang berbaju seragam hijau tentara tapi tak bertopi. Rambut keduanya tampak awut-awutan, berkibaran diterpa angin. 
Saya hafal sekali PSH (Pakaian Sipil Harian, biasa disebut ‘Safari’) yang dikenakan Pak Pardjo. Tapi saya bingung, kenapa sekarang ‘tukang ojek’ nya ganti?
Saya perintahkan Kasem untuk membuntuti sepeda motor butut itu perlahan-lahan dari belakang. Sekedar untuk meyakinkan apakah betul itu Pak Mendagri yang sedang menikmati  “berkelana keliling kota"….naik ojek.
“Kamu salip saja nanti ditempat yang aman, lalu berhenti didepannya” perintah saya lagi.
“Siiiip, Bos” jawab Kasem. Mukanya sudah tidak kusut lagi sekarang.
Sedan Volvo jatah Menteri itu kini berhenti kurang lebih 25 meter didepan sepeda motor yang terus melaju. Saya kira Pak Pardjo juga sudah melihat ketika kita menyalipnya tadi. Saya bergegas turun untuk menyongsong beliau.
Sepeda motor berhenti tepat dibelakang mobil. Pak Pardjo turun dari boncengan.
“Terima kasih ya, sudah diboncengkan, ini untuk beli bensin” kata Pak Pardjo.
“Siap Jenderal, tapi maaf, saya tidak menerima bayaran” kata si tentara dalam sikap sempurna. Tentara berpangkat Pelda (Pembantu Letnan Dua) itu bersikukuh tidak mau dibayar. Sekali ini rupanya uang Pak Pardjo tidak laku.
“Bagaimana Ton, sudah bisa kontak Pak Hari?” tanya Pak Pardjo ketika sudah berada didalam mobil lagi menuju pulang.
“Sampun (sudah) Pak, beliau sekarang sudah menunggu dikediaman” jawab saya.
“Rapatnya sudah diundurkan waktunya?”
“Sudah Pak”
Jam tangan saya menunjukkan pukul 10.35 waktu mobil memasuki halaman rumah dinas Menteri di Widya Chandra..
Pak Hari Sugiman menyambut didepan pintu sambil tertawa-tawa:
Wah Bapak tadi sempat nitih (naik) ojek ya?”
“Iya, saya pikir bisa lebih cepat, ternyata sama saja” jawab Pak Pardjo.
Semua yang mendengar jawaban beliau ikut tertawa. Saya cuma nyengir kuda. Teringat betapa kalut dan paniknya kehilangan ‘momongan’ tadi.
Akhirnya terlaksana juga rapat dengan para tokoh senior PDI yang sedang berseteru itu di hotel bintang lima berlian dikawasan Semanggi.
Saya tidak ikut masuk kedalam, tapi beberapa hari kemudian saya tahu hasilnya.
Drs. Surjadi akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum PDI.
Mendagri Soepardjo Roestam sukses mengurai “benang kusut” Konggres III PDI di Medan yang nyaris mengalami “dead lock” (jalan buntu) dan berpotensi mengganggu stabilitas politik nasional.
Walaupun untuk meraih kesuksesan itu ternyata harus dibayar sangat mahal.



bersambung.....





1 komentar:

  1. p tonny saya tahu anda adalh lama menjadi ajudan bp supardjo baik di jateng maupun di jakrta...alangkah baiknya anda buat buku pasti laris manis ya....kan anda pernh kuliah di publisistik bareng saya dulu di semarang....pasti bisa dan mampu.selamat ya.{p.haryono md .082226413956 }suwun.belumpensiun to ya..amin.

    BalasHapus