Rabu, 06 April 2011

"MAMPIR DI VENEZUELA DAN PANAMA"


   (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie) 
Tulisan bersambung (74)

Released by mastonie, Sunday, June 27, 2010 at 06.06 pm 


      Singgah di Caracas, Venezuela.
Masuk restoran harus pakai jas dan dasi.

 Duta Besar RI untuk Venezuela (sekitar tahun 1990) adalah Bapak Yudho Sumbono (mantan Dirut Pertamina). Saya tidak tahu persis bagaimana hubungannya, tapi Pak Pardjo dan Pak Yudho tampak akrab sekali. Kalau tidak ada orang lain beliau berdua bicara dengan bahasa Jawa ‘ngapak-ngapak’ (gaya Banyumasan). Pak Yudho memangil dengan sebutan “Mas Pardjo”, sedangkan Pak Pardjo kadang-kadang malah hanya ‘njangkar’ (memanggil langsung nama). Oleh karena itu saya jadi maklum mengapa Pak Pardjo dalam perjalanan pulang ke Indonesia (dari Brasil) memilih rute lewat Venezuela.
Hari Senin, 10 September 1990, pesawat Varig mendarat di Bandara Internasional “Simon Bolivar” yang lebih terkenal dengan nama Bandara Maiquetia Caracas. 

Caracas yang menjadi ibukota Venezuela sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 5 Juli 1811, adalah sebuah kota industri yang hasil utamanya minyak bumi. Barangkali itu sebabnya Pak Yudho yang mantan Dirut Pertamina ditempatkan sebagai Dubes RI untuk Venezuela di Caracas. 
Terletak diketinggian lebih dari 900 meter dari permukaan laut, Caracas merupakan kota yang ditata dengan baik dan  teratur rapi.


Banyak ‘Plaza’ berupa lapangan terbuka yang dipergunakan untuk kepentingan umum, dengan ribuan burung merpati yang jinak. Juga terdapat banyak Museum. Salah satu diantaranya adalah Museum yang diyakini sebagai tempat lahirnya “La Libertador” (Pahlawan Kemerdekaan) “Simon Bolivar”, (lahir 24 Juli 1783) yang lucunya diakui sebagai pahlawan oleh hampir semua Negara di Amerika Latin. Dikota Caracas terdapat pula salah satu Universitas tertua, yaitu”Central University of Venezuela” yang didirikan pada tahun 1721. 
Dengan penduduk tidak lebih dari satu juta jiwa (1990), warga kotanya rata-rata tampak berpenampilan rapi, terutama para pegawai dan pekerja kantor. Wanita Venezuela juga terkenal cantik-cantik dan bertubuh seksi. Tidak heran kalau gadis-gadis Venezuela sering terpilih sebagai pemenang dalam lomba kecantikan tingkat dunia seperti  “Miss World” atau “Miss Universe”.

 Karena hanya berkunjung tidak lama (sekitar 2 hari saja), maka Pak Pardjo memutuskan untuk menginap di hotel “Sheraton” Caracas.
Siang hari setelah meninjau Rumah Dinas Dubes RI, Pak Yudho mengajak para tamunya (khusus untuk para lelaki, karena ibu-ibu ada acara shopping sendiri) untuk bersantap siang disebuah restoran didaerah “Pujasera” yang bernama La Candelaria. Cuaca siang hari itu di kota Caracas cukup panas. Sebab itu banyak anggota rombongan (termasuk saya) yang melepas jas dan dasinya.  Kecuali Pak Pardjo, karena beliau terus berdampingan dalam satu mobil dengan Pak Dubes Yudho Sumbono yang (mungkin karena kedudukannya) harus memakai “full dress” along the day.
Pak Pardjo bersama Pak Yudho diiringi beberapa staf senior KBRI mendahului masuk kedalam restoran. Semua kelihatan baik-baik saja. Akan tetapi ketika saya bersama beberapa orang anggota rombongan yang juga didampingi petugas Protokol KBRI berniat melangkah masuk kedalam restoran, langsung dihadang oleh seorang petugas resepsionis restoran yang berpakaian sangat rapi. Langsung saja dia ‘nyerocos’ bicara memakai bahasa Spanyol, sambil tangannya memberi isyarat bahwa kita dilarang masuk. Saya jelas buta bahasa Spanyol, oleh karena itu saya bengong saja. Salah seorang petugas Protokol KBRI maju dan berusaha bicara dengan si resepsionis. Tapi sepertinya usahanya juga kandas. Tetap saja kita dilarang masuk.
“Ada apa Pak? Apa restoran sudah penuh?” Tanya saya kepada Protokol.
“Bukan Pak, maaf, kita dilarang masuk karena tidak memakai pakaian lengkap”
“Pakaian lengkap? Maksudnya?” saya masih belum faham.
“Maaf, maksudnya restoran ini hanya menerima tamu yang memakai pakaian lengkap (maksudnya memakai jas dengan dasi). Itu memang peraturan yang dibuat oleh pengelola restoran, katanya justru untuk menghormati para tamunya”
Masya Allah! Baru kali ini saya mengalami ditolak masuk kedalam restoran karena dianggap ‘under dressed’ (kurang layak berpakaian).  
Ternyata di restoran ini tidak berlaku aturan ‘Customer is King”, yang berlaku adalah “Rule is King”.
Sadar bahwa tidak ada gunanya kita ‘ngotot’, maka terpaksa kita kembali ke mobil untuk mengambil jas dan dasi.
Akhirnya kita berhasil masuk juga kedalam restoran sebagai “The Gentlements”.
Harus saya akui, bahwa restoran yang sangat kaku aturannya ini memiliki “chef de cuisine” (juru masak) yang hebat. Seluruh menu yang disajikan sangat lezat cita rasanya. 
Tidak hanyak “maknyus”, tapi “maaaak nyoooooooooossssssssss”!!!!!!
Tapi kalau penolakan tadi terjadi di Jakarta, mungkin saya memilih….kabuuurrr.
Sudah bayar mahal, masih diatur-atur lagi. He he he … Dasar ‘kampungan’.

Sewaktu hendak meninggalkan kota ladang minyak ini, saya mendapat pengalaman baru lagi sewaktu check in di Bandara Internasional “Simon Bolivar” Caracas. Semua kopor milik penumpang sebelum ditimbang dan masuk kedalam bagasi pesawat, harus dibungkus dulu dengan plastik tebal. Tak ada perkecualian. Selain sebagai ‘security check’, terus terang pembungkus plastik itu menimbulkan rasa aman bagi para penumpang pesawat yang kopornya masuk kedalam bagasi, karena kalau ada orang iseng ‘menggerayangi’ kopor pasti akan langsung dapat diketahui. 


     Terbang kembali ke Benua Amerika.

      Stop over di Panama City, kota cerutu.

Tak pernah terlintas sedetikpun dalam angan saya, bahwa pesawat B-737 milik Maskapai American Airlines, dalam rute penerbangannya akan singgah untuk melakukan  ‘stop over’ di Panama City, ibukota Republik Panama. 
Sewaktu pesawat B-737 AA sedang melakukan approach dari arah laut guna mendarat di Bandara Internasional Tocumen, yang berada sekitar 25 kilometer dari pusat kota Panama, saya bisa melihat dari udara Terusan Panama yang ‘kondang’  (sangat terkenal) itu. 

Terusan yang menghubungkan Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik itu ‘menembus’ daratan sepanjang hampir 77 kilometer, sehingga tampak sangat jelas diudara bagaikan sungai yang berkelok.
Bandara Tocumen yang diresmikan penggunaannya pada tanggal 1 Juni 1947 adalah Bandara tersibuk di Benua Amerika Latin, karena selain mempunyai dua runway (landas pacu), juga merupakan Bandara Transit antar dua Benua (Amerika dan Amerika Latin).

Cukup lama pesawat stop over di Bandara Tocumen, jadi saya bisa melihat-lihat shopping area Bandara yang penuh dengan toko duty free (bebas bea). Sayang saya bukan perokok, jadi terpaksa gigit jari karena banyak sekali toko disini yang menjual cerutu Panama yang terkenal itu. 
Saya mencoba mencari maket mini Terusan Panama, tapi sampai saat terdengar panggilan untuk masuk pesawat lagi, saya tak berhasil menemukannya. Sayang sekali.



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar