Kamis, 07 April 2011

"MASUK MARKAS PBB DAN TAMASYA KE 'NIAGARA FALL'..."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (77)

 Mejeng dgn latar belakang Air terjun Niagara

Released by mastonie, Tuesday, June 22, 2010 at 03.31 pm
     
     New York, “The city that never sleep”…

Puas berkeliling di Miami dan Orlando,  Delegasi RI terbang ke New York City. Ada beberapa acara penting di kota yang menjadi ‘Head Quarter’ (markas besar) PBB ini. Ini kedua kalinya saya datang ke New York City. “The city that never sleep”, kota yang tidak pernah tidur. Itu adalah lirik lagu yang dinyanyikan Frank Sinatra dalam lagunya yang terkenal “New York, New York”. 


NY menjelang senja,    foto: google


New York City adalah kota terbesar yang super sibuk di Amerika Serikat. Harap dibedakan antara New York dan New York City, New York adalah salah satu Negara Bagian Amerika Serikat dengan ibukotanya yang bernama Albany. Sedangkan New York City adalah salah satu kota dinegara bagian New York. Berbeda dengan Washington DC, ibukota Amerika Serikat yang sekalipun juga ramai tapi terkesan warganya lebih santai dan “terpelajar”. Penduduk New York City sangat multi-ras, lebih dari 25 persen atau seperempatnya adalah warga kulit hitam. Sisanya campuran dari bermacam ras, termasuk warga Puerto Rico yang juga besar jumlahnya. Oleh karena itu wajar jika New York City menjadi kota yang lebih ‘complicated’ (penuh persoalan) dan menonjol tingkat kriminalitasnya. Mungkin terlalu panjang kalau harus mengucapkan New York City, orang biasanya lebih sering menyebut kota sibuk itu dengan “New York” atau bahkan hanya dengan inisial “NY” (dibaca en wai) saja. 

 Kali ini pesawat Boeing 737 Pan American World Airways (tersohor sebagai Pan Am saja) mendarat di Bandara domestik LaGuardia New York.
Siapa menyangka bahwa itu adalah untuk terakhir kalinya saya naik pesawat milik Maskapai Pan Am, karena ternyata beberapa bulan kemudian, pada tanggal 8 Januari 1991, maskapai penerbangan milik Amerika Serikat paling terkenal yang telah malang melintang terbang keseluruh dunia itu dinyatakan jatuh bangkrut alias pailit. 

Akhirnya pada tanggal 4 Desember 1991 secara resmi Pan Am menghentikan seluruh jalur penerbangannya. Sangat tragis.
Tak pernah ada yang menyangka, perusahaan penerbangan Amerika Serikat yang begitu besar dan sangat ternama di seantero dunia  akhirnya harus mengalami nasib buruk: gulung tikar!
Tapi saya masih beruntung mempunyai benda kenang-kenangan berupa sendok garpu berlogo Pan Am, yang saya minta baik-baik kepada Pramugari Pan Am yang cantik, sangat ramah-tamah dan pemurah.dalam penerbangan Miami-New York itu.



Cuaca kota New York dibulan September terasa nyaman bagi orang-orang yang berasal dari Negara tropis seperti Indonesia. 
Pertama kali tiba di New York, rombongan disediakan tempat bermalam di United Nations Hotel”. Hotel yang terletak dekat dengan Markas Besar PBB di daerah Manhattan Timur, New York.
Setelah berisitirahat semalam, Menko Kesra bersama rombongan diajak Bapak Nana Sutresna, Watapri meninjau gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sangat terkenal itu. (Watapri -Wakil Tetap RI- adalah kedudukan setingkat Duta Besar yang bertugas untuk PBB).

 saya 'mejeng' didepan markas besar PBB di New York

Kalau saya tidak salah ingat, setiap petunjuk yang ada di gedung PBB ditulis menggunakan beberapa bahasa. Yaitu bahasa dari Negara-negara yang mempunyai hak veto di PBB. Sayang bahasa Indonesia tidak termasuk salah satunya.
Markas Besar PBB di kota New York adalah sebuah bangunan yang luar biasa besar, megah dan cukup mewah. Barangsiapa yang akan memasuki wilayah Markas Besar PBB harus mempunyai tanda pengenal (ID card) khusus yang dikeluarkan oleh Sekretariat PBB. Tanpa ID card (yang harus dikalungkan dileher), jangan harap bisa masuk kedalam gedung. 
 
Saya berkesempatan pula melihat ruang sidang “General Assembly” (Majelis Umum PBB). Tempat dimana sidang-sidang PBB dilaksanakan.
Saya teringat peristiwa bersejarah ketika Bung Karno dengan berapi-api berpidato diatas mimbar dalam ruangan ini. Juga Ketika Bung Adam Malik sempat jadi Pimpinan Sidang Majelis Umum PBB. 
Oleh sebab itu tentu saya tidak lupa ‘mejeng’ didalam ruangan bersejarah ini.


 foto: dok.pribadi

Beberapa hari setelah acara dengan PBB selesai, rombongan Menko Kesra berpindah tempat bermalam. Kali ini menginap di “The Helmsley Middletowne Hotel”. Saya kurang tahu apa alasannya. Barangkali karena ‘United Nation Hotel’ sudah  fully booked  untuk acara PBB.
Waktu itu saya baru sempat melihat ke kalender. Saya agak terkejut, ternyata Delegasi RI telah berkeliling benua selama hampir satu bulan! Tanggal 28 Agustus 1990 Delegasi dibawah Pimpinan Menko Kesra bertolak ke Suriname lewat Amsterdam. Tanggal 31 Agustus baru tiba di Paramaribo. Sekarang sudah tanggal 24 September 1990, dan sepertinya perjalanan masih panjang.
Atas perintah Pak Pardjo dari Jakarta telah menyusul beberapa staf Menko Kesra untuk mengantisipasi sekaligus menggantikan tugas, apabila ada anggota Delegasi yang sudah ‘exhausted’ (kelelahan). Saya sendiri masih merasa ‘biasa’biasa’ saja. Kecuali rindu dengan anak-anak dan ibunya (juga). Sesuatu hal yang wajar saja.
Tapi suatu pagi Pak Pardjo memanggil saya:
“Ton, jij sudah pergi cukup lama meninggalkan keluarga. Saya sudah tidak punya acara yang penting lagi setelah ini. Kira-kira Tonny berani kalau harus pulang ke Jakarta sendiri?”
Sebetulnya ini tawaran sekaligus kesempatan yang cukup bagus buat saya. Saya teringat ‘tantangan’ Pak Pardjo waktu melepas saya di Sydney dulu.
“Mboten dados punapa (tidak masalah) Pak. Kalau Bapak berkehendak seperti itu, akan kami laksanakan” jawab saya.
“Nanti saya minta staf Protokol ‘Watapri’  New York untuk me “re-route” tiketmu. Jij mau pulang lewat mana? Kalau Tony berani, cobalah lewat Anchorage”. Saya berpikir sejenak. Ini tantangan lagi dari Pak Pardjo. Anchorage adalah salah satu kota di Negara Bagian Alaska yang terletak nyaris paling utara di benua Amerika.Utara. Melihat saya agak ragu, Pak Pardjo melanjutkan:
“Atau Tonny mau pulang lewat Amsterdam saja, jij kan sudah sering kesana. Nanti saya kontak Dubesnya untuk mengirim petugas menjemput Tonny dibandara”.
Ini yang membuat saya terharu. Pak Pardjo sangat concern dan care kepada stafnya. Apalagi kepada saya yang sudah mengabdi nyaris puluhan tahun.
“Bilih kepareng, dalem langkung Amsterdam kemawon (kalau diijinkan saya lewat Amsterdam saja). Kadosipun langkung gampil rutenipun (tampaknya rutenya lebih mudah) Pak.”
“Baik, kalau begitu serahkan tiket dan paspormu ke Staf Watapri nanti, biar segera diurus. Tapi besok saya mau lihat air terjun Niagara dulu, apa Tonny mau ikut?”
Wah, ini tawaran yang tidak boleh ditolak. Kapan lagi ada kesempatan emas begini.
Inggih Pak, bilih kaparengaken dalem ndherek dhateng Niagara rumiyin (Ya, bila diijinkan, saya ikut ke Niagara saja dulu)” jawab saya.

      Melihat “Niagara Fall”, air terjun paling terkenal di dunia.

Hari Selasa tanggal 25 September 1990 pagi, Bapak dan Ibu Soepardjo, Mas Koko (putra pertama Pak Pardjo)  dan saya, didampingi beberapa staf Watapri terbang dengan pesawat milik maskapai “US Air” menuju kota Buffalo. Buffalo (salah satu kota di Negara Bagian New York juga) adalah kota yang terdekat dengan lokasi air terjun Niagara.

Air terjun Niagara bukan air terjun terbesar didunia. Tapi dia adalah air terjun yang paling terkenal didunia. Terletak di dua Negara (Amerika Serikat dan Kanada), air terjun Niagara menjadi air tejun kedua terbesar debit airnya setelah air terjun Guaira diperbatasan Brasil-Argentina.
Dari Bandara Buffalo, Mas Koko (putra pertama Pak Pardjo) menyewa beberapa mobil van (minibus) untuk menuju lokasi air terjun Niagara. Dikota Buffalo inilah saya untuk pertama kali melihat bangunan semacam pabrik yang besar dengan tulisan “Factory Outlet”. Mas Koko yang memberitahu saya bahwa Factory Outlet itu adalah toko yang menjual barang-barang sisa pabrik, yang diijual dengan harga murah.
(Pada tahun 1990, Indonesia belum mengenal ‘Factory Outlet’ -FO-. Kini -tahun 2010-, FO sudah menjamur dihampir semua kota besar di Indonesia).

Mobil menyusuri jalan disisi sungai Niagara.  Sungai  yang berhulu di Danau Erie dan bermuara di danau Ontario inilah yang dijadikan nama air terjun paling terkenal itu. Sekitar 45 menit perjalanan dari Bandara, akhirnya sampailah kita di pintu masuk ‘Taman Wisata Niagara”.
Cuaca dibulan September selalu sangat sejuk. Disekitar air terjun angin bertiup sangat kencang. Matahari bersinar hangat. Memasuki halaman Taman Wisata, sudah terdengar sayup gemuruh suara air terjun Niagara. Sebelum berkeliling dan melihat langsung kelokasi air terjun, pengunjung bisa masuk kesebuah gedung (semacam museum), yang memperlihatkan semua proses terjadinya air terjun termasuk pembangunan taman wisata. Disitu juga terdapat toko yang menjual berbagai macam cindera mata (souvenir), utamanya yang ada kaitannya dengan air terjun Niagara.
Dengan mengendarai mobil terbuka yang disediakan oleh Taman Wisata, kita bisa berkeliling sampai mendekat kelokasi air terjun. 

Saya berdiri dipinggir batas areal yang diijinkan, dimana terdapat teropong untuk melihat kesekitar air terjun. Angin bertiup kencang memorak-porandakan rambut saya seraya mengirim butiran halus air yang menerpa wajah. Tidak sampai basah kuyup memang. Tapi terasa sejuk menyegarkan.
Subhanallah. Saya sudah pernah melihat “Grojogan Sewu”, air terjun yang ada di Tawangmangu (tempat wisata didaerah Surakarta, Jawa tengah). Tapi air terjun Niagara ini sungguh luar biasa besar dan dahsyatnya. Barangkali ribuan kali besarnya dari ‘Grojogan Sewu’. Begitu luas dan besarnya air terjun ini hingga ia mencakup dua wilayah Negara. “American Falls” di wilayah Amerika Serikat dan “Horseshoe Falls” di wilayah Kanada. Diantara dua air terjun itu dipisahkan oleh sebuah pulau yang bernama “Pulau Kambing” (Goat Island). Mungkin kalau (pada suatu ketika) debit air sungai Niagara mampu menenggelamkan Pulau Kambing, maka air terjun Niagara boleh jadi akan menjadi satu. Dari kedua sisi wilayah terlihat jelas perbatasan kedua Negara, yang ditandai dengan kibaran bendera Negara masing-masing. Begitu dekat sehingga tanpa teropongpun kita bisa melihat semua kegiatan di Negara ‘seberang’.
Diwilayah Amerika, air terjun “American Falls” di’tambak’ dengan semacam pintu air yang sangat besar. Sehingga diantara air terjun dan pintu air (kurang lebih sejauh 750 sampai 1000 meter) terdapat semacam ‘danau buatan’. 

Dipintu air tersebut berdiri beberapa menara dimana pengunjung bisa melihat langsung dari dekat jutaan liter air (debit air Niagara adalah 5.942 meter kubik air per detik!)  yang seakan-akan ditumpahkan langsung dari atas kebawah. Menimbulkan suara bergemuruh sangat keras. Angin yang bertiup kencang menerbangkan kabut air  kemuka para pengunjung. Jika anda termasuk pemberani, maka anda bisa mencoba menguji nyali  didanau buatan dimana para pengunjung bisa naik perahu bermotor dan berlayar mendekat sampai nyaris berada ditempat ‘terjun’nya air dari sungai Niagara.
Pak Pardjo sekeluarga (apalagi saya) tampak sangat menikmati perjalanan kali ini. Hari ini saya telah menjadi saksi mata, melihat salah satu karya agung yang menjadi sebuah tanda kebesaran Allah SWT. Alhamdulillah.

 Sore itu juga kita kembali ke New York dengan dengan pesawat terakhir dari Buffalo. Pesawat ‘US Air’ ini mendarat di Bandara Domestik LaGuardia New York. Padahal kopor-kopor saya telah menunggu di Bandara John F. Kennedy International Airport.  
 Dari Bandara LaGuardia ke Bandara JFK makan waktu kurang lebih satu jam.

Oleh sebab itu saya harus bergegas untuk mengejar pesawat “British Airways” yang akan membawa saya pulang (sendiri) malam hari ini juga ke Jakarta lewat Amsterdam, Negeri Belanda. 
“British Airways” sebetulnya juga mengoperasikan pesawat penumpang supersonic “Concorde”, untuk penerbangan dengan tujuan kota-kota di Eropa, tapi ternyata harga tiketnya dua kali lipat dari harga tiket biasa. Jadi keinginan saya untuk naik “Concorde” terpaksa harus saya pendam saja.


bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar