Rabu, 30 Maret 2011

"KORBAN PEMILU 1977"

(dari draft buku: "catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (14)
 

by mastonie on Tuesday, June 1, 2010 at 11:53pm



foto from: google user


(Ini adalah  kisah yang lain  ketika saya hampir mendapat musibah dalam bertugas)

Jeep Nissan Patrol tua vs Vespa Pak Guru...

Kali ini saya beserta Pak Abdullah Ayadi (Staf Protokol paling senior) mendapat tugas untuk mengatur acara Kampanye Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam rangka Pemilu tahun 1977 diwilayah Eks Karesidenan Banyumas. 
Pak Gubernur Soepardjo Roestam berkenan menyiapkan Wisma Praja dan beberapa hotel di Baturraden untuk tempat bermalam ‘Ngarso Dalem’ (panggilan hormat Sri Sultan HB IX) beserta rombongan.
Pagi itu ada pembagian tugas. Pak Yadi mengatur acara Kampanye di Stadion Purwokerto, sedangkan saya harus berada di Baturraden untuk mengatur segala sesuatu sebelum Sri Sultan berangkat kampanye. Selesai acara jamuan santap pagi, dengan memakai Jip Nissan Patrol (keluaran tahun 1969, salah satu mobil dinas untuk Protokol) dengan seorang pengemudi yang bernama Yitno, saya segera meluncur mendahului rombongan untuk bergabung dengan Pak Yadi di Stadion.
Khawatir disusul rombongan yang memakai "voorijders" (pengawalan polisi) , Yitno yang  memenag terkenal sebagai 'si jago ngebut',  langsung ngacir tancap gas melaju ke Purwokerto. Jalan dari Baturraden menuju Purwokerto sangat licin karena habis terkena guyuran hujan semalaman. Lagipula jalannya menurun dan berliku-liku.
Saya sudah memperingatkan Yitno untuk jalan lebih pelan ketika tiba-tiba disebuah tikungan muncul sebuah Vespa yang dikendarai seseorang yang berseragam baju Korpri. Saya tersentak kaget. Begitu pula Yitno sang ‘hell driver’. Hanya sempat berteriak “Eiiiit eeiit eeiit”, Yitno sekuat tenaga mengerem mobil dan berusaha membanting setirnya. Tapi terlambat. Terdengar suara ‘braaaak!!!’ yang sangat keras diseling decit ban mobil. Hari masih pagi. Jadi jalanan belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang dipinggir jalan yang menyaksikan peristiwa naas itu.
Akhirnya Yitno berhasil menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Saya lirik dari kaca spion, korban yang tertabrak terkapar ditengah jalan. Ada seorang petani bertelanjang dada yang membawa 'arit' (sabit) berlari mendekat sambil berteriak-teriak dan mengayun-ayunkan sabitnya. Saya terkesiap. Saya lihat Yitno pucat pasi terduduk tak bergerak dikursinya.
Saya berusaha tenang. Secepatnya saya melompat turun dan mendekati korban yang ternyata adalah seorang lelaki setengah baya. Darah berceceran dimana-mana. Vespa yang dikendarainya tergeletak ditengah jalan. Separuh bodinya penyok parah.
Yang pertama saya lakukan adalah menyongsong kedatangan Pak Tani yang tampak marah sekali itu. Entah dapat keberanian dari mana, saya yang hanya bertangan kosong mencoba menghadangnya. Saya berteriak keras-keras, maksud saya untuk menarik perhatian agar orang-orang berdatangan dan ikut membantu saya:
“Sabar nggih pak, sabaaar”. Bukannya surut, petani itu malah membentak:
“Mana sopir edan itu? Bawa sini biar saya babat sekalian!”.
Saya agak keder juga melihat sabitnya yang terayun-ayun. Tapi saya sadar harus melindungi Yitno. Ia berada dalam tanggung jawab saya saat bertugas. Jadi saya berusaha tetap tenang.
“Sabar nggih pak, mari kita selesaikan baik-baik. Kita selamatkan dulu korbannya. Nggih pak nggih?” saya berusaha membuatnya tenang. Orang-orang -seperti yang saya harapkan- mulai berdatangan.
“Ada dokter nggak disekitar sini?” saya berteriak mengalihkan perhatian petani kalap itu.
Saya ajak beberapa orang untuk menggotong korban yang pingsan itu kedalam mobil. Alhamdulillah ada seorang dokter yang rumahnya hanya beberapa puluh meter dipinggir jalan itu. Saya lihat Yitno masih bengong. Matanya merah. Wajahnya seputih kapas. Saya perintahkan dia untuk segera menyalakan mesin mobil dan membawa korban (yang ternyata adalah seorang Guru yang akan mengikuti kampanye Sri Sultan) kerumah dokter.
Beruntung lukanya tidak parah. Beberapa bagian tubuhnya memang terluka dan mengeluarkan darah. Tapi ia tidak menderita gegar otak, atau luka serius yang lain dikepalanya. Mungkin karena kaget saja yang menyebabkannya jatuh pingsan. Saya jelaskan pada dokter kronologi kejadiannya. Juga identitas saya -sebagai Protokol Gubernur- yang sedang bertugas. Saya juga sampaikan bahwa saya akan bertanggung jawab terhadap semua biaya yang harus dikeluarkan. Saya terpaksa mengeluarkan 'jurus' itu agar semua urusan bisa segera selesai, karena saya masih mempunyai tanggung jawab mengatur acara di Stadion.
Syukur akhirnya semua bisa beres.
Saya kembali ke mobil. Tapi Yitno tidak berada ditempatnya. Dengan perasaan khawatir, takut terjadi sesuatu pada dirinya, saya cari dia. Eh, ternyata dia sedang muntah-muntah dibelakang rumah Pak Dokter. Katanya dia tidak tahan melihat darah yang berceceran di jok belakang ‘mobil maut’nya. Saya ajak dia segera meluncur menuju Stadion. Pak Yadi pasti sudah lama menanti kedatangan saya. Tapi memang pada dasarnya sopir gemblung, keluar dari rumah pak dokter, Yitno sudah berani ngebut lagi!

Saya melapor ke Pak Yadi yang segera meneruskan laporan saya ke Pak Bupati Banyumas. Beliau berjanji untuk menyelesaikan dan membereskan perkaranya, termasuk semua biaya yang harus dikeluarkan.
Saya bilang ke Yitno:
“Untung ada Pak Bupati, yang mau membayar semua ganti rugi....... kalau tidak, kamu harus masuk penjara”. Mendengar omongan saya, Yitno cuma cengar-cengir tak berkomentar. Dasar.


bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar