Selasa, 29 Maret 2011

"CITA-CITA YANG GAGAL"


     (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (5)
      Permohonan mutasi yang jadi masalah.
Namun beberapa waktu kemudian (seingat saya tidak sampai tiga tahun), karena satu dan lain hal saya seperti ‘terpaksa’ pindah tugas (lebih tepatnya di”pindah paksa” kan) menjadi staf Bagian Protokol Pemda Provinsi Jawa Tengah.
Kepindahan  saya dari Kwarda Pramuka ke Bagian Protokol itu bermula dari surat permohonan pindah pekerjaan yang saya ajukan. Padahal sebelum mengajukan permohonan pindah, saya sudah konsultasi sekaligus minta  ijin dan persetujuan serta ‘dorongan’ semangat dari Pak Wagiran, atasan langsung saya di Kantor Sekretariat Kwarda Pramuka Jawa Tengah.
Akan tetapi (malang sekali) permohonan saya itu ditolak oleh Pak Wahyudi.
Pada waktu itu saya mengajukan ijin untuk mutasi -pindah bekerja- dari Kantor Kwarda Pramuka (yang notabene saya masih Calon Pegawai Negeri Sipil Pemda Jateng) menjadi Pegawai Negeri Sipil Departemen Penerangan. Karena saat itu saya telah lulus tes sebagai penyiar RRI Studio Semarang, yang memang sedang membutuhkan tambahan tenaga penyiar pria.
Bahkan -atas permohonan saya itu- Pak Sekwilda Kardiman (atasan langsung Pak Wahyudi) sudah setuju dan sempat menanda tangani permohonan “lolos butuh” (surat tidak berkeberatan) yang telah terlanjur saya ajukan.
“Saudara ini bagaimana!” damprat Pak Wahyudi ketika –karena soal permohonan pindah itu– saya langsung  dipanggil menghadap beliau diruang kerja Kepala Biro Personalia. Saya tahu dengan pasti beliau sedang ‘murka’. Tidak biasanya beliau memanggil saya dengan sebutan ‘saudara’. Selama ini Pak Wah selalu memanggil saya dengan ‘Dik Tony’.
Saya jelaskan kepada beliau bahwa saya telah lulus ujian calon penyiar RRI Studio Semarang. Malahan sudah menjalani percobaan “On Air” (mengudara atau siaran). Status kepegawaian saya bahkan sudah mulai diproses untuk melimpah’ (istilah kepegawaian untuk pindah ke lain instansi) ke Departemen Penerangan oleh Bagian Kepegawaian RRI Studio Semarang.
Mendengar penjelasan saya, Pak Wahyudi memandang saya tanpa berkedip. Wajahnya yang -dari sononya- memang ‘angker’ terlihat bersemu merah.
“Pokoknya saya tidak setuju. Titik. Saudara tahu disini –maksudnya dikantor Pemda Provinsi– saya juga membutuhkan orang yang bisa cuap-cuap seperti Saudara, jadi buat apa Saudara melimpah ke Instansi lain? Apa Saudara tidak puas bekerja di kantor Kwarda Pramuka?”.
‘Cuap-cuap’ adalah istilah bernada sinis untuk orang yang senang berbicara.
Saya tidak bisa menjawab. Tenggorokan saya rasanya seperti tercekat. Bayangan dan impian saya untuk menjadi penyiar Radio Republik Indonesia Studio Semarang seakan lenyap sudah. Padahal dalam tes calon penyiar baru di RRI Studio Semarang pada waktu itu, saya adalah satu-satunya calon penyiar pria yang berhasil lulus tes!
“Begini saja” suara Pak Wahyudi kedengaran mulai menurun, mungkin beliau bisa membaca rona kekecewaan yang tergambar diwajah saya.
“Saudara kan maunya bertugas jadi tukang halo-halo[1]? Disini juga ada bagian yang tugasnya sama seperti itu. Saudara pindah saja kesini, yang penting Saudara masih bisa berhalo-halo didepan corong”.
Saya masih terdiam, tak kuasa menjawab. Pikiran saya terbang melayang entah kemana. Jelas sudah, cita-cita saya (sebagai Penyiar RRI) ‘gatot’: gagal total.
“Sekarang Saudara pulang kembali ke Kwarda. Tunggu saja nanti SK Saudara untuk alih tugas di Bagian Protokol”, beliau mengakhiri pembicaraan hari itu.
Saya menyeberang jalan untuk kembali kekantor Kwarda Pramuka Jateng di Jl. Pahlawan Semarang dengan pikiran kacau dan badan loyo. Entah bagaimana nanti saya menjelaskan kepada Bagian Personalia RRI Studio Semarang, tentang ‘dicekalnya’ saya untuk pindah bekerja itu.
Sesuai janji Pak Wahyudi, beberapa hari kemudian saya sudah menerima SK alih tugas saya ke bagian Protokol Pemerintah Provinsi Dati I Jawa Tengah.
(Sebetulnya yang dikeluarkan Pak Wahyudi adalah sebuah “Nota Dinas”, sebuah surat yang biasa dipergunakan antar para pejabat disebuah instansi untuk sebuah proses yang memerlukan penanganan ‘cepat’. Hal tersebut menunjukkan betapa proses alih tugas saya dilakukan dengan ‘segera’)
Adapun “Nota Dinas” yang bertanggal 16 Juli 1976 itu ditanda tangani oleh Pak Wahyudi dan ditujukan kepada Ketua Kwartir Daerah Pramuka Jawa Tengah.
Saya sempat terheran-heran mendapati kenyataan bahwa proses alih tugas saya itu -menurut pendapat saya- terkesan amat sangat super cepat.
Maka terhitung mulai tanggal (TMT) 16 Juli 1976 itulah saya jalani masa tugas saya sebagai “Protokol Gubernur”, demikian sebutan keren nya.
    Waktu terus berlalu dan waktu juga nantinya yang membawa saya lebih dekat lagi ke “Pak Gub”, orang nomor satu sekaligus “Penguasa Tunggal” dalam struktur organisasi Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I menurut UU nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah.
Tapi sesungguhnya awal perjumpaan saya dengan Bapak Gubernur Soepardjo Roestam sudah terjadi bahkan sebelum saya menjadi Protokol Pemda  Provinsi Jawa Tengah.


bersambung.....


[1] Istilah “slang” yang berarti bicara didepan mikrofon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar