Senin, 04 April 2011

"MAMPIR DI STOCKHOLM DAN KOPENHAGEN"




(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (61)


Pak Pardjo, Bu Pardjo, Bu Baiquni dan saya menatap Istana Stockholm

       Stockholm, 'Venice of the North'....

Dubes Koesoemodigdo adalah priyayi Jawa yang sangat senang bercerita. Demikian pula istrinya. Sangat menyenangkan mengenal beliau berdua. Walaupun beliau adalah orang nomor satu di KBRI Moskow, tapi tak segan turun tangan sendiri menjadi ‘tour leader’ bagi rombongan kecil yang dipimpin oleh Pak Pardjo. Termasuk mengatur rute perjalanan selanjutnya keluar dari Uni Soviet. 
Yang dipilih beliau (dengan persetujuan Pak Pardjo tentu saja) adalah Swedia. 
Banyak alasan ternyata kenapa justru Negara ini yang dipilih. Swedia adalah Negara terbesar keempat di Eropa. Juga karena Swedia terkenal sebagai negeri danau. Tidak kurang dari 100.000 danau (!) ada diwilayah Negara di semenanjung Skandinavia ini. Negara yang beribukota di Stockholm ini merupakan Negara Kerajaan yang cukup tua. Konon Kerajaan Swedia sudah merdeka sejak tahun 836 M. Di Swedia pulalah Hadiah Nobel diberikan kepada tokoh-tokoh yang dianggap paling berjasa bagi dunia dibidang: kedokteran, fisika, sastra, kimia dan perdamaian dunia. (Dikemudian hari ditambah satu bidang lagi yaitu ekonomi).
Hari Kamis, 15 September 1988, ketika pesawat akan mendarat di Bandara ‘Arlanda’ Stockholm, dari udara tampak kota Stockholm yang seperti ‘terapung’  diantara danau-danau. Bagaikan pulau ditengah lautan. Padahal bukan. Pantas saja kalau ibukota Kerajaan Swedia itu disebut sebagai ‘Venice of the North’, Kota Venesia di Utara.
Dubes RI untuk Swedia waktu itu (1988) adalah Prof. Ahmad Baiquni (mantan Kepala LIPI) yang rumah dinasnya di Stockholm berada ditebing sebuah bukit dengan pemandangan cukup asri. 

Didepan "Wisma Duta" Stockholm
 
Kota Stockholm  dibulan September berhawa sangat sejuk. Cuacanya tampak selalu diselimuti kabut. Itu sebabnya dinegeri ini pada setiap musim apapun kendaraan bermotor harus menyalakan lampunya baik siang apalagi malam. 
Jangan heran kalau mobil penumpang yang paling banyak terlihat lalu lalang dijalanan kota Stockholm bermerk Volvo’
Karena Volvo adalah kendaraan buatan Swedia.

Dikota yang juga penuh bangunan antik dan kuno ini, Pak Pardjo dan rombongan sempat melihat “Kungliga Slottet” atau “Stockholm Slottet” (Istana Stockholm), Istana Raja Swedia yang awalnya hanya sebuah Benteng ini dibangun pada abad 13, dengan nama “Tre Kronor” (Three Crowns, tiga mahkota). Pada tahun 1692 dibangun menjadi Istana dengan gaya ‘Barok’ oleh arsitek Nicodemus Tessin. Dibangun kembali pada tahun 1697 karena terbakar, istana kuno ini dipergunakan untuk menyimpan benda bersejarah, pernak-pernik dan dokumen serta bukti-bukti sejarah negara kerajaan tertua di Eropa itu.  
Didepan Istana berdiri sebuah Obelisk yang sangat besar. Obelisk (dari bahasa Yunani ‘obeliskos’: tiang atau batang) adalah sebuah tiang (biasanya terbuat dari batu granit) berpenampang bujur sangkar yang bentuknya makin keatas makin kecil dan ujungnya meruncing. 

Saya berziarah kemakam Olof Palmer, PM Swedia

Barangkali anda masih ingat kalau ada Perdana Menteri Swedia yang tewas tertembak? Namanya Olof Palmer. 
Saya sempat berziarah kelokasi dimana Perdana Menteri naas itu ditembak. Tempat itu sekarang ditandai dengan sebuah batu prasasti yang dikelilingi pagar besi yang jadi mirip semacam ‘kerangkeng’. Sampai sekarang masih banyak peziarah yang berkunjung dan meninggalkan untaian bunga ditempat itu. 
Pak Andi Syamsu akhirnya memisahkan diri di Stockholm. Ia langsung pulang kembali ke Jakarta. Bapak dan ibu Soepardjo (bersama saya, tentu saja) masih akan mampir kenegeri Belanda. Karena sudah ada janji dengan Mas Koko (putra pertamanya) untuk bertemu disana. 
Adapun Bapak Duta Besar RI untuk Uni Soviet dan Ibu Koesoemodigdo juga berpamitan untuk kembali lagi ke posnya di Moskow.
Walaupun bukan saya yang beliau antarkan kemana-mana, namun saya tetap merasa tanpa ‘kawalan’ beliau  berdua, pasti kunjungan ke Uni Soviet akan terasa hampa belaka.
Matur sembah nuwun sanget (terima kasih sekali), Pak Duta Besar dan Ibu Koesoemodigdo.  Sampai bertemu kembali.
Hari Sabtu, 17 September 1988 dengan menggunakan pesawat Airbus SAS, kita meninggalkan Sockholm menuju Amsterdam, Belanda.

      “Stop  over” di Kopenhagen, Denmark.

Dalam penerbangan menuju Amsterdam, pesawat Airbus SAS melakukan stop over di Bandara Internasional Kopenhagen, Denmark. Saya tidak pernah mengira akan bisa mampir kekota terbesar yang sejak awal abad 15 sudah menjadi ibukota Denmark ini. Kopenhagen sangat terkenal akan kebersihan dan kecilnya polusi udara, karena lebih dari sepertiga penduduknya lebih senang naik sepeda untuk pergi kemana saja. Jauh sebelum dunia mengenal slogan “B2W” alias “bike to  work”. Saya sendiri hanya mengenal Denmark dan Kopenhagen karena ‘kebencian’ saya kepada Svend Pri, pebulu tangkis Denmark yang selalu jadi ‘musuh bebuyutan’ dan bahkan sering mampu mengalahkan jagoan dan maestro bulu tangkis kita, Rudy Hartono, jaman dahulu. 
Bandara Kopenhagen (lebih dikenal sebagai Bandara Kastrup) adalah Bandara yang paling besar diantara Bandara yang ada di Negara-negara Skandinavia. Oleh sebab itu termasuk Bandara sibuk. Bangunannya tampak cukup modern dengan fasilitas yang hampir serupa dengan Bandara Frankfurt, mempunyai ‘shopping arcade’ yang dipenuhi toko ‘duty free’ dan counter yang menjual aneka macam barang dan benda souvenir.  


Saya sempatkan jalan-jalan berkeliling disekitar Bandara, merasakan kesegaran udara yang suhunya sekitar 10 – 15 derajat celcius. Walaupun hanya numpang lewat sekejap saja, saya pergunakan kesempatan berharga ini untuk membeli cinderamata berupa ‘pin’ bendera Negara-negara Skandinavia dan Eropa yang telah saya kunjungi. Sekaligus untuk mengoleksi uang koin dari Denmark. 
Tidak sampai dua jam ‘mampir ngombe’ di Bandara Kopenhagen,  pesawat Airbus SAS sudah mengudara kembali, langsung menuju Amsterdam. 



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar