Minggu, 27 Maret 2011

"TENTANG LEBAH"

 foto by: wikimedia




by mastonie on Saturday, May 8, 2010 at 6:07pm

“Wa auhaa rabbuka ilan-nahli anittakhizii minal-jibaali buyuutaw wa minasy-syajari wa mimmaa ya’risyuun, summa kulii min kulliis-samaraati faslukii subula rabbiki zululaa yakhruju mim butuunihaa syaraabum mukhtalifun alwaanuhuu fiihi syifaa’ul lin-naas, inna fii zaalika la ‘aayatal liqaumiy yatafakkaruun” (An-Nahl, QS. 16:68-69)


(Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah: “Buatlah sarang di gunung2, di pohon2 kayu dan di tempat2 yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari segala -macam- buah2an lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan -bagimu-“.
Dari perut lebah itu keluar minuman -madu- yang ber macam2 warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar2 terdapat tanda -kebesaran Allah- bagi orang yang berpikir)

Sesungguhnyalah Allah SWT telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna dan mendapatkan tempat yang mulia didunia. Manusia dianugerahi otak dan hati yang membedakannya dari mahluk ciptaan Nya yang lain. Dengan otak dan hatinya itulah manusia bisa berfikir dan menggunakan nalar serta akal budinya. Manusia sebagai mahluk yang mulia juga mendapatkan tempat khusus dalam kitab suci Al-Qur’an, dan salah satu diantaranya yang akrab kita kenal dan kita hafal, adalah dalam surah 114 (QS. 114, surah An-Naas/Manusia, 6 ayat).
Untuk melengkapi kehidupan di alam dunia yang diciptakan Nya, Allah SWT juga menciptakan hewan dan tetumbuhan yang ditakdirkan mendampingi kehidupan manusia. Hewan juga mempunyai otak dan hati, akan tetapi hewan tidak dapat memergunakan otak dan hatinya sebagaimana manusia. Dan untuk menunjukkan kebesaran Nya, Allah SWT ternyata juga memberikan kehormatan pada beberapa hewan -menjadi judul surah- dalam Al-Qur’an. Antara lain lebah (QS. 16, An-Nahl, 128 ayat). Hanya Allah SWT yang tahu alasan dipilihnya hewan-hewan itu untuk dikisahkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an sebagai surah yang diturunkan Nya kepada Muhammad Rasulullah SAW. 
Sebagai hamba Allah yang bertaqwa kepada Nya, kita seharusnya mafhum dan maklum bahwa dengan memasukkan ceritera tentang seekor hewan dalam sebuah surah itulah sejatinya Allah SWT (diluar kandungan isi surah itu sendiri) memberikan semacam ‘isyarat’ kepada manusia agar mau belajar dengan  melihat pola kehidupan hewan yang dikisahkan dalam kitab suci tersebut..
Inilah yang barangkali kurang disadari oleh kebanyakan dari kita, ‘mahluk Allah yang paling sempurna dan mulia’ yang bernama manusia.
Salah satu hewan yang tersebut dalam Al-Qur'an (QS, 16) adalah "lebah".
Dibandingkan dengan seorang manusia, seekor lebah adalah ’hanya’ seekor hewan yang kecil. Namun perilaku hidup lebah selayaknya dapat dijadikan ‘suri tauladan’ oleh manusia.
Mari kita coba untuk mencermati kehidupan seekor lebah dialam semesta ini.

Pertama: Lebah hanya mencari makan dari tempat yang baik saja. Yaitu bunga
Manusiapun biasanya melambangkan bunga sebagai sesuatu yang indah, suci dan baik. Memang bunga adalah bagian terbaik dari tetumbuhan. Secara naluriah, lebah dapat dipastikan hanya mencari sari madu dari bunga yang baik saja. Ia tidak akan pernah menjamah bunga yang tidak baik, apalagi yang telah layu. Lebah juga tidak pernah berebut makanan dari satu tempat dengan sesama lebah. Bisakah manusia meniru perilaku lebah yang seperti ini? Hanya mencari rejeki yang baik dan halal. Tidak saling berebut mata pencaharian. dengan sesama. Pada hakikatnya, rejeki yang diridhoi Allah SWT, adalah rejeki yang bisa memberikan ‘makanan rohani dan jasmani’ yang baik untuk diri sendiri, anak isteri maupun bagi keluarga besar kita. Mungkin masih banyak yang belum (atau tidak mau?) menyadari bahwa sesungguhnyalah makanan yang kita berikan kepada keluarga kita -yang merupakan sebagian kecil saja dari rejeki yang kita dapat dari Allah Swt-  secara tidak langsung akan membentuk jiwa, raga dan karakter mereka. 
Makanan yang didapat dari rejeki yang halal akan membentuk anak manusia menjadi pribadi yang Insya Allah bersih pula jiwa raganya, demikian juga sebaliknya. Masih banyak diantara kita yang tidak pernah memikirkan apakah pekerjaan yang kita lakukan itu baik (halal) atau buruk (haram). Sekarang ini malah sangat sering kita dengar  ‘pemeo’ yang beredar dikalangan masyarakat luas:
“Mencari (rejeki) yang haram saja susah, apalagi yang halal”. 
Masya Allah.
Kedua: Lebah hanya mencari makanan yang berasal dari satu tempat saja, yaitu dari bunga.. Lebah tidak akan pernah mencari makan dari tempat lainnya. Karena ia sudah merasa cukup mendapatkan makanan dari bunga bagi dirinya. Lebah bahkan tidak peduli bahwa dari ‘hasil kerjanya’ ternyata ia dapat menghasilkan sesuatu (berupa madu) yang berguna bagi mahluk lain. Dalam surah An-Nahl  (QS, 16:69) Allah Swt telah berfirman bahwa madu adalah zat yang sangat berguna bagi manusia. 
Bahkan untuk apa yang telah dilakukan dan dihasilkannya itu, lebah tidak pernah menuntut penghargaan. Mana pernah kita mendengar kawanan lebah melakukan ‘demo’ untuk menuntut penghargaan atas jasa-jasanya kepada alam seisinya termasuk kepada manusia?
Bandingkanlah, apakah kita, mahluk yang bernama manusia, dalam upaya ‘mencari makan’, bisa berlaku seperti lebah? Bisakah kita mencari nafkah dari tempat yang baik dan hanya dari satu mata pencaharian saja, lalu merasa sudah cukup? Yang sering terjadi adalah: banyak dari kita yang karena selalu merasa tidak pernah cukup, lalu bekerja dengan membabi buta, entah halal entah haram, sikat saja. 
Terkadang kita tak pernah bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan Allah SWT. Kita hanya berfikir untuk bekerja, bekerja dan bekerja, guna memenuhi hajat hidup dan menafkahi keluarga. Acapkali kita terlalu fokus hanya kepada kepentingan kita sendiri saja. Tapi pernahkah kita juga memikirkan hajat hidup orang lain disekitar kita? Pernahkan kita mau berbagi? Padahal masih banyak kaum duafa yang  ada disekitar kita tidak tersantuni, hanya karena keengganan kita untuk berbagi.
Tidak seperti lebah, terkadang kita malah lupa bahwa sesungguhnyalah kita dapat menyayangi sesama manusia. Kita dapat saling berbagi atas apa yang telah dikaruniakan Allah SWT -berupa rejeki- , untuk orang lain yang tidak seberuntung kita. 
Kita bahkan sering lupa untuk menempatkan diri kita agar bisa berguna bagi orang lain.
Padahal dalam salah satu hadist, Rasulullah SAW pernah bersabda:
”Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhihi maa yuhibbu linafsihi” 
(Tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian, sehingga dia dapat menyukai untuk saudaranya -seorang muslim yang lain-, sesuatu yang dia sukai untuk dirinya sendiri)

Ketiga: Yang tidak kalah penting untuk kita amati adalah bahwa lebah tidak pernah merusak bunga yang telah ia hisap sari madunya. Apalagi mematahkan tangkai atau dahan dari bunga itu. Lebah -secara tidak disadarinya- telah memberikan contoh kepada kita, umat manusia, bagaimana menjaga lingkungan guna menunjang kelestarian hidupnya. Lebah tidak akan menghisap madu dari satu bunga dengan cara membabi buta. Meskipun telah dihisap sari madunya, bunga tidak menjadi rusak, karena lebah bisa menjaga agar bunga tetap bisa tumbuh menjadi buah. Terkadang malah lebah lah yang membantu melakukan penyerbukan dan pengembang-biakan suatu tanaman. Dengan demikian (menurut istilah ilmiah populer) maka rangkaian kehidupan flora -juga fauna- tidak terputus sehingga tidak merusak ekologi.
Lalu bagaimana dengan kita, umat manusia? Dapatkah kita berperilaku sebijak lebah? 
Yang banyak terjadi sekarang adalah justru perusakan sumber daya alam, baik yang dilakukan secara sistematis, struktural dan masif, maupun tidak. Sejatinya hal itu terjadi karena sifat manusia yang “kufur nikmat”. Yang tidak pernah merasa puas dan tidak pernah mensyukuri nikmat berlimpah yang telah diberikan Allah SWT. 
Kita semua tahu bahwa kondisi alampun sekarang telah menjadi rusak dan merana karena eksplorasi besar-besaran yang dilakukan oleh manusia. Dan manusia selalu ‘berlindung’ dengan satu alasan klise: bahwa semua yang dilakukan itu adalah untuk mencukupi hajat hidupnya.
Pertanyaan yang -sebenarnya- sangat mendasar ini tak pernah beroleh jawab:
“Mengapa manusia tak pernah mau berpaling sedikitpun, meski hanya sekedar untuk menengok kehidupan ‘dunia hewan’ (walau hanya dari seekor lebah, misalnya), yang banyak memberikan contoh kepada kita, manusia, tentang kearifan dalam menjalani kehidupan?”
Padahal  Allah SWT sebuah “otak” untuk berfikir.

Jadi sesungguhnyalah, apakah masih pantas kita menerima predikat sebagai ‘mahluk paling sempurna dan mulia’ didunia ini dan mempertanggung-jawabkannya kelak dihadapan Sang Khalik, Allah SWT Sang Maha Pencipta?

Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar