Jumat, 01 April 2011

"TERBANG KE PNG (LAGI)....VIA SINGAPURA"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (43)


      Bandara Changi yang ‘ruaaar biasaaa’…
  
Foto Interior Bandara Changi, Singapura     
















                               foto : airliners.net


                                              
Setahun kemudian disekitar bulan September tahun 1985, ada pertemuan JBC lagi di Port Moresby. Dan Mendagri sebagai ketua JBC harus hadir disana. Kali ini Pak Pardjo membawa Delegasi cukup banyak, sehingga memutuskan untuk terbang nmemakai pesawat komersial biasa. Meski hubungan diplomatik RI dengan PNG telah berjalan cukup lama, tapi belum ada satupun rute penerbangan pesawat yang langsung (direct flight) dari Jakarta ke Port Moresby PP. Jadi harus melalui Singapura atau Manila.
Saya kurang tahu persis alasannya, waktu itu Pak Pardjo memilih rute terbang ke PNG (sendirian) melalui Manila. Sedangkan rombongan kecil Pejabat JBC Indonesia (termasuk saya) diminta terbang ke PNG lewat Singapura.
Hari Minggu pagi tanggal 22 September 1985 saya menuju Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Bandara Internasional yang terletak sekitar 20 kilometer diluar kota Jakarta (masuk wilayah Tangerang), ini baru saja  diresmikan pemakaiannya tanggal 13 Agustus 1985 oleh Presiden RI Soeharto. Meskipun baru satu gedung terminal yang sudah jadi yaitu Terminal I, yang dibagi menjadi tiga bagian A, B dan C, namun secara keseluruhan bangunan Terminal Bandara Internasional ini sudah cukup mengagumkan dan membuat bangga Bangsa Indonesia. Bagaimanapun Bandara Cengkareng adalah pintu gerbang masuk dan keluarnya orang dari dan ke Indonesia. 
Yang akan saya naiki pagi hari ini adalah pesawat DC-10 Garuda Indonesia. (Sekedar untuk diketahui, semua pemegang Paspor Dinas RI pada waktu itu apabila pergi keluar negeri diharuskan oleh Sekretariat Negara untuk  terbang dengan pesawat Garuda, kecuali untuk rute yang tidak diterbangi oleh Garuda).
 

foto: airliners.net
       
DC-10 adalah pesawat buatan     Mc’Donnell Douglas (Amerika Serikat) yang terbang perdana pada tahun 1972.  Pesawat terbang jenis ‘wide body’  (berbadan lebar) ini mempunyai 3 buah mesin, dua disayap dan satu di ekor pesawat.  Pada tahun 1980-an, DC-10 termasuk pesawat laris yang terkenal aman dan banyak dipakai oleh Maskapai Penerbangan diseluruh dunia.

Dengan beberapa staf JBC dari Ditjen PUOD Depdagri (kini Ditjen Otda) dan dari Direktorat Asia Pasifik Deplu, akhirnya tibalah kita di Bandara Changi Singapura. Dengan demikian Singapura adalah Negara tetangga kedua yang saya kunjungi. Bandara Cengkareng (yang menurut saya sudah hebat itu) ternyata bukan tandingannya. Fasilitas Bandara Changi yang diresmikan penggunaannya pada tanggal 1 Juli 1981 sungguh luar biasa modern. Dibangun dengan mereklamasi pantai didekat lokasi bekas lapangan udara militer Changi, Bandara baru ini menggantikan Bandara Paya Lebar yang sudah beroperasi sejak tahun 1955. Paya Lebar selanjutnya dipakai sebagai lapangan AU Singapura.  Sebagai Bandara Internasional, Changi dibangun dengan sarana dan prasarana yang sangat modern, terutama kemudahan yang bisa didapat oleh para penumpang pesawat yang tiba maupun yang hanya sekedar transit untuk berpindah pesawat menuju Negara lain. Disepanjang jalur kedatangan tampak ‘Shopping Area’ yang berisi ratusan toko ‘duty free’ dan barang-barang elektronik serta souvenir yang sangat mencolok mata. Betul-betul menggoda iman. Kalau tak ingat masih harus pergi ke PNG cukup lama, mungkin sudah habis uang saku buat beli oleh-oleh di Bandara Changi.

      Dijamu makan di Port Moresby dengan lauk…..kepala babi!

Setelah menunggu beberapa jam di Bandara Internasional Changi Singapore, malam harinya delegasi JBC-RI terbang dengan pesawat SIA (Singapore Airlines) menuju Port Moresby, ibukota Papua Nugini (PNG). Jarak Singapore – Port Moresby ditempuh dengan pesawat selama kurang lebih 7 jam non stop. Ditambah dengan perbedaan waktu sekitar 3 jam, maka pesawat diperkirakan mendarat pada sekitar pukul 8 pagi waktu setempat.
Ini untuk kesekian kalinya saya naik pesawat terbang yang memakan waktu begitu lama. Termasuk dengan pesawat G-III carteran  yang juga terbang ke Port Moresby. Sewaktu ikut Latgab ABRI tahun 1981 dulu, saya pernah naik Hercules VVIP AURI dari Biak ke Jakarta, tapi pakai mampir ‘stop over’ di Ambon dan Makasar. Beruntung penerbangan menuju Port Moresby dilakukan pada malam hari, jadi sepanjang perjalanan saya pergunakan waktu untuk tidur. Daripada bosan melihat pemandangan diluar pesawat lewat jendela. Yang terlihat hanya kegelapan malam dan kelap kelipnya lampu diujung sayap pesawat.
Hari Senin tanggal 23 September 1985 sekitar pukul 8 pagi, pesawat SIA mendarat di Bandara Jacksons Port Moresby.
Delegasi JBC-RI langsung menuju tempat menginap di hotel Hilton Port Moresby, yang terletak diantara perbukitan.  Kondisi hotelnya lumayan bagus. Termasuk pelayanannya. Pada siang hari itu juga diadakan rapat JBC di kantor PM PNG yang berlangsung sampai menjelang senja. Lalu pada malam harinya diselenggarakan jamuan santap malam disebuah rumah makan yang tidak jelas namanya. Semua Pejabat JBC dari kantor PM PNG hadir. Termasuk beberapa menterinya. Yang mengherankan adalah busana yang mereka pakai. Kebanyakan pria memakai semacam sarung yang dipakai agak pendek dibawah lutut. Dikombinasi bagian atasnya dengan pakaian semacam PSH (jas lengan pendek). Saya kurang jelas, apakah yang mereka kenakan itu memang  pakaian nasional mereka. Sedangkan rombongan Delegasi JBC Indonesia memakai kemeja batik lengan panjang. Ini adalah jamuan santap malam sekaligus penutupan rapat JBC.
Saya duduk satu meja dengan Pak Malikus Suamin, Pejabat JBC dari Deplu. Disebelah saya duduk Menteri Pendidikan PNG, seorang pria muda pribumi berkulit gelap dan berambut keriting. Didepan saya duduk seorang wanita muda (pribumi juga) yang berpakaian cukup modis, berpotongan bahu terbuka. Dia adalah petugas LO yang ditugaskan mendampingi Delegasi RI. Wajahnya lumayan manis, kalau dibanding dengan para pelayan restoran yang berbusana ala kadarnya. Dimeja makan disediakan gelas kosong dengan beberapa botol air mineral, tapi lebih banyak lagi botol….Bir! Orang PNG ternyata gemar sekali minum bir. Kalau perlu sampai mabuk. Tak kapanpun, tak dimanapun. Tak peduli di jamuan santap malam resmi sekalipun mereka dengan santainya minum bir dan….mabuk!
Setelah acara sambutan resmi dari kedua belah pihak, tibalah saatnya jamuan makan malam dimulai.   
Disinilah mulai “drama” satu babak. Judulnya: “The drunken Minister”. Seorang pejabat tinggi PNG yang sejak awal saya perhatikan sibuk minum bir, tampak berdiri. Lalu dia mulai “berpidato”. Padahal acara sambutan dari kedua fihak sudah berakhir. Tanpa rasa bersalah sedikitpun, dia terus berorasi dengan suara keras. Entah berbicara mengenai topik apa. Suasana agak sedikit tegang. Beberapa Menteri PNG saya lihat saling pandang. Saya merasa ada sesuatu yang aneh. Kalau melihat tingkah lakunya, bisa dipastikan dia sedang mabuk. Hampir semua anggota Delegasi JBC-RI terlihat terheran-heran. Termasuk Mendagri.
