Rabu, 30 Maret 2011

"KISAH GUBERNUR KETINGGALAN PESAWAT....."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (25)

 

     Undangan dari Keluarga Hertasning. Ujungpandang (Makasar),  tahun 1979.

Bapak dan Ibu Soepardjo Roestam kenal sangat dekat dengan keluarga Almarhum Bapak Hertasning. Apalagi keduanya sama-sama pernah menjabat Duta Besar. Pak Hertasning Dubes RI di Singapura, sedangkan Pak Pardjo Dubes RI di Yugoslavia dan Malaysia.
Pak Hertasning masih menjabat sebagai Dubes RI untuk Singapura ketika wafat pada kecelakaan helikopter di Bedugul Bali, dalam rangka persiapan kunjungan PM Singapura ke Indonesia.
Pada tahun 1979, sewaktu Ibu Hertasning berniat menikahkan putranya, Bambang Hertasning yang mendapatkan jodoh putri Bapak Andi Mattalatta, seorang tokoh dari Sulawesi Selatan, maka Pak Pardjo bersama Bapak Andi Odang (Gubernur Sulawesi Selatan) diundang oleh Ibu Hertasning untuk hadir dipesta pernikahan putranya. Ketika tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar, saya baru tahu bahwa calon istri Bambang Hertasning ternyata adalah penyanyi berwajah melankolis, lembut dan cukup terkenal yang bernama Andi Meriem Mattalatta.
Kehadiran Gubernur Jawa Tengah tentu disambut rekannya yang sesama Gubernur, Pak Andi Odang. Pak Pardjo diterima sebagai tamu resmi dan menginap dirumah dinas Gubernur Sulawesi Selatan.
Gedung kuno yang besar dan antik itu adalah sebuah bangunan peninggalan jaman penjajahan Belanda. Kamar tidurnya besar-besar. Setiap kamar tidur mempunyai kamar mandi yang juga berukuran besar. Tempat tidurnyapun ukuran ‘king size’ yang dilengkapi dengan 4 tiang berukir untuk tempat memasang kelambu. Sangat antik. Saya (yang cuma Ajudan) saja mendapat sebuah kamar yang begitu besar, apalagi untuk tamu kehormatan seperti Bapak dan Ibu Soepardjo.
Sambil menunggu tibanya hari pernikahan Bambang Hertasning dan Andi Meriem Mattalatta, Pak Andi Odang membawa tamunya keliling kepelosok desa sekaligus sebagai studi perbandingan antar Gubernur Kepala Daerah.
Seingat saya ada seorang pria pendamping yang ditugaskan oleh Pak Andi Odang untuk terus menemani kunjungan Pak Pardjo didaerah Sulawesi Selatan, namanya Pak Oesman Sapta. Saya tidak tahu persis apa hubungan Pak Oesman Sapta dengan Pak Andi Odang, tapi dikemudian hari saya bertemu lagi dengan Pak Oesman Sapta di Jakarta, sewaktu beliau sudah jadi orang yang terkenal sebagai wirausaha sekaligus politisi.
Ada satu pengalaman menarik disini yaitu ketika Pak Pardjo dijamu makan siang disebuah tambak ikan bandeng. Menu makan siang hari itu tentu saja ikan bandeng. Dijaring langsung dari tambak, ikan-ikan itu langsung dibersihkan dan dibakar nyaris tanpa bumbu. Hanya disediakan sambal kecap yang berisi potongan cabe rawit, bawang merah dan tomat hijau (Jawa: ranti). Rasanya sangat pedas bercampur asam menyegarkan. Saya baru sekali itu merasakan ikan bandeng bakar “fresh from the tambak”. Ikan bandeng segar yang dibakar ternyata rasanya agak manis. Sangat nikmat. Saya juga agak heran melihat cara orang Makasar makan ikan. Mereka hanya makan bagian perutnya saja. Kepala dan ekornya dibuang! Saya sempat ditertawakan karena makan ikan sampai ludes ke ekor-ekornya. Ternyata bagian paling enak dari ikan bandeng  memang perutnya yang berlemak itu. Baru tahu saya.

      Menyaksikan pernikahan anak Bangsawan yang artis kondang.

Andi Mattalatta adalah seorang tokoh daerah Sulawesi yang juga masih keturunan bangsawan dari Barru (Salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan).
Oleh karena itu upacara perkawinan Andi Meriem Mattalatta, putri keturunan bangsawan itu dilaksanakan dengan upacara adat kerajaan yang sangat megah dan meriah dikota Barru.
Mempelai laki-laki dengan berpakaian bangsawan putra Raja datang ketempat Upacara Pernikahannya dengan mengendarai seekor kuda jantan yang sangat besar. Dikawal pasukan kerajaan yang juga menaiki kuda, Bambang Hertasning yang mengenakan ikat kepala bangsawan kerajaan terlihat sangat gagah bak seorang Panglima Perang maju kemedan laga.
Dipelaminan, Andi Meriem Mattalata, tampak sangat anggun, lembut dan cantik jelita dalam balutan pakaian kebesaran wanita bangsawan Bugis yang berwarna merah muda. Kepala dan badannya dipenuhi perhiasan emas bertatahkan permata berkilauan. Tidak salah dia dijuluki sebagai si “Mutiara dari selatan”.
Upacara akad nikah dilaksanakan dengan cara Islam, disaksikan dua orang Kepala Daerah Tingkat I: Gubernur Sulawesi Selatan Andi Odang dan Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam.

      Koper terbawa pesawat, bermalam tanpa ganti pakaian.

Malam hari sebelum Pak Pardjo menghadiri upacara pernikahan Bambang Hertasning dan Andi Meriem Mattalata, Pak Andi Odang mengadakan jamuan makan malam dikediaman resminya. Acara berlangsung meriah sampai hampir tengah malam. Keesokan harinya setelah pesta pernikahan yang diadakan dikota Barru selesai, kedua Gubernur kembali ke Makasar.
Jadwal keberangkatan penerbangan terakhir pesawat Garuda dari Makasar ke Jakarta seperti yang tertera di ‘return ticket’ (yang saya bawa dari Jakarta) adalah pukul 17.15 WIT. Jadi masih ada waktu istirahat sebentar dirumah pak Gubernur.  Bandara Sultan Hasanuddin terletak diluar kota Makasar. Jika ditempuh dengan mobil dan memakai pengawalan Polisi, bisa memakan waktu setengah jam.
Pukul 16.00 saya menghubungi Protokol Gubernur Sulsel untuk mengkonfirmasi keberangkatan rombongan. Semua bagasi Bapak dan Ibu Soepardjo sudah saya masukkan kedalam kendaraan khusus yang berangkat mendahului ke Bandara. Protokol Gubernur ternyata menjawab bahwa rombongan akan diberangkatkan tepat pukul 17.00 WIT, karena menurut dia, penerbangan terakhir ke Jakarta adalah pukul 18.00. Ketika saya tunjukkan tiket yang menyebutkan jam keberangkatan pesawat pada pukul 17.15, dengan santai dia menjawab:
“Jangan khawatir pak, kita sudah biasa mengantar tamu Pak Gubernur. Pesawat tidak akan berani take off sebelum tamu Pak Gubernur tiba” katanya meyakinkan.
Jadi saya ikuti saja apa kata Petugas Protokol Gubernur Sulsel. Bukankah dia tuan rumah yang tentu lebih tahu segalanya daripada saya yang hanya tamu.
Tepat pukul 17.00 rombongan berangkat dari kediaman Pak Gubernur dengan pengawalan Polisi. Saya berada satu mobil dengan Pak Pardjo dan Pak Andi Odang.
Pak Pardjo sempat bertanya kepada saya:
“Ton, jam berapa pesawatnya take off?”
“Didalam tiket tertera pukul 17.15 pak, tapi menurut protokol Pak Gubernur biasanya pesawat terakhir berangkat pukul 18.00”
“Betul itu?” Tanya Pak Pardjo lagi.
“Ya memang biasanya jam 18.00 Pak, lagipula kan Pak Pardjo tamu saya, masa mau ditinggal” kali ini Pak Gubernur Andi Odang yang menjawab.
 Beberapa saat sebelum masuk kewilayah Bandara, terdengar deru pesawat terbang mengangkasa.  Saya terkesiap. Hati saya tercekat. Pak Pardjo langsung bertanya:
“Lho, itu koq ada pesawat yang take-off?”
“Barangkali pesawat yang terbang ketempat lain Pak” dengan agak ragu-ragu saya menjawab. Saya lihat arloji menunjukkan pukul 17.35. Pak Gubernur Andi Odang diam saja. Saya lirik dari kaca spion wajahnya tampak agak gelisah.
Sewaktu turun didepan ruang tunggu VIP, tampak menyambut beberapa petugas Protokol Gubernur. Semua berwajah pucat. Hati saya mulai merasa tidak enak. Pasti ada yang tidak beres nih. Sekarang sudah pukul 17.40 WIT!
Pak Andi Odang meloncat turun dari mobil sambil bertanya dengan suara keras:
“Yang take off  tadi pesawat jurusan mana?”
“Pesawat Garuda yang ke Jakarta, Pak” jawab salah seorang petugas Protokol dengan suara pelan. Wajah Pak Andi Odang berubah merah padam:
“Jadi kita ketinggalan pesawat? Memang jadwal terbangnya jam berapa?” bentaknya.
“Bebb..betul pak ternyata jadwal terbangnya pukul 17.15,  tadi pilotnya sudah sempat menunggu 15 menit, lalu memutuskan untuk segera terbang”
“Siapa tadi yang bilang kalau jadwal pesawatnya jam 18.00?”
Tidak ada jawaban. Suasana tegang sekali. Saya bisa merasakan bahwa sebetulnya Pak Pardjo juga sudah “meledak”, kalau tidak menyadari sedang bertamu kerumah orang. Tapi saya berketetapan hati tidak bersalah, karena saya sudah mengingatkan Protokol Gubernur sejak sebelum pukul 16.00! Dia yang bersikukuh berkata pesawat terakhir terbang pada pukul 18.00. Tapi saya tidak mau tunjuk hidungnya.
Wah, mohon maaf nih Pak Pardjo, rupanya kota Makasar masih menahan Bapak untuk menginap semalam lagi” Pak Andi Odang mencoba bercanda.
“Kamu urus bagasi saja Ton, bawa pulang ke rumah pak Gub lagi” perintah Pak Pardjo kepada saya. Saya belum sempat menjawab sudah disahut Protokol:
“Maaf Pak Gubernur, bagasinya sudah terlanjur masuk dan terbawa terbang”
Astagfirullah. Benar-benar runyam nih. Pikir saya. Saya melihat wajah Pak Pardjo berubah menjadi keruh menahan geram.
“Bagaimana ini, masa kita menginap tapi tidak bawa pakaian?” kata Pak Pardjo.
“Ya sudah, gampanglah itu, nanti kita beli pakaian baru di toko” jawab Pak Andi Odang.
Malam hari itu saya segera menghubungi Pak Tarto, Kepala Perwakilan Pemda Jawa Tengah di Jakarta untuk memberitahu bahwa kita ketinggalan pesawat, tapi bagasinya tidak. Jadi Pak Tarto malam itu hanya menjemput bagasi saja.
Mungkin untuk menutupi rasa bersalah atas kekeliruan stafnya, Pak Andi Odang malam itu mengadakan jamuan makan malam “dadakan”.
Saya yang pusing tujuh keliling dari toko ketoko mencari piyama dan pakaian dalam untuk Bapak dan Ibu Soepardjo.  Saya sendiri cuma butuh sarung saja. Yang lain masih bisa saya pakai lagi. Paling-paling saya semprot parfum. Beres. 



bersambung.....

3 komentar:

  1. Sy mencati biografi bambang hertasning suami andi meriem mattalatta ..ingin liat
    profil dan foto pernikahannya tp tdk bisa

    BalasHapus