Kamis, 07 April 2011

"BULAN MADU KEDUA DI TIGA NEGARA ASEAN"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (78)

 Sudut Jalan di KL Malaysia


Released by mastonie, Wednesday, June 23, 2010 at 05.33 pm


      Mendapat ijin pulang mendahului.

Sewaktu ada tanda-tanda Pak Pardjo akan mengijinkan saya pulang ketanah air mendahului rombongan, saya segera telepon ke Jakarta. Yang pertama saya hubungi adalah kantor Depdagri. (Walaupun sudah dinas di Kantor Menko Kesra, tapi status kepegawaian saya masih tetap pegawai Depdagri). Saya mohon ijin Pak Roso, Kepala Biro Umum Depdagri untuk berkenan membuatkan Paspor Dinas untuk istri saya. Saya juga jelaskan kalau bisa jangan lebih dari 3 hari, karena saya sudah dalam perjalanan pulang dari New York, dan hanya singgah semalam di Amsterdam.
“Ya, siapa dulu yang memerintahkan, kalau dik Tony, semua pasti bisa” begitu Pak Roso menjawab permintaan saya setengah berkelakar setengah menyindir.
Selama bertugas melayani Pak Pardjo, saya sudah berkesempatan ‘nyaris’ pergi keliling dunia. Sendiri. Tidak pernah bisa pergi bersama istri. Oleh karena itu tiba-tiba saja saya punya pikiran, ‘mumpung’ diberi kesempatan oleh Pak Pardjo, bebas dari tugas (untuk sementara waktu), maka saya akan ajak istri saya pergi keluar negeri. Agar supaya tidak repot mengurus visa, saya pilih Negara Anggota Asean saja. Untuk berkunjung ke sesama Negara Asean kan tidak diperlukan visa.
Saya segera telepon kerumah juga, memberitahu agar istri saya siap-siap menjemput saya di Bandara Changi, Singapura. Tentu dia kaget luar biasa. Ini adalah kejutan besar bagi dia, karena hampir sepanjang usia pernikahan kami, dia tidak pernah pergi sendiri. Apalagi pergi sendiri keluar negeri.
Saya akan memberikan gambaran, betapa mudahnya ‘birokrasi’ di era Pak Harto dulu. Tidak sampai 2 hari, istri saya sudah berhasil mendapatkan Paspor Dinas dari Departemen Luar Negeri RI lengkap dengan “exit permit” (ijin untuk pergi keluar negeri) dari Sekretariat Negara!
Saya tidak tahu apakah pada jaman reformasi sekarang hal seperti itu bisa terjadi.

      Bulan madu kedua dinegeri tetangga….

Sementara itu saya sibuk mengontak teman-teman. Ada seorang teman sesama ajudan, yang kebetulan sekarang menjabat sebagai atase Imigrasi di Singapura. Dia adalah mantan Ajudan Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Saya juga menghubungi seorang teman Pengusaha yang punya sebuah apartemen di Singapura. Dua anaknya yang masih kecil bersekolah di kota singa itu, ditemani seorang kakaknya yang juga kenal baik dengan saya. Alhamdulillah, urusan untuk akomodasi di Singapura beres. 
Saya lalu mengontak Pak Andi Syamsu. Pejabat Deplu yang dulu pergi bersama saya ke Pyongyang, sekarang sudah menjadi DCM (Deputy Chief of Mission, orang kedua, wakil Dubes) di KBRI Kuala Lumpur Malaysia. Pak Andi Samsu merasa senang sekali.
“Ini sebuah reuni” katanya. Apalagi dia -dengan bangganya- mengatakan bahwa waktu pergi ke Pyongyang dulu (September 1988) dia masih “kroco”, sekarang (September 1990) dia sudah jadi Wakil Duta Besar.  Jadi “wajib hukumnya” harus membagi kebahagiaan dengan saya, teman lama yang “status”nya masih tetap sama seperti tahun 1988 dulu, belum berubah. 
(Kata  Pak Andi Samsu: “Kamu koq kasihan sekali tidak naik-naik pangkat”. Saya menjawab hanya dalam hati: "Iya, kasihan sekali ya, saya?").
Pak Andi Samsu memerintahkan staf Protokol KBRI untuk memesankan kamar hotel sekaligus juga sebagai pendamping saya dan istri selama berada di Malaysia.
Jadi urusan akomodasi untuk Malaysia juga beres.
Masih ada dua Negara lagi yang saya incar. Thailand dan Vietnam. Di Thailand ada seorang putra tetangga satu komplek yang dinas di KBRI Bangkok sebagai sandiman (staf bagian sandi). 
Di Vietnam Duta Besarnya adalah Pak Aswismarmo, mantan Sekjen Depdagri semasa Pak Pardjo jadi Mendagri. Pak Pardjo pula yang mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar Pak Aswis diangkat jadi Dubes di Vietnam, karena sudah memasuki usia pensiun. 
Tampaknya semua “running well” (berjalan lancar) sesuai rencana saya.
Hari Rabu, 26 September 1990 pesawat Jumbo Boeing 747 British Airways dari New York mendarat di Bandara Schiphol Amsterdam, yang dalam beberapa tahun terakhir ini jadi sering sekali saya datangi. Seorang petugas Protokol KBRI (yang telah ditelepon Pak Pardjo dari NY) datang menjemput saya.
Hari itu saya menginap di hotel Transit yang berada di area Bandara Schiphol, Amsterdam. Malam harinya saya kontak ke Jakarta dan ke Singapura. Istri saya ternyata sudah terbang ke Singapura siang hari tadi. Semoga dia tidak tersesat di Bandara Changi. 
Saya merasa sedikit tenang karena istri saya juga memakai paspor dinas. Disetiap Bandara Internasional biasanya ada lajur khusus untuk para pemilik paspor dinas dan diplomatik. Jadi pemeriksaan dokumen imigrasi bisa berjalan lebih cepat. 
Teman yang memiliki apartemen di Singapura sudah bertemu istri saya. Dia ternyata malah sudah menyiapkan sebuah kamar bagi kami untuk menginap di hotel. 
Aman sudah, malam ini di Amsterdam saya bisa tidur dengan nyenyak.
Pesawat Boeing 747 KLM jurusan Jakarta lewat Singapura sudah lepas landas dari Bandara Internasional Schiphol Amsterdam. Kali ini saya bisa menikmati terbang dengan tenang. Soalnya sudah terbayang istri yang menanti di Bandara Changi. Jadi semua makanan yang disajikan pramugari terasa begitu lezat. Apalagi bebas menambah minuman ringan, termasuk ‘red wine’. Padahal saya penumpang kelas “Y” (ekonomi). 
Hari Kamis tanggal 27 September 1990, sekitar pukul 16.00 waktu Singapura, pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Changi Singapura. Saya segera bergegas kebagian ‘luggage check’ (pengambilan bagasi). Soalnya saya membawa dua kopor besar yang ‘gendut-gendut’. Saya senang kalau terbang dari Amerika dengan maskapai penerbangan Amerika atau Eropa, karena aturan bagasinya (waktu tahun 1990-an) agak longgar. Yang penting satu penumpang diijinkan membawa dua buah kopor yang bisa masuk ke bagasi pesawat. Tidak peduli beratnya berapa. Jadi tidak akan ada ‘exceed luggage' (kelebihan berat).
Setelah pemeriksaan imigrasi selesai saya langsung menuju kepintu keluar dimana para penjemput telah menunggu. Dari jauh saya lihat sesosok wanita yang sangat saya kenal, sedang sibuk melambai-lambaikan tangan kearah saya. Saya terpesona. Benarkah itu istri saya? Saya betul-betul ‘pangling’ melihat wajahnya. Barangkali karena sudah cukup lama tidak bertemu, istri saya kelihatan cantik sekali pada sore hari itu. Ah, saya sungguh-sungguh jadi rindu pada dekapan dan desahannya! 
Malam harinya kita berdua hanya mendekam saja dihotel dengan memasang tanda “Do not disturb” digagang pintu kamar. Malam ini saya tidak ingin diganggu.
Saya habiskan malam dengan istri bagaikan menikmati bulan madu yang kedua.

     Terbang ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Setelah melakukan ‘pengisian baterai’ sehari semalam di Singapura, saya sudah merasa sehat segar bugar kembali. Maklum sekarang saya sudah didampingi istri.

fotos: airliners.net
Hari Sabtu pagi, 29 September 1990 saya berdua terbang ke Kuala Lumpur dengan pesawat Airbus SIA. Mendarat di Bandara International Sultan Abdul Azis Shah, Subang, Negara Bagian Selangor, saya sudah dijemput oleh staf lokal KBRI yang diutus oleh Pak Andi Syamsu, yang kini jadi DCM (Deputy Chief of Mission, Wakil Dubes) di Kuala Lumpur. 
Nama asli kota yang ditemukan pada tahun 1850-an ini adalah “Pengkalan Lumpur”, yang menjadi ibukota Negara Bagian Selangor sejak tahun 1978, karena mulai saat itu ibukota Malaysia dipindah kekota Shah Alam. 
Saya dan istri menginap disalah satu hotel didaerah Petaling Jaya.
Seperti layaknya di Negara tropis, suhu udara di KL (kependekan nama Kuala Lumpur) berkisar antara 23 – 30 derajat celcius. Hampir sama dengan suhu di Jakarta. Yang membedakan adalah, KL tampak hijau. Taman dan hutan kota ada dimana-mana. Sama sekali tak ada kesulitan bahasa kalau berkeliling kota KL. Hanya istilah-istilahnya tampak ‘lucu’ bagi orang Indonesia. 
"Bas Mini" berseliweran di KL
Saya menemukan banyak sekali ‘Pejabat’ yang berada dipinggir-pingir jalan. Ternyata ‘Pejabat’ itu artinya kantor. Saya juga sering kagok dengan beberapa istilah yang diucapkan seperti kata aslinya dalam bahasa asing (Inggris). Misalnya kata “BAS” untuk bis. Tapi saya toh tidak menemukan “Rumah Sakit Korban Lelaki” seperti yang sering dibuat olok-olok di Indonesia untuk menyebut Rumah Sakit Bersalin.
KL sudah menjadi kota metropolitan yang modern dan sangat bersih. Penduduk KL tampaknya sangat disiplin menjaga kebersihan kotanya, itu yang jelas sangat berbeda dengan (maaf) penduduk kota Jakarta (yang katanya) “Raya” itu. 
Di Jakarta orang-orang gedongan dan bermobilpun masih gemar membuang sampah dijalan lewat jendela mobilnya. Mungkin karena ‘law enforcement’ ditegakkan dengan sungguh-sungguh dinegeri jiran ini. Terkadang saya berpikir, bahwa Negara-negara bekas jajahan Inggris kelihatannya bisa berkembang dengan lebih baik, modern dan ‘maju’ apabila dibandingkan dengan Negara yang bekas dijajah Belanda. Contoh yang jelas adalah Malaysia dan Singapura (juga Hongkong) dibandingkan dengan Indonesia dan Suriname, misalnya.
Siang hari yang cukup terik itu saya bersama istri ‘pusing-pusing’ kota KL untuk melihat “Daratan Merdeka” (maksudnya Lapangan Merdeka), “Masjid Jamek” (Jami’) dan sempat mampir kesebuah supermarket bernama “Yaohan” yang sedang mengadakan obral menjelang akhir tahun. Ternyata banyak juga SPG (Sales Promotion Girls) yang berasal dari Indonesia, tapi berbicara dengan aksen Malaysia yang sangat kental. Hampir seluruh supermarket dan Department Store di KL sedang gencar berpromosi mengobral dagangannya menjelang akhir tahun.
Malam harinya saya minta diajak makan ke foodcourt (pujasera) yang sangat ramai di ‘Berjaya Plaza’, untuk mencoba masakan ‘steamboat’ yang panas-panas segar itu. Disekitar Petaling sendiri ada sebuah kampung Cina yang ramai dengan orang yang berjualan segala macam barang. 

 fotos: courtessy of  google
Seperti NY yang punya ‘Central Park’, KL juga mempunyai taman dipusat kota bernama KL City Centre Park, yang biasa disebut dengan "KE EL SI SI" (KLCC). 
Selama 3 hari 2 malam berada di KL, ternyata saya malah tidak sempat bertemu dengan Pak Andi Syamsu untuk reuni. Wakil Dubes ternyata sibuk sekali, karena katanya Pak Dubes sedang berada di Jakarta, jadi Pak Andi yang take over semuanya.




      Makan durian Bangkok di ‘kaki lima’ Bangkok.

Hari Senin pagi, 1 Oktober 1990 saya dan istri bertolak ke Bangkok dengan pesawat Boeing 737-200 MAS.
Menjelang siang pesawat  mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Don Mueang (Don Muang), Bangkok. Bandara Don Muang yang dibangun pada bulan Maret 1914 termasuk Bandara tertua di Asia. Ia bahkan lebih tua 20 tahun dibanding dengan Bandara Heathrow London. 

Ini yang kedua atau bahkan mungkin yang ketiga kalinya saya pergi ke Bangkok, ibukota Thailand yang mendapat julukan “Venesia dari Timur”. Itu karena banyaknya perahu yang berseliweran disungai Chao Praya yang melintasi kota. 
Orang-orang (pria-wanita) naik sampan sambil berjualan segala macam kebutuhan pokok dan buah-buahan, sampai disebut sebagai “floating market" (pasar terapung).
Orang Siam menyebut kotanya dengan nama “Krung Thep Mahanakhon”, Krung Thep artinya ‘Kota para Dewa’. 
Kota yang berada dipinggir sungai ini konon sudah dijadikan ibukota Kerajaan Ayutthaya (Ayodya?) sejak tahun 1768.
Istri saya yang baru pertama kali ke Bangkok bingung melihat ruwetnya lalu lintas di Bangkok, yang lebih parah dari Jakarta. Bangkok juga terasa lebih panas dibanding Jakarta dan KL. Suhu pada siang hari berkisar 25 – 35 derajat celcius.
Dik Jatmiko Danurejo yang menjemput kita adalah staf bagian Sandi di KBRI Bangkok. Ayahnya,  Pak Surojo, adalah teman yang tinggal satu komplek dengan saya. Dik Jatmiko sendiri (sebelum dinas keluar negeri) adalah pemuda yang aktif di kegiatan remaja komplek. Jadi kita berdua kenal sangat dekat dengannya.
Dik Jatmiko pula yang memilihkan hotel di Bangkok disesuaikan dengan kondisi kantong saya. Dan hotel yang kita tempati bernama “First Hotel”, yang terletak di Petchburi Road nomor 2, Bangkok. 
Tentu bukan hotel berbintang. Yang penting cukup nyaman dan aman untuk ditinggali sementara.

Bangkok  "Grand Palace"
Saya tentu ingin pula membawa istri ketempat dimana dulu saya pernah berkeliling bersama dr. Gunawan (tahun 1986), yaitu ke Wat Po yang ada patung Budha tidur itu. Lalu ke Wat Phra Kaew dengan patung Budha dari batu giok. Disini saya iseng-iseng membeli beberapa ekor burung Pipit lalu bersama istri melepaskannya keudara bebas. Bukan karena percaya akan dapat rejeki, tapi kasihan saja melihat burung-burung kecil itu menciap-ciap dalam sangkar yang sempit bersama ratusan temannya. 
Setelah itu saya juga pergi ke Grand Palace yang jadi kebanggan orang Thailand itu. Tapi karena saya sekarang pergi bersama istri, saya tidak pergi ketempat hiburan malam. Bisa berabe. Sebagai gantinya saya pergi kepasar yang menjual aneka barang terbuat dari kulit dengan bermacam merk terkenal tapi ‘Aspal’ (asli tapi palsu) yang berharga murah meriah.