Tapi berhubung status kita adalah tamu, maka jelas tidak berwenang menangani kasus “drama mendadak” itu. PM PNG yang merah padam mukanya saya lihat menggamit salah seorang stafnya,  terlihat dia membisikkan sesuatu. Beberapa petugas sekuriti kulit putih tampak bergerak masuk restoran. Dengan sedikit acara ‘tarik menarik” keributan kecil itu berakhir. Drama satu babak itu ditutup dengan teriakan-teriakan pejabat mabuk yang sedang diseret keluar ruangan. Suasana tegang mulai mencair.
Maka keluarlah hidangan utama pada malam itu.  Beberapa ‘tampah’ (nyiru) dibawa oleh para pelayan restoran dan diletakkan dimeja para tamu. Saya dan pak Malikus bertatapan. Di PNG ternyata ada tampah juga! Menteri Pendidikan PNG mencoba menjelaskan hidangan utama yang disuguhkan pada malam hari itu. Menurut Pak Menteri, inilah menu paling spesial yang selalu disajikan dalam acara-acara penting. Terdiri dari beberapa macam ubi yang dibakar, dihidangkan dengan aneka sayuran yang direbus dengan bumbu khusus.  Dan yang paling spesial dan spektakuler adalah makanan yang disajikan ditengah-tengah tampah itu. Sebuah kepala….Babi! ‘Full’ utuh! Saya terperangah. Pak Malikus yang seorang diplomat, juga tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Saya langsung teringat cerita Pak Gatot, staf Protokol Depdagri yang pernah bertugas lama di Irian Barat (sekarang Papua). Masyarakat Irian konon juga selalu menghidangkan kepala babi pada jamuan makan untuk menghormati para tamunya. Semakin terhormat tamunya, makin banyak babi yang dipotong. Itulah adat mereka. Saya bergidik melihat ‘kepala B2’ yang matanya setengah terpejam menatap kepada saya. Saya tahu persis, ini makanan yang jelas diharamkan dalam agama saya, Islam. Lalu bagaimana dengan makanan (ubi dan sayur) yang disajikan disekitarnya? Sebuah dilemma. Antara menghormati adat tuan rumah dan menaati ajaran agama. Beruntung (orang Jawa memang selalu untung), ternyata masih ada hidangan lain yang disajikan. Saya kira mereka pasti tahu, mayoritas orang Indonesia beragama Islam dan pasti pantang makan babi. Dan mereka mengambil jalan aman dengan tetap memelihara adat sekaligus tetap memberikan pilihan kepada tamunya. Tapi nafsu makan saya terus terang saja sudah merosot ketitik paling rendah. Saya mendadak kenyang “sak nalika” (seketika). Saya lirik ke meja makan Pak Pardjo. Beliau tampak bercakap asyik dengan PM PNG, sambil makan sesuatu. Entah apa. Tapi saya pastikan beliau juga tak akan menyentuh hidangan spesial itu.
Dalam perjalanan kembali ke hotel Pak Pardjo bertanya:
“Ton, jij tadi dapat jatah kepala “B”…juga?”
“Inggih , pak” jawab saya pendek.
“Tony ikut makan juga?”
“Wah…inggih temtu kemawon….mboten (wah, tentu saja…… tidak) Pak” jawab saya setengah bercanda.
Didalam kamar hotel Pak Malikus tertawa terbahak-bahak mendengar cerita tentang percakapan saya didalam mobil dengan Pak Pardjo.
Pak Malikus Suamin adalah pejabat Deplu di Direktorat Asia Pasifik (Aspas) yang memulai karirnya dari ‘Sandiman’ (petugas Sandi).  Selama ini bila ada rapat JBC, Pak Malikus bertindak sebagai Sekretaris JBC Indonesia. Di tahun 1985-an belum ada komputer, apalagi laptop. Jadi kemana-mana Pak Malikus selalu menjinjing mesin tulis portable. Pria periang dan pintar main gitar ini  setiap ada acara JBC di PNG selalu bekerja dalam satu tim bersama saya. Bahkan selalu tidur dalam satu kamar, yang lalu kita jadikan semacam ‘Sekretariat Darurat’ JBC Indonesia. 



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar