Selasa, 12 April 2011

"KINI TIBA SAAT SAYA HARUS 'BERJALAN SENDIRI'....."


(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (98)

Pak Pardjo di ICU RS MMC

Released by mastonie, Monday, June 14, 2010 at 10.30 am


      Saatnya saya harus berjalan ‘sendiri’….

Ini adalah episode yang paling tidak saya sukai untuk menulisnya. Setelah nyaris selalu bersama-sama kemana saja, akhirnya saya harus kehilangan seorang atasan, ‘Bapak’, pengayom sekaligus teladan dalam kehidupan saya.
Memang harus diakui sewaktu Pak Pardjo masih sehat, beliau adalah ‘macan’ yang ditakuti dan disegani kawan dan lawan. Gaya kerjanya kerap membuat orang terbirit-birit, nyaris tak dapat mengikutinya.
Bahkan setelah terserang stroke pun beliau terlihat sangat bersemangat dan berjuang sekuat tenaga untuk dapat pulih kembali, sehat seperti sediakala. Dan usaha itu -untuk beberapa waktu- tampak berhasil.
Pak Pardjo bisa kembali sehat nyaris pulih 90 persen.
Orang yang tidak tahu riwayat sakit beliau, pasti tidak akan mengira kalau Pak Pardjo pernah terserang ‘stroke’.
Sejak dinyatakan pulih kesehatannya itu, beliau mulai ‘start’ bekerja lagi seperti ketika beliau masih sehat wal afiat.  Beliau sama sekali tidak mau mengubah gaya kerjanya yang serba cepat tapi harus akurat itu. Banyak orang menyebut beliau sebagai orang yang sangat perfeksionis
Dan tampaknya Pak Pardjo sendiri (seperti) tidak pernah mengira dan menyadari, bahwa gaya kerjanya itu sejatinya telah secara perlahan tapi pasti, menguras tenaga dan ‘diam-diam’ merongrong kesehatannya sendiri. Suatu hal yang tanpa beliau sadari sebenarnya akan memakan ‘korban’. Dan korban itu adalah (kesehatan) beliau sendiri.
Gaya kerja yang selalu dilakukannya: speed and power game, menguras seluruh energi yang sedikit banyak mempengaruhi kondisi tubuh beliau yang semakin renta. 
Walaupun (menurut perhitungan astrologi Cina), Pak Pardjo adalah “biangnya macan”.
(Pak Pardjo yang lahir pada tanggal 12 Agustus tahun 1926, adalah seorang yang berzodiak Leo dan mempunyai shio Macan Api,  yang konon adalah gabungan dari seorang pemberani, bersifat pemimpin tetapi cenderung pemberang. Dialah macan dari segala macan  alias biangnya macan).

Awal tahun 1993 adalah bulan-bulan  paling berat dalam sejarah kehidupan saya.
Kesehatan Pak Pardjo tampak terus menurun. Akhir Februari 1993 praktis dapat dianggap sebagai saat berakhirnya masa bhakti Kabinet Pembangunan V, dimana Pak Pardjo menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 
Barangkali beban untuk membuat memori "Serah Terima Jabatan"  (Sertijab) yang telah dipersiapkan sejak lama, sedikit banyak berpengaruh terhadap kesehatan beliau. Pak Pardjo adalah seorang ‘perfeksionis’. Beliau selalu menghendaki apapun yang dikerjakannya dapat terlaksana dengan baik kalau tidak bisa dikatakan sempurna. 
Seingat saya pada awal bulan Februari 1993, Pak Pardjo masih sempat mengadakan Rapat Koordinasi dengan para Menteri yang berada dibawah koordinasi Menko Kesra. Itu adalah Rakor Kesra terakhir yang ditutup dengan acara foto bersama.  
Dalam acara perpisahan dengan para Menteri anggota Kabinet yang termasuk dalam koordinasi Menko Kesra itu, Pak Pardjo memaksakan hadir diruang Sidang Menko Kesra dengan tubuh yang sudah lemah. Wajah beliau tampak lelah. Tapi didepan para koleganya, Pak Pardjo tetap menampakkan semangatnya yang tinggi dan tampil sangat tegar. Hati saya merasa seperti disayat-sayat menyaksikan bagaimana Pak Pardjo dengan susah payah berusaha tampil maksimal. 
Belum pernah saya melihat Pak Pardjo tampil didepan umum dalam keadaan nyaris ‘berantakan’ seperti itu. Selama ini Pak Pardjo dikenal sebagai  orang yang rapi,  perlente, selalu tampil ‘necis’ dengan saputangan yang selalu menyembul disaku kirinya. Kini beliau hanya bisa duduk diatas kursi roda dengan jas yang tampak agak kebesaran, wajah sembab dan pucat serta rambut yang tak tersisir rapi. Tapi rasa sakit seperti sama sekali tak dirasakannya. Sungguh menimbulkan rasa haru bagi siapapun yang melihat kondisinya saat itu. 
Saya yakin seluruh Menteri yang hadir pada acara itu merasa jatuh iba kepada Pak Pardjo yang dengan sekuat tenaga memaksakan diri untuk berfoto bersama dengan rekan-rekannya. Itulah foto terakhir beliau dengan para anggota Kabinet Pembangunan V yang berada dalam koordinasinya.
Sesudah Rakor berakhir dalam suasana yang mengharu biru perasaan semua orang, Pak Pardjo  segera dilarikan lagi ke RS MMC untuk kembali masuk ruang perawatan intensif (ICU).
Masa tugas Kabinet Pembangunan V pun secara resmi berakhir terhitung saat Kabinet Pembangunan VI dilantik oleh Presiden Soeharto. 

Yang terpilih sebagai Menko Kesra menggantikan Pak Pardjo ternyata adalah Bapak Azwar Anaz, seorang pejabat yang jalur karirnya di Pemerintahan agak mirip dengan Pak Pardjo (yaitu pernah jadi Gubernur dua masa jabatan dan dipromosikan jadi  Menteri juga sampai dua kali di’pos’ yang berbeda). 
Ir. H. Azwar Anas adalah mantan Gubernur Sumatera Barat yang juga mantan Menteri Perhubungan pada Kabinet Pembangunan V.
Melihat kondisi pejabat yang akan digantikannya begitu memprihatinkan, Pak Azwar Anas (yang pernah jadi ‘kolega’ karena sama-sama menjadi Gubernur, lalu kemudian jadi ‘bawahan’ pada saat Pak Pardjo jadi Mendagri dan Pak Azwar masih jadi Gubernur Sumatera Barat), dengan bijak memutuskan untuk menunda acara Serah Terima Jabatan Menko Kesra. 
Beliau dengan penuh tenggang rasa akan menunggu saat yang tepat sampai kondisi kesehatan Pak Pardjo agak sedikit membaik.
Tapi justru Pak Pardjolah (yang pasti merasa ‘rikuh pekewuh’ -tidak enak hati-) yang mendesak agar Serah Terima Jabatan Menko Kesra segera dilakukan, meskipun beliau masih terbaring sakit di ruang ICU.
Akhirnya dilaksanakanlah Upacara Serah Terima Jabatan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat secara sangat sederhana, diruangan perawatan intensif (ICU) RS. MMC dalam suasana penuh keprihatinan dan keharuan.
Barangkali inilah Upacara Sertijab Menteri yang pertama kali dalam sejarah Kabinet di Republik Indonesia yang dilaksanakan diruang ICU sebuah Rumah Sakit.

     Kado "kejutan" dari seorang suami.....

Pada awal tahun 1992 (setahun sebelum saat terakhirnya tiba), Pak Pardjo ternyata sudah mempunyai tekad yang kuat untuk memberikan sebuah hadiah kejutan bagi istri tercintanya, yang menurut rencana akan beliau sampaikan tepat pada hari ulang tahun ke 61 Ibu Soepardjo tahun depan (bulan April 1993).
Ketika Pak Pardjo melakukan ‘general check-up’ yang terakhir di Walter Reed Hospital, Washington, DC, bulan Februari 1992, saya dipanggil kedalam kamar beliau dihotel Embassy Row. Pada saat itu Ibu Soepardjo sedang ada acara diluar hotel dengan ibu-ibu dari KBRI.
“Ton, apakah jij kenal dengan orang yang pandai menulis buku? Atau seorang pengarang?” beliau memulai pembicaraan ‘empat mata’ itu.
Saya berpikir sejenak. Penulis buku? Ya, saya mengenal seorang novelis wanita yang cukup terkenal. Secara kebetulan putri sulung novelis itu menikah dengan adik bungsu saya. Jadi hubungan kami cukup dekat. Saya memanggilnya ‘tante’. Karena beliau adalah ‘besan’ orang tua saya. Nama beliau adalah Titie Said Sadikun, istri Bapak Sadikun Sugihwaras seorang purnawirawan Polisi. 
Tante Titie adalah aktifis Tim Penggerak PKK Pusat di Departemen Dalam Negeri.
“Inggih wonten pak, asmanipun ibu Titie Said (ya, ada pak, namanya Ibu Titie Said), panjenenganipuin rak ugi novelis (Beliau kan juga seorang pengarang novel)” jawab saya.
Waktu itu saya berpikir Pak Pardjo sedang mempersiapkan buku biografi beliau, atau mungkin untuk menulis memori serah terima jabatan Menko Kesra yang segera akan dilakukan tahun depan (bulan Maret 1993).
“Bu Titie Said PKK itu?” Pak Pardjo bertanya.
Inggih leres (iya betul) Pak”
“Coba nanti kalau sudah kembali di Jakarta, Tony hubungi beliau. Saya butuh bantuan untuk menyusun buku tentang Ibu, kira-kira bu Titie sanggup tidak. Tapi jij jangan bilang siapa2. Tidak boleh ada yang tahu rencana penulisan buku ini. Ibu juga tidak. Tony harus ikut menjaga rahasia ini”
Saya agak terkejut, Pak Pardjo malah mau menulis sebuah buku tentang Ibu (Soepardjo)?
“Kalau Bu Titie bisa, jij atur supaya beliau bertemu saya dikantor saja. Jangan bertemu saya dirumah” lanjut Pak Pardjo lagi.
Inggih, sendiko dhawuh (ya) Pak jawab saya dengan khidmat. 
Saya merasa mendapat kepercayaan dan tanggung jawab yang cukup berat.
Yang pertama, karena saya tahu Tante Titie Said adalah seorang wanita yang sangat aktif dan sibuk sekali. Bersediakah beliau nanti menerima tawaran Pak Pardjo untuk membantu penulisan buku tentang Bu Pardjo ini. 
Yang kedua,  Tante Titie Said juga berhubungan sangat dekat dengan Bu Pardjo. Sanggupkah nanti beliau menjaga rahasia? Bukan saya tidak percaya, tapi biasanya sesama wanita mudah kelepasan bicara.
Seingat saya setibanya di Jakarta, saya berhasil mengatur pertemuan Tante Titie dengan Pak Pardjo di kantor Menko Kesra. Tidak cukup hanya sekali. Semua dilakukan dengan diam-diam. Ini adalah sebuah “silent operation”. Bahkan staf pribadi tidak ada yang tahu rencana rahasia ini, kecuali saya tentu saja. Mereka hanya tahu Bu Titie Said menghadap Menko Kesra untuk urusan PKK.
Saya baru sadar ketika Pak Pardjo memberikan ‘dead line’ (tenggat waktu) sampai akhir bulan Maret 1993. Rupanya selama ini Pak Pardjo mempunyai rencana akan memberikan kado kejutan berupa buku itu di hari ulang tahun Bu Pardjo, istri tercintanya pada tanggal 4 April 1993 yang akan datang. Jadi masih ada waktu sekitar satu tahun bagi tim penulis untuk mengerjakan pembuatan buku itu. 
Secara diam-diam pula Pak Pardjo menghubungi Pak Ken T. Soedarto, pemilik “Matari Advertising” di jalan Kuningan Jakarta, untuk meminta bantuan mencetak buku tentang Bu Pardjo itu.  Bahkan pernah sekali Pak Pardjo datang kerumah Pak Ken untuk membahas rencana “diam-diam” nya itu. 
Akankah terlaksana misi yang serba rahasia itu? 
Saya percaya, sebuah niat baik dan mulia pasti akan mendapat ridho Allah SWT. Semoga.



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar