Senin, 11 April 2011

"KISAH SEBUAH KOPIAH...DITEMPAT JUMRAH"

     (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (92)


Released by mastonie, Monday, April 12, 2010 at 02.43 pm



      Terpisah dari rombongan, lempar Jumrah Aqabah sendirian....

Saya masih mengalami lagi sebuah peristiwa yang tidak biasa, kalau tidak boleh disebut “aneh”.  
Peristiwa itu terjadi pada waktu saya melaksanakan ibadah melempar jumrah, sebagai salah satu rukun haji.
Sehabis melaksanakan wukuf di Arafah, mabit (bermalam) di Muszdalifah dan di Mina, terjadi kemacetan lalu lintas yang sangat parah dijalur pulang menuju Mina. Kendaran minibus yang ditumpangi TPOH termasuk yang terpaksa berhenti dan karena cuaca sangat panas maka sopirnya memutuskan untuk berlindung dibawah sebuah jembatan layang. 
Daripada menunggu dalam cuaca yang sangat panas, maka semua anggota TPOH memutuskan untuk berjalan kaki saja menuju tempat pelemparan Jumrah. Hari sudah agak siang -sekitar pukul 11.00-, ketika saya tiba dilokasi untuk melempar jumrah. Cuaca  terasa semakin panas terik dan menyengat. Tidak seperti di tanah air, di tanah suci bahkan anginpun berhembus kering dan panas!
Justru tepat pada saat saya sedang akan melempar jumrah Aqobah untuk yang pertama kali, entah mengapa saya terpisah dari anggota TPOH yang lain. 

 fotos: islamicfinder.org

Pada tahun 1992, tempat pelemparan jumrah sudah terdiri dari dua lantai. Akan tetapi 3 (tiga) buah jumrah atau jamarat masih berbentuk semacam tiang  yang tinggi besar dan menjulang sampai menembus kelantai dua. Ketiga tiang jumrah itu dibatasi oleh tembok yang melingkar seperti bibir sumur setinggi pinggang orang dewasa. Karena bentuk jumrah yang seperti tiang, sedangkan jemaah haji yang melempar datang dari segala arah yang melingkari dinding pembatas, maka kalau ada jemaah haji yang meleset pada saat melempar jumrah, bisa terjadi batu (atau benda apapun) yang dilempar itu akan ‘bablas’ melayang keseberang dinding pembatas. Padahal diseberangnya juga dipadati oleh jemaah haji yang sama-sama sedang melempar jumrah. Alhasil batu ‘nyasar’ itu bisa saja menimpa dan melukai jemaah haji lain! 

Saya menyaksikan dari dekat dengan mata kepala sendiri ketika seorang jemaah haji yang sosok badannya tinggi besar -entah berasal dari Negara mana- terkena lemparan batu nyasar yang tepat mengenai jidatnya. Seketika itu pula dia roboh dengan darah berlumuran diwajahnya. Untung badannya yang melayang jatuh sempat diraih oleh teman-temannya, sehingga tidak sempat jatuh ketanah. Saya tak bisa membayangkan seandainya tubuhnya jatuh ketanah, pasti akan langsung terinjak-injak ribuan jemaah haji yang masing-masing dalam keadaan sibuk ‘berjuang’ melempar jumrah.
Pada saat itu saya juga sedang berjuang mendekat kedinding ‘sumur’ pembatas, agar dapat melempar jumrah Aqabah (jumrah pertama) dari jarak yang lebih dekat. Tanpa saya ketahui darimana datangnya, seorang wanita lanjut usia memakai abaya (gaun panjang terusan) berwarna hitam dan juga bercadar hitam, tiba-tiba saja merapatkan dirinya kebadan saya. Dalam keadaan hiruk-pikuk dan berdesakan seperti itu, saya segera sadar dan maklum bahwa wanita tua itu mungkin bermaksud meminta pertolongan saya  agar dapat mencapai dinding jumrah. Tanpa buang waktu saya segera merengkuhnya. Dalam hiruk pikuk manusia yang berdesakan dan mau menang sendiri,  saya memutuskan untuk terus maju dengan berjalan miring sambil setengah mendekap wanita tua itu. Secara perlahan saya beringsut menuju dinding ‘sumur’ pembatas tiang jumrah. Dalam kondisi dorong mendorong dengan ribuan jemaah haji lain, saya berusaha sekuat tenaga menopang wanita tua itu untuk tetap bisa berjalan. 
Namun sekonyong-konyong kopiah haji berwarna putih yang saya pakai terjatuh. Saya langsung teringat kejadian pada saat saya ‘berjuang’ mencium Hajar Aswad, dan juga larangan bagi setiap jemaah haji: “Jangan pernah mencoba mengambil apapun milikmu yang terjatuh pada saat sedang melaksanakan tawaf, sa’i atau pada saat melempar jumrah!”. Karena akibatnya bisa fatal, terinjak-injak jemaah yang jumlahnya bisa mencapai ribuan disatu tempat saja.
Jadi dengan ikhlas saya relakan saja kopiah (yang saya bawa jauh-jauh dari tanah air) itu jatuh dan terinjak-injak oleh kaki jemaah lain.
Akhirnya wanita tua renta itu -dan tentu juga saya- berhasil  melempar jumrah Aqobah sebanyak tujuh kali lemparan dengan selamat. Alhamdulillah. Tanpa mengharapkan ucapan syukron -terima kasih- dari wanita itu, saya bergegas keluar dari kerumunan ribuan jemaah haji yang berdesakan untuk kembali ke pondokan TPOH di Wisma Indonesia Aziziah.
    Ketika sedang mendaki bibir bukit yang terletak disamping jumrah Aqobah, sayup sayup saya mendengar seseorang berteriak: “Haji, haji....”. 
Karena merasa bukan saya yang dipanggil, saya meneruskan langkah keluar dari kerumunan orang yang juga sudah selesai melempar jumrah. Tiba-tiba saja sebuah tangan menepuk pundak saya dengan sebuah sapaan lembut: “Haji”. Saya menoleh. 
Sebuah wajah putih bersih tapi penuh dengan kerutan tanda lanjut usia tersenyum sambil mengacungkan sebuah benda ditangannya. Ia adalah seorang lelaki tua yang wajahnya memancarkan aura penuh wibawa -tinggi tubuhnya mungkin satu setengah kali dari tinggi tubuh saya-, matanya menyiratkan kedamaian dan  tampak begitu bersahabat. Dia bicara dalam bahasa Arab dengan sangat cepat. Saya memang tidak faham bahasa Arab, jadi saya tidak mengerti apa maksudnya. Tapi ketika saya lihat lebih teliti benda yang ada ditangannya, Subhanallah! Itu adalah kopiah saya yang terjatuh tadi! Setengah ragu saya menerima kopiah putih bersih itu dengan tangan gemetar. Seingat saya kopiah ini tadi terjatuh dan pasti kotor terinjak-injak ratusan pasang kaki jemaah haji yang sedang sibuk melempar jumrah. Masih dengan perasan yang tak karuan, saya amati sebuah tanda yang tertulis dibalik kopiah putih itu. 
Masya Allah, betul! Ini betul-betul kopiah milik saya. Disitu tertera kaligrafi  “ALLAH” yang saya tulis sendiri dengan spidol hitam disemua kopiah yang saya bawa dari Indonesia. Dibawahnya ada gabungan huruf “TK”, inisial nama saya. Lagi pula kopiah haji “murahan” itu (yang saya beli dipelataran Asrama haji Pondokgede) asli made in Sukabumi. Saya tahu persis kopiah semacam itu tidak dijual di tanah suci.
Saya menengadah untuk mengucapkan terima kasih.
Allahu Akbar. Laki-laki tua itu sudah tak ada! Saya menyapukan pandangan mata kesekitar tempat saya berdiri. Bahkan punggungnyapun tak tampak lagi. Begitu cepatnyakah ia berjalan? Atau laki-laki tua itu bisa menghilang?
Atau jangan-jangan ….malaikat kah dia? Ah.
Saya masih berdiri bengong tak percaya. Saya lihat sendiri kopiah putih ini tadi terjatuh dan terinjak-injak jemaaah haji yang jumlahnya ribuan orang. Tapi kopiah yang saya terima kembali ini jelas benar-benar milik saya. Saya yakin, bahkan haqul yakin. Tentu saja saya hafal betul kaligrafi “Allah” dan huruf “TK” yang memang tulisan tangan saya sendiri. Meski tidak secara langsung, saya seperti diingatkan pada sebuah hadits:
“Abu Umamah Al Bahili RA, menceriterakan, ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW:”Bagaimana pendapat engkau tentang seorang lelaki yang berperang -hanya- untuk mencari pahala dan ketenaran? Apakah yang ia peroleh?” Rasulullah SAW menjawab: ”Tak ada apa-apa baginya”. Lalu lelaki itu mengulang pertanyaannya sampai tiga kali, dan Rasulullah memberikan jawaban yang sama. Kemudian beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima amal itu kecuali amal dari seorang yang IKHLAS, yang hanya mengharapkan keridhoan Allah SWT”
(HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Saya membaca tasbih dan istighfar berkali-kali. 
Seraya sepenuhnya yakin akan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar