Senin, 11 April 2011

"MENCIUM 'HAJAR ASWAD'...."





(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (91)
Released by mastonie, Tuesday, April 13, 2010 at 11.57 am 


      Sekilas tentang "Hajar Aswad"

Pada saat menunaikan ibadah haji saya yang pertama inilah, saya mengalami suatu peristiwa yang termasuk “ruuuarrrr biasaa”. Yaitu ketika saya diajak oleh teman-teman TPOH untuk mencoba mencium ‘Hajar Aswad’

Batu hitam yang terletak disudut Ka’bah itu memang selalu dicium oleh Rasulullah SAW pada waktu beliau melakukan ibadah tawaf seperti dikisahkan dalam hadits dibawah ini:
Ibnu ‘Umar RA bercerita, Rasulullah SAW mendekati Hajar Aswad, lalu menciumnya, kemudian beliau tampak menangis untuk beberapa saat lamanya. Setelah itu beliau menoleh kepada ‘Umar bin Khattab yang juga sedang menangis disebelahnya. Maka Rasulullahpun bersabda:
“Wahai ‘Umar, disinilah seharusnya air mata itu ditumpahkan
(HR. Ibnu Majah).
Sejak itu ‘Umar bin Khattab RA (juga) selalu mencium Hajar Aswad seraya berkata:
“Demi Allah, aku tahu engkau hanya batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu, maka aku juga tidak akan menciummu”
(HR. Muslim).
Kebiasaan Rasulullah SAW (yang kemudian dilakukan pula oleh para sahabatnya) itulah yang kemudian ditiru oleh (hampir semua) umat Islam yang menjalankan ibadah tawaf, baik pada musim haji ataupun umrah. Padahal Kementrian Haji Kerajaan Arab Saudi selalu mengedarkan ‘pamflet/selebaran’ gratis kepada para jemaah haji atau umrah. Dicetak dalam berbagai bahasa, selebaran itu antara lain intinya menyebutkan bahwa:
“Mencium Hajar Aswad itu hukumnya adalah SUNAH,  menghormati sesama muslim hukumnya adalah WAJIB”.
Oleh karena itu sesungguhnya tidak boleh mengerjakan sunah dengan meninggalkan hal yang wajib. Dengan adanya Pamflet berisi himbauan itu diharapkan para jemaah tidak memaksakan diri untuk mencium Hajar Aswad dengan cara berdesakan dan berebutan sehingga terkadang nyaris melupakan ‘tata krama’, etika dan sopan santun. Apalagi dengan saling tarik dan dorong (yang cenderung menyakiti orang lain) seperti yang selama ini selalu terjadi. Tapi sayang, himbauan tinggallah himbauan. Pada kenyataannya jemaah haji yang datang dari segala penjuru dunia tetap saja saling berebut untuk dapat mencium Hajar Aswad!
Apa sebetulnya yang disebut sebagai “Hajar Aswad” itu dan apa keistimewaannya sehingga selalu saja orang berebut untuk menciumnya?
Menurut buku ‘Sejarah Mekah’ yang ditulis oleh Dr. Muhammad Ilyas Abdul Ghani (Al-Rasheed Printers, Lahore Pakistan, third Edition, 2004), Hajar Aswad adalah sebuah batu (Hajar) berwarna hitam (Aswad), yang terletak dipojok sebelah selatan Baitullah. Batu itu menempel setinggi kurang lebih 1,10 meter dari permukaan tanah. Ukuran batu hitam itu sekitar 25 x 17 cm. Awalnya memang hanya sebongkah batu saja, tapi konon pada tahun 310 H, Hajar Aswad pernah dicuri dan dilarikan ke kota Ihsa’ dan kemudian dipecah menjadi 8 bagian. Pada tahun 339 H batu itu berhasil diketemukan dan dikembalikan ketempat semula dipojok Ka’bah. Delapan kepingan batu itu kemudian disatukan lagi dan dibuatkan pelindung dipinggirnya (sekaligus pengaman) dengan logam perak. Dalam sebuah hadits Rasulullah pernah bersabda:
“Hajar Aswad itu adalah sebuah batu yang diturunkan dari surga. Warnanya lebih putih daripada susu. Kemudian batu itu berubah (warnanya) menjadi hitam karena dosa anak cucu Adam”.
Hal itu dibenarkan dalam Riwayat Mujahid yang menyebutkan kesaksian Ibn Zubair pada saat memugar Ka’bah. Ia bersaksi bahwa bagian batu yang menempel disebelah dalam Ka’bah berwarna putih bersih. Selain itu menurut beberapa kisah, Hajar Aswad adalah batu yang mempunyai keistimewaan dan keutamaan. Batu itu adalah sebuah batu mulia (yaakuut) yang diberikan kepada Nabi Ibrahim AS untuk dipasang disudut Ka’bah.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi disebutkan, Rasulullah juga pernah bersabda:
“Demi Allah, pada hari kiamat kelak batu itu -Hajar Aswad- akan diutus Allah sebagai saksi. Dengan dua matanya dan dengan lidahnya ia akan memberikan kesaksian atas siapa saja yang menyalaminya dengan kebenaran”.

 foto: mastonie

Demikianlah maka pada siang hari yang terik itu, bersama teman-teman TPOH yang berjumlah sekitar 10 orang, saya melakukan tawaf sunah. Kami semua berjalan beriringan saling berpegangan tangan dengan erat, menjaga agar supaya rombongan tidak terpisah. Sambil berjalan kami segera berusaha untuk merapat kedinding Ka’bah. Saya yang usianya paling muda ditempatkan didepan untuk bertindak sebagai ‘ujung tombak’ sekaligus bemper. Saya didampingi oleh seorang mutawif (pemandu tawaf). Beliau adalah seorang anggota TPOH senior dari Departemen Agama RI (salah satu Staf Ahli Menteri Agama). Sebelum melakukan tawaf, teman-teman dalam satu rombongan sudah dipesan untuk secara perlahan -sambil tawaf- berjalan semakin mendekat ke dinding Ka’bah. Ternyata “teori” mendekati Hajar Aswad yang tampak mudah itu pada prakteknya sangat susah dilaksanakan. Kami, jemaah Indonesia yang rata-rata bertubuh kecil, seperti dilanda angin puting beliung! Jemaah yang berasal dari berbagai Negara dan berjumlah ribuan itu hampir semuanya tampak sangat bernafsu untuk mendekati Hajar Aswad. Mereka mengerahkan segala daya dan upaya, meskipun harus menyikut dan ‘menyikat’ jemaah haji lainnya yang notabene adalah sesama muslim. Disinilah rombongan kami mulai tercerai berai. Tanpa sadar satu persatu lepas dari gandengan. Apalagi ketika jarak sudah makin dekat ke ‘batu hitam’ itu. Teman-teman yang usianya relatif sudah ‘sepuh’ tampaknya mulai mengalah karena tidak tahan desakan yang makin lama makin parah. Akhirnya ternyata hanya saya seorang diri yang tertinggal dalam ‘amukan gelombang’ manusia yang semuanya tampak ingin menang sendiri itu. Subhanallah.
Dengan ‘ndremimil’ (tidak berhenti) membaca semua do’a yang saya hafal, saya nekat, maju terus pantang mundur. Sudah kelewat basah sih. Jadi ya nyebur saja sekalian. Sekarang saya sudah betul-betul berada didepan Hajar Aswad. Batu hitam yang dikelilingi logam berwarna keperakan itu seperti menyihir saya. Dengan sekuat tenaga saya berusaha maju mendekat. Tarikan, jambakan dan teriakan jemaah lain seakan sudah tak terdengar lagi. Sebuah tangan (yang saya yakin tentu kuat sekali) tiba-tiba seperti menarik tubuh saya keatas sekaligus membuat wajah saya terdorong kearah sang batu. Ajaib! Saya seperti lupa semua doa yang harus saya ucapkan. Otak saya mendadak berhenti bekerja. Mata saya memandang batu didepan saya seolah tak percaya saya betul-betul telah berada didepannya. Ketika saya sedang mencium dan mengusap batu berwarna hitam itu, sekonyong rambut dan ‘baju koko’ saya ditarik kebelakang dengan kuat sehingga leher saya tercekik. Sekilas terdengar oleh saya teriakan dalam bahasa Arab: “Halas, halas!” (sudah, sudah). Saya tak bisa bernafas. Begitu kuatnya cekikan dileher saya itu, sampai saya berfikir bahwa ajal saya sampailah sudah! Masya Allah.
Karena badan saya menjadi lemas saking susah bernafas,  tiba-tiba buku panduan do’a yang ada digenggaman tangan saya jadi terlepas. Secara refleks saya berusaha meraih buku yang jatuh tersebut. Saya membungkukkan badan untuk mencari. Lagi-lagi sebuah tangan yang sangat kuat (ternyata tangan askar penjaga Hajar Aswad!) menarik tubuh saya keatas sambil berteriak “Haram haji, haram”.
Pada saat itu saya samasekali lupa anjuran yang selalu ditekankan kepada semua jemaah haji, untuk tidak memungut benda apapun yang terjatuh pada saat tawaf, karena hal itu bisa mengakibatkan badan terinjak-injak jemaah lain sehingga dapat menyebabkan kematian! Lepas dari ‘kemelut bak angin ribut’ itu, saya berdiri terbengong-bengong di Multazam. Sebuah daerah didekat pintu ka’bah, yang mustajab, karena konon siapapun yang berdoa didepan tempat itu akan dikabulkan oleh Allah SWT. Wallahu ‘alam.
Untuk beberapa saat lamanya saya masih tidak yakin sudah ‘sukses’ mencium Hajar Aswad! Tapi belum sadar seratus persen, saya sudah ‘digulung ombak’ lautan manusia yang keluar dari kerumunan Hajar Aswad. Pontang panting saya mencari jalan keluar yang aman, sambil tak henti-hentinya mengucap syukur kehadirat Allah SWT yang telah berkenan mengijinkan saya mencium Hajar Aswad sekaligus melindungi jiwa saya dari kematian.
Subhanallah.  Allahu  akbar…..

     “Safari Wukuf”,  “Wukuf” dan hari ‘coblosan’ Pemilu 1992.

Salah satu rukun haji (dari 6 rukun) yang apabila tidak dilaksanakan maka ibadah hajinya menjadi tidak sah adalah “Wukuf” di padang Arafah.
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Haji (itu) adalah wukuf (di Arafah)”.
Jadi sudah jelas siapapun dia yang pergi ketanah suci untuk menjalankan ibadah haji namun tidak melaksanakan wukuf, maka dia bisa disebut sebagai belum berhaji.
Dalam catatan saya sebagai petugas TPOH, ternyata banyak sekali jemaah calon haji asal Indonesia yang termasuk resiko tinggi karena telah lanjut usia. Apalagi banyak diantara para jemaah yang masih belum bisa membedakan antara ibadah sunah dan wajib. Sehingga saking semangatnya mengerjakan ibadah sunah (umrah di Mekah, atau arbain di Madinah), menyebabkan banyak jemaah calon haji yang pada saat menjelang wukuf tiba (tanggal 9 Dzulhijah) justru malah jatuh sakit.
Menyadari banyaknya jemaah calon haji Indonesia yang sakit sebelum wukuf, (sehingga apabila mereka sampai tidak ikut wukuf berarti tidak mendapatkan “haji” alias kepergiannya ke tanah suci sama dengan sia-sia), maka Departemen Agama memerintahkan kepada para dokter anggota TKHI (Tim Kesehatan Haji Indonesia) untuk melakukan program “Safari Wukuf”.
Yang dinamakan “Safari Wukuf” ini adalah sebuah program ‘terobosan’ yang khas Indonesia. Para jemaah calon haji dikedua kota besar (Mekah dan Madinah) yang menderita sakit dari ringan sampai sangat berat, dalam kondisi bagaimanapun (walau dalam keadaan diinfus dan dalam kondisi koma sekalipun) tetap diberangkatkan ke padang Arafah dengan menggunakan mobil-mobil ambulans. Tentu dengan maksud agar para jemaah yang sakit itu juga dapat melaksanakan wukuf tepat pada tanggal 9 Dzulhijah di Arafah. Sungguh sebuah misi yang sangat berat namun sangat mulia. Setahu saya “Safari Wukuf” ini memang hanya dilakukan oleh jemaah haji asal Indonesia saja.

Perjalanan dari Mina menuju Arafah dibulan haji adalah perjalanan yang sangat berat dan melelahkan, karena bisa memakan waktu selama berjam-jam. Padahal jaraknya hanya sekitar 12 kilometer saja. Ribuan kendaraan pengangkut jemaah calon haji dari seluruh dunia yang terdiri dari berbagai jenis (dari sedan, pikup sampai bus dan truk), saling berebut jalan menuju kesatu tempat: Padang Arafah. Kemacetan lalu lintas terjadi ditengah cuaca panas terik menyengat dan sangat bising dengan suara klakson yang saling bersahutan. Segala daya upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk membuat begitu banyak jalur-jalur jalan menuju Arafah, namun karena dari tahun ke tahun jumlah jemaah calon haji juga selalu bertambah (walau telah dibatasi dengan kuota), maka kemacetan lalu lintas menjelang saat tibanya hari Wukuf selalu saja terjadi. Saya menyaksikan banyak jemaah calon haji yang masih muda dan sehat  (yang jumlahnya ternyata cukup banyak juga), lebih memilih untuk berjalan kaki menuju Arafah. Ternyata memang justru jauh lebih cepat tiba ditempat.
Hari wukuf pada tahun 1992 kebetulan jatuh bertepatan dengan dilaksanakannya hari “Coblosan” Pemilu 1992 di Indonesia. Oleh karena itu seluruh jemaah calon haji warga negara Indonesia, juga diusahakan agar mereka tidak kehilangan haknya untuk ikut mencoblos.  Maka PPLN (Panitia Pemilu untuk Luar Negeri) RI di Arab Saudi terpaksa membuat bilik-bilik pencoblosan di padang Arafah untuk para jemaah haji Indonesia. Namun sepanjang pengamatan saya, karena jemaah lebih berkonsentrasi pada ibadah Wukufnya, maka banyak diantara mereka yang tidak mendatangi ‘bilik pencoblosan’ untuk menggunakan haknya.
(Para petugas TPOH sendiri juga ikut khusyuk melakukan semua kegiatan ibadah yang wajib dilaksanakan pada hari Wukuf termasuk mendengarkan khotbah wukuf. Sehingga akhirnya melaksanakan haknya untuk mencoblos pada Pemilu 1992 ketika sudah kembali ke penginapan di Jeddah)
Sepanjang pagi sampai menjelang salat Dhuhur pada tanggal 9 Dzulhijah itu, seantero padang Arafah penuh dengan jemaah calon haji dari seluruh penjuru dunia. Jumlah seluruh jemaah calon haji  pada hari Wukuf dipadang Arafah itu bisa mencapai jutaan orang.   

 foto2: mastonie

Sejauh mata memandang kesekitar  padang Arafah yang begitu luas, termasuk dibukit “Jabbal Rahmah”  (bukit yang dipercaya sebagai tempat pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa), yang terlihat sangat dominan adalah warna putih menyilaukan mata. Itulah kumpulan jemaah calon haji, baik laki-laki maupun perempuan yang semuanya mengenakan kain ‘ihram’ berwarna putih. Kain ihram adalah dua potong kain berwarna putih yang menjadi pakaian wajib jemaah calon haji (baik laki-laki maupun perempuan) dalam melaksanakan ritual haji. Bagi jemaah pria, dua potong kain ihramnya disyaratkan kain yang tidak berjahit.
Maka sesungguhnyalah pada hari Wukuf ini terlihat sebuah pemandangan sangat menakjubkan yang mengingatkan umat manusia kepada “Padang Mahsyar”.
Padang Mahsyar adalah suatu padang atau lapangan yang sangat luas dimana kelak (sesudah datangnya hari kiamat) seluruh mahluk Allah SWT termasuk umat manusia dibangkitkan dan dikumpulkan untuk dihisab atau dihitung amal ibadahnya.
Allah SWT berfirman:
“Kemudian sesungguhnya kamu -manusia- sekalian akan dibangkitkan -dari kuburmu-  dihari Kiamat” (Surah Al Mu’minuun, QS. 23 : 16)
Dalam sebuah hadits juga dikisahkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Pada hari Kiamat kelak, setiap orang akan dibangkitkan -dari kuburnya-menurut keadaan (iman) nya ketika dia meninggal dunia” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah r.a).



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar