Selasa, 05 April 2011

'INDONESIA BERDUKA"


(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (66)

Sri Sultan Hamengku Buwono IX


Released by mastonie, Monday, July 12, 2010 at 02.55 am


      Mengantar jenazah Sri Sulan Hamengku Buwono IX.

 Rakyat Yogyakarta berduka                         foto2: mastonie


Baru beberapa hari Pak Pardjo berada di tanah air sepulang dari lawatan ke Korea Utara mewakili Presiden RI, Indonesia diguncang berita duka. 
Salah seorang Putra terbaik Bangsa,  Mantan Wakil Presiden RI Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang adalah seorang Sultan (Raja) Yogyakarta sekaligus merangkap sebagai   Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta  dikabarkan wafat di Washington, DC, Amerika Serikat pada hari Minggu, 2 Oktober 1988 malam waktu setempat. 
Itu berarti hari Senin, 3 Oktober 1988 siang waktu Indonesia bagian barat. 

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 12 April 1912, Gusti Raden Mas Dorojatun, dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 saat masih berusia sangat muda. 
Beliau menggantikan ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang wafat karena sakit.
Sesudah dilantik sebagai Sultan Yogya, beliau mendapatkan gelar: "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga".  
Atau lebih dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Masyarakat Yogyakarta secara tradisi lebih senang menyebutnya sebagai “Ngarsa Dalem”.
Pria Jawa berpenampilan sederhana dan tenang ini dikenal sebagai sosok yang sangat merakyat, Nasionalis tulen. Tidak banyak berbicara tapi sangat keras dan teguh berpendirian. Sebagai seorang ningrat keturunan Raja Jawa yang paling berpengaruh dan disegani bahkan oleh penjajah Belanda, ‘Ngarsa Dalem’ yang pertama kali menyatakan sikap bahwa Kraton Yogya adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Yang notabene baru saja memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Sikap itu disampaikan dalam sebuah ”Amanat Seripaduka Ingkang Sinuwun Kangdjeng Sultan Jogjakarta” yang mencakup 3 (tiga) hal.  
Yang pertama dari 3 hal itu dengan jelas menyebutkan:
“Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat jang bersifat Keradjaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia”. 
Bahkan konon Sri Sultan HB IX pula yang merencanakan ‘Serangan Oemoem’ (SO) di Yogyakarta bersama Kolonel Soeharto. Walaupun akhirnya malah Pak Harto yang meng’klaim’ bahwa SO itu adalah idenya. Sri Sultan juga yang mengijinkan kota Yogyakarta dipakai sebagai Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang para pemimpinnya sedang menjadi buronan penjajah Belanda.
Banyak jabatan dan kedudukan tinggi dalam pemerintahan Republik Indonesia yang pernah disandangnya.
Puncaknya adalah ketika Sri Sultan menjadi Wakil Presiden RI yang ke 2 pada tahun 1973 – 1978. Hanya karena memegang teguh prinsip dan pendiriannya sajalah beliau menolak  dipilih kembali sebagai Wakil Presiden untuk yang kedua kalinya.

Pak Pardjo akrab sekali dengan ‘Ngarsa Dalem’. Mungkin keakraban itu sudah terjalin  sejak jaman perang kemerdekaan dahulu. Semasa Sri Sultan HB IX lengser dari jabatan Wakil Presiden, Pak Pardjo (sebagai Gubernur Jawa Tengah) sering sekali menemui beliau secara pribadi dikediamannya di jalan Prapatan, Jakarta atau mengadakan pertemuan ditempat lain yang disepakati.
Entah kebetulan atau memang Pak Harto melihat keakraban itu, Menko Kesra Soepardjo Roestam secara resmi ditugaskan untuk mewakili Presiden RI menjadi Inspektur Upacara pada saat Pemakaman Raja Yogyakarta ini di Imogiri.
Imogiri adalah komplek pemakaman Raja-raja Jawa dan sanak kerabatnya, sejak dari Panembahan Senopati alias Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja Mataram (Islam) pertama. Ada sebuah kepercayaan turun temurun dikalangan Kraton Jawa, bahwa seorang Raja yang masih hidup dan masih berkuasa, tabu atau dilarang keras untuk masuk kewilayah pemakaman Imogiri.
Apakah Pak Harto menganggap dirinya sebagai seorang “Raja” sehingga percaya dengan mitos itu, lalu untuk memberikan penghormatan kepada almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sudah merasa cukup dengan mewakilkan kehadirannya sebagai Irup kepada salah seorang Menterinya atau apakah ada ‘masalah’ lain? Wallahu ‘alam.

      Jenazah yang ‘menolak’ terbang dengan pesawat VVIP.

Maka demikianlah, Menko Kesra mendapat tugas mewakili Presiden menjadi Inspektur Upacara (IRUP) pada Prosesi pemakaman Jenazah Sri Sultan HB IX. Saya tentu saja langsung terlibat menjadi Ajudan Inspektur Upacara.
Ada sebuah peristiwa yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri dan secara logika hampir tidak masuk akal, tapi betul-betul terjadi. Kejadian itu seolah membuktikan bahwa ‘Ngarsa Dalem’ adalah seorang Sultan atau Raja Jawa yang sederhana dan sangat dekat dengan rakyatnya.  

(Terbukti buku biografi beliaupun diberi judul “Tahta untuk Rakyat”. Saya memiliki buku ini yang merupakan pemberian langsung dari “Ngarsa Dalem”. Disampul dalam buku itu tertulis -dengan tulisan tangan- :”untuk Sdr. Tonny K” dibubuhi tanda tangan -paraf- khas beliau yang sangat pendek berupa huruf H -besar- dan o -kecil- serta tanggal 12/4-82. Buku itu dikirim kepada saya pada tanggal 11 Mei 1982, dengan sebuah surat pengantar dari Kolonel R. Soenjoto, Sekretaris Pribadi Sultan HB IX di Jl.Prapatan 42 Jakarta).

Pada saat “Ngarsa Dalem” wafat, Pemerintah  menetapkan bahwa seluruh prosesi pemakaman jenazah Sri Sultan ditanggung oleh Negara dan dilaksanakan dengan Upacara Militer penuh.
Dari Jakarta jenazah almarhum direncanakan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusumah menuju Bandara Adisucipto Yogyakarta dengan menggunakan sebuah pesawat Hercules C-130 bernomor badan 1341. Ini adalah pesawat Hercules yang khusus dipergunakan untuk menerbangkan para Pejabat Tinggi Militer maupun Sipil. Selain itu masih disiapkan pula beberapa buah Hercules dan pesawat terbang lain untuk keluarga dan para pelayat yang akan ikut sampai ke Yogyakarta.
Begitu iring-iringan jenazah tiba di Bandara Halim, mobil jenazah langsung merapat kebagian belakang pesawat Hercules nomor 1341, dan peti jenazah dengan takzim dimasukkan kedalam pesawat. 
Keluarga terdekat (istri dan putra/putri almarhum) serta para Pejabat Tinggi VIP, termasuk Pak Pardjo dan beberapa Menteri,  ikut dalam pesawat VVIP tersebut.

Pilot Hercules VVIP itu mulai menyalakan mesin-mesin pesawat yang berjumlah 4 buah. Mesin nomor 1 dinyalakan, gagal. Dicoba lagi, gagal lagi. Mesin kedua dicoba dinyalakan, ternyata juga ‘mejen’ (tidak bisa distart). Keempat mesin mendadak semuanya ‘mejen’, tidak bisa dihidupkan! Semua prosedur sudah dijalankan, bahkan di’pancing’ dengan sebuah alat APU (Auxilliary Power Unit) diluar pesawat, tapi mesin tetap tidak mau menyala. Padahal sedari pagi pesawat itu sudah dicek kesiapan terbangnya sejak keluar dari hangar AURI dan tidak ada masalah. Suasana menjadi agak tegang. Pangab Try Soetrisno langsung memberikan komando untuk memindahkan peti jenazah Sri Sultan kepesawat Hercules cadangan yang sedianya disiapkan untuk para pelayat.
Setengah bercanda Pak Try berkata:
Ngarsa Dalem memang betul-betul sangat merakyat, walaupun sudah seda (wafat) tapi jasad beliau masih tidak berkenan nitih (naik) pesawat terbang VIP”.
Dengan segera peti jenazah almarhum Sri Sultan dipindahkan ke pesawat Hercules yang lain. Dan pesawat yang satu ini betul-betul pesawat pengangkut prajurit, karena tempat duduknya menempel disepanjang dinding dan saling berhadapan, menyisakan ruangan cukup lebar ditengah-tengahnya. Disitulah akhirnya peti jenazah Sri Sultan diletakkan. Para keluarga dekat dan pejabat VIP ikut juga duduk berdampingan dikursi yang bentuknya sangat sederhana itu.
Kali ini tanpa kesulitan mesin dapat dihidupkan dan terbanglah pesawat Hercules (bukan VIP) yang sebetulnya hanya disiapkan untuk pesawat cadangan itu, menuju Bandara Adisucipto, Yogyakarta.
Duduk tepat disebelah peti jenazah almarhum Sri Sultan (bersebelahan dengan ibu Norma salah seorang istri Sri Sultan, yang konon mendampingi saat-saat terakhir almarhum di Washington, DC), saya tercenung.
Entah kebetulan atau entah apa, kejadian atau insiden mesin pesawat ‘mejen’ yang baru saja terjadi memang seolah menunjukkan aura dan ‘tuah’ seorang ningrat keturunan Panembahan Senapati, Raja Mataram (Islam) pertama yang terkenal mempunyai segudang ‘karomah’ dan konon sakti mandraguna.
Wallahu a'lam.

Mendarat di Bandara Adisucipto Yogyakarta, peti jenazah Sri Sultan HB IX langsung dibawa ke Kraton Yogyakarta. Menko Kesra Soepardjo Roestam selaku Irup berada di kendaraan terdepan dalam iring-iringan mobil jenazah tersebut, karena harus menyerahkan jenazah kepada pihak keluarga Kraton.
Seingat saya, setelah Upacara Penyerahan Jenazah oleh Irup Menko Kesra Soepardjo Roestam kepada wakil keluarga Kraton Yogyakarta, hari itu jenazah Sri Sultan disemayamkan semalam di Kraton Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan untuk menerima acara “pisowanan” (penghormatan) dari para kerabat, sentana dan abdi dalem. Termasuk para pejabat ‘nayaka praja’ (pejabat pemerintah) dilingkungan Kraton dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pemakaman di Imogiri baru akan dilaksanakan keesokan harinya.

Naik ke Makam Imogiri harus memakai beskap dan blangkon.

Para Menteri memakai beskap dan blangkon
Malam itu semua Pejabat Tinggi setingkat Menteri yang ikut melayat ke Yogyakarta menginap di Gedung Agung Yogyakarta. Sebagai Ajudan Inspektur Upacara, saya mendapat sebuah kamar disayap kiri depan dekat pos penjagaan. 
Disinilah semua pelayat laki-laki mendapat pembagian jarik (kain), surjan atau beskap (jas Jawa) berwarna hitam atau lurik (bergaris) dan udheng atau destar atau blangkon (tutup kepala) semua gaya Mataraman (Yogya). Kepada para wanita dibagikan kain dan kemben (penutup tubuh sebatas dada), tanpa kebaya.
Semua orang tanpa kecuali, baik laki-laki ataupun wanita memang harus memakai pakaian adat  Jawa  apabila memasuki pekarangan Makam Imogiri. 


 Tangga naik ke Imogiri      foto: google/istimewa

Imogiri adalah nama kecamatan didaerah Kabupaten Bantul, sekitar 20 kilometer diluar kota Yogyakarta. Didaerah berbukit inilah Panembahan Senopati yang kemudian bergelar Sultan Agung (Raja Mataram -Islam- pertama) membuat sebuah pemakaman untuk anak keturunan Raja Mataram (baik Surakarta maupun Yogyakarta).
Sultan Agung sendiri (yang memerintah pada tahun 1613-1645) adalah Raja Mataram pertama yang jasadnya disemayamkan dikomplek pemakaman buatannya. Menurut hikayat daerah bernama perbukitan Merak itu dipilih dengan cara membuang pasir yang dibawa Sultan Agung dari tanah suci Mekah.
Berada disebuah bukit yang cukup tinggi, makam yang dibangun sekitar tahun 1632 ini mempunyai sebuah jalan masuk berupa ‘undhak-undhakan’ atau trap (anak tangga) yang sangat banyak sehingga disebut ‘trap sewu’ (anak tangga seribu), padahal jumlahnya konon hanya 345 buah saja. Ada kepercayaan yang menyebutkan, barangsiapa bisa menghitung jumlah anak tangga dengan benar, maka semua permohonannya akan terkabul.  Jarang orang yang bisa naik keatas tanpa beristirahat sejenak, saking tinggi dan banyaknya anak tangga.
Kurang lebih sepuluh trap sebelum sampai kepintu Gerbang, ada sebuah anak tangga yang sebetulnya adalah sebuah batu nisan. Alkisah, dibawah nisan itulah terletak makam Tumenggung Endroyono, yang dipancung oleh Sultan Agung oleh sebab dianggap berkhianat karena menjadi ‘mata-mata’ Belanda. Makam pengkhianat itu memang sengaja dibuat sebagai anak tangga, untuk peringatan dan agar bisa diinjak-injak oleh semua orang yang akan berziarah ke Imogiri. 
Seluruh bangunan yang berada di komplek makam Imogiri mempunyai ciri khas arsitektur Hindu Jawa rancangan Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo.
Sebagai pintu masuk utama Imogiri adalah sebuah Gerbang yang dibuat mirip Candi Bentar yang juga bergaya Hindu.
Itulah satu-satunya jalan masuk bagi semua pengunjung atau peziarah Imogiri. Kecuali untuk anggota keluarga kerajaan dan tamu VIP, disediakan jalan khusus yang bisa langsung menuju keatas.
Makam Sultan Agung terletak persis ditengah-tengah, seolah menjadi pusat dari komplek pemakaman keluarga Raja Jawa itu.
Raja-raja Yogyakarta dimakamkan dibeberapa tempat disebelah kanan makam Sultan Agung dan dibuat berkelompok yang masing-masing diberi nama tersendiri. Makam HB I, II dan III dinamakan “Kasuwargan”. Makam HB IV, V dan VI diberi nama “Besiaran”.
(Calon) Makam Sri Sultan HB IX berada dalam satu kelompok dengan makam kakek dan ayah kandungnya (HB VII dan HB VIII) yang diberi nama “Sapto Renggo”.
Adapun makam Raja-raja Surakarta berada berkelompok disebelah kiri makam Sultan Agung.

     Prosesi pemakaman Raja yang sangat dicintai rakyatnya.

Pada hari pemakaman Sri Sultan Hamengku Buwono IX, kota Yogyakarta seperti tersaput mendung kelabu. Wajah murung larut dalam duka nampak hampir disepanjang jalan menuju Imogiri yang dilalui prosesi iring-iringan mobil jenazah yang membawa jasad “Ngarsa Dalem”.  
Bendera setengah tiang ‘nglumpruk’ (tak berkibar) seolah angin tak kuasa lagi berhembus menggerakkannya. Lautan manusia berkumpul ditengah alun-alun didepan Kraton. Dua buah pohon beringin besar yang berada ditengah alun-alun, hari itu daunnya layu menguncup seakan ikut menunduk, berduka dan tak berdaya.
Begitu banyaknya pelayat yang ‘menyerbu’ Kraton Yogyakarta Hadiningrat pada pagi hari itu. Semuanya berdesakan berebut ingin melihat untuk terakhir kali jasad Rajanya. Walaupun tertutup dalam sebuah peti berhias untaian melati.
Susah sekali berjalan untuk menuju kendaraan yang disediakan bagi rombongan tamu dari Jakarta. Hampir saja saya tak bisa menemukannya. Beruntung konvoi kendaraan berjalan seperti siput, karena harus menyibak kerumunan orang.

Saya berada dalam satu kendaraan bus dengan Pak Moerdiono yang asyik dengan tustel barunya, memotret momen-momen yang dianggapnya menarik. Juga dengan Pak Banjaransari, Sekmil Pak Harto yang senang sekali membuat sketsa ekspresi orang yang dilihatnya.
Hari itu saya menjadi seorang saksi mata yang merasa takjub dengan ribuan masyarakat Yogya dan daerah sekitarnya yang rela  berdiri dipanas terik matahari menunggu disepanjang jalan. Dengan nuansa duka mendalam, mereka mengelu-elukan lewatnya jasad seorang Raja Jawa yang semasa hidupnya mengabdikan tahtanya untuk rakyat yang sangat mencintai dan dicintainya.

Terengah-engah menaiki ‘seribu’ anak tangga yang kemiringannya mencapai 45 derajat menuju ke Gerbang Imogiri, saya bersyukur bisa mendapatkan tempat sangat strategis tepat ditepi lubang kubur dibangunan Sapto Renggo. 
Disinilah jenazah almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX akan disemayamkan ditempat peristirahatannya yang terakhir untuk selama-lamanya.
Disekitar saya tampak wajah-wajah abdi dalem Kraton yang sembab karena menangis berkepanjangan.
Ketika tanah merah mulai dimasukkan kedalam liang lahat setelah jenazah “Ngarsa Dalem” dibaringkan didalam lubang kubur, tuntas sudah air mata kesedihan rakyat Yogyakarta. Mereka telah kehilangan salah seorang Raja yang semasa hidupnya mengabdikan jiwa raga dan tahtanya untuk rakyat.
Tapi tak hanya Yogyakarta, Indonesiapun ikut berduka.



bersambung.....


3 komentar:

  1. Dari 'laporan pandangan mata' dari mas Koes tsb dapat kita ambil 'pelajaran' :
    - tentang kesederhanaan,dari seorang Raja yg
    sederhana dan sangat dicintai rakyatnya, bah
    kan 'kepergian' beliaupun ditangisi rakyat
    yg merasa 'kehilangan' sosok panutan.
    Meski dengan skala yg lebih kecil, bisakah kita seperti itu ?

    BalasHapus
  2. Subhanallah....laporan pandangan mata yang sungguh menggugah rasa cinta kita kepada alm mendiang Raja Jogja Ngarso Dalem HB IX.

    BalasHapus
  3. sifat-sifat baik yang perlu untuk diteladani...

    BalasHapus