Malam itu setelah menyantap nasi goreng ala Thai dan Sup Tom Yam, saya nongkrong di kaki lima pinggir jalan untuk menikmati durian monthong yang nyaris tanpa biji dan sangat legit rasanya itu. Istri saya sendiri keasyikan membeli cenderamata berbagai benda kecil dan lucu ‘made in Thailand’, seperti gantungan kunci berbentuk gajah Siam, dompet untuk lipstick dan lain-lain yang sudah tentu harganya terjangkau kantong saya.


Rencana perjalanan saya menuju Vietnam gagal total, karena ternyata pada waktu yang bersamaan Pak Aswismarmo (Dubes RI untuk Vietnam) juga sedang mengadakan perjalanan dinas di Bangkok. Bahkan hotel yang ditempati beliau berdekatan dengan hotel yang saya tempati.
Selama dua hari dua malam saya tinggal di Bangkok,  hari Rabu pagi, tanggal  3 Oktober 1990 saya beserta istri meninggalkan Bandara Don Muang kembali terbang ke Singapura dengan pesawat Boeing 737 Thai Airways.

      Ke Jakarta aku kan kembali…..

Hari Kamis seharian saya dan istri hanya ngendon dikamar hotel. Kita berdua butuh ngecas ‘baterai’ lagi untuk mengembalikan kepenatan selama ‘pusing-pusing’ di KL dan Bangkok. “Second Honeymoon” kita sebentar lagi berakhir. Oleh karena itu kita berdua ‘ngebut’ menghabiskan sisa bulan madu kedua itu dikamar hotel. Sepuas-puasnya. Paling lambat hari Minggu saya sudah harus segera kembali ke Jakarta. Karena saya mendengar kabar bahwa Pak Pardjo dan rombongan malah sudah tiba kembali di Jakarta pada tanggal 3 Oktober.

Hari Sabtu, 6 Oktober 1990 pagi saya dan isteri sudah berada di Bandara Internasional Changi, menunggu boarding ke pesawat Garuda yang akan membawa kita pulang kembali ke Jakarta. 
Pada waktu check in terjadi sedikit ketegangan. Barang bawaan saya yang terdiri dari dua koper dinyatakan ‘exceed luggage' (kelebihan berat). Padahal koper itu sudah saya bawa sejak dari New York dan Amsterdam dan tidak ada masalah. Kenapa sekarang ketika mau masuk dibagasi Garuda jadi masalah. Yang mereka klaim adalah kelebihan seberat 20 kilogram, yang harus saya bayar sesuai aturan. Saya terpaksa mengalah setelah lelah berdebat dengan petugas check in counter Garuda. Ternyata ada perbedaan aturan antara Garuda dan Maskapai Penerbangan Amerika dan Eropa.  Kalau bagasi yang kita bawa dari Amerika atau Eropa dibatasi jumlah kopernya, yaitu maksimal dua buah tanpa batasan berat, tetapi Maskapai Garuda mempunyai  aturan sendiri. Ternyata yang jadi patokan adalah berat keseluruhan barang bawaan tiap penumpang yang akan masuk ke bagasi. Diluar batas yang sudah ditentukan itu (sekitar 40 kilo per penumpang) harus membayar uang kelebihan berat yang dikalikan per satu kilogramnya.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Itu kata peribahasa.
Hari Sabtu sore saya berdua sudah tiba kembali dirumah dengan selamat.
Senin pagi, 8 Oktober 1990 saya sudah masuk kantor seperti biasa.



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar