Rabu, 30 Maret 2011

"THE NEVER DREAM COMES TRUE"


      (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (19)


      ‘Kabar kabur’ yang jadi kenyataan.

Mungkin karena kehujanan sewaktu mobil jip Nissan Patrol Protokol patah as kopelnya di Parakan beberapa waktu yang lalu, saya terkena flu agak berat. Berhari-hari saya hanya bisa tiduran dirumah karena -selain flu- saya mengidap gejala bronkhitis kronis (radang saluran nafas menahun). 
Padahal hari H yang tertera di SK pengangkatan saya (sebagai Ajudan Gubernur) sudah tiba. Artinya saya sudah harus melapor ke Puri Gedeh, kediaman resmi Pak Gub, untuk segera bertugas sebagai Ajudan Gubernur. 
Saya paksakan diri untuk berangkat. Kendaraan angkutan umum yang bisa mencapai Puri Gedeh di Kota Atas[1] hanyalah bus kota. Dari Perumnas Krapyak -rumah cicilan BTN saya- yang terletak di Kota Bawah, saya harus ganti bus kota sampai dua kali.
Setelah melapor, saya langsung diperintah oleh Pak Tris (Soetrisno BR, Ajudan senior, pernah jadi Ajudan Gubernur Munadi juga) untuk segera melaksanakan tugas sebagai Ajudan Dinas! Berarti saya harus langsung bertugas melayani Bapak Gubernur. Bahkan tanpa diberi kesempatan menjalani proses 'magang' atau belajar dulu.  
Barangkali karena saya berasal dari staf Bagian Protokol -seperti Pak Tris juga- maka saya dianggap sudah cukup mampu dan langsung bisa tugas melayani Pak Gub, karena sudah mengenal ‘gaya’  dan karakter beliau.

    Demikianlah, dalam keadaan ‘setengah sehat’ saya langsung bertugas sebagai Ajudan Gubernur Kdh Tk. I Jawa Tengah! Kalau hanya perkara membuka dan menutupkan pintu mobil Pak Gub, saya sudah biasa -karena juga termasuk salah satu tugas Protokol-. Tapi soal melayani Pak Pardjo untuk hal-hal lain yang bersifat dinas maupun non dinas, bahkan mungkin yang sifatnya lebih pribadi, saya belum tahu apa-apa. Boleh dikata saya “waton wani” alias ‘bondho nekat’ (bonek)!
Inilah saatnya pertama kali saya harus duduk didalam satu mobil dengan Bapak Gubernur. Duduk dikursi yang ada didepan  beliau -front seat- dalam mobil sedan dinas Gubernur Holden Statesman warna hitam, bernomor polisi H-l. Rasanya sangat kikuk dan kaku duduk membelakangi ‘orang nomor satu’ di Provinsi Jawa Tengah! 
Hati saya sangat gelisah. Barangkali penampilan saya malah jadi sangat kampungan saat itu. Jok kursi yang begitu empuk bagi saya terasa sangat keras. Walaupun AC mobil menyembur dengan sangat dingin dari kisi-kisi yang ada tepat didepan wajah saya, tapi rasanya saya tetap kepanasan. Sangat gerah. Saya merasa tengkuk saya jadi tebal dan pegal -karena ada perasaan dipandangi terus dari belakang-. Pokoknya hanya ada satu kalimat yang pas yang bisa menggambarkan keadaan saya saat itu: salting alias salah tingkah
Pak Gubernur hari itu sama sekali tidak menegur saya sepanjang perjalanan dari kediaman sampai ke kantor. Suasananya -bagi saya- terasa sangat kaku dan menegangkan. Sungguh berbeda jika dibanding dengan saat saya masih bertugas sebagai Protokol. Saya yang memang ‘dari sononya’ punya bakat ‘tremor’ (gemetaran), jadi merasa sangat sulit mengontrol anggota badan saya. Rasanya semua anggota tubuh ingin bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi dan lepas kendali. Tiba di Kantor Pemda Provinsi sayapun bersegera membuka pintu dan meloncat turun dari mobil -karena khawatir Pak Gub lebih dahulu membuka pintu-, bahkan sebelum mobil H-l benar-benar berhenti. Saya nyaris jatuh terjengkang! “Pendaratan pertama” saya sebagai Ajudan baru yang sama sekali tidak mulus itu tentu juga dilihat oleh banyak pegawai Pemda yang pada saat itu ada dihalaman kantor. 
Wah, pasti akan jadi bahan pergunjingan.
Badan saya yang memang masih agak demam -karena sakit- semakin terasa panas dingin. Keringat bercucuran dan muka saya terasa sangat panas dan tebal menahan malu. Beberapa Polisi Pamong Praja (Satpam dijajaran Depdagri) yang bertugas menjemput nyeletuk: "Ajudan baru niii yeeee". Saya tak menjawab dan segera menyambar tas kerja Pak Gubernur dari bagasi mobil yang langsung saya larikan dengan tergopoh-gopoh, naik kelantai dua. Tentu saja melalui tangga, mana berani saya mendampingi Pak Gub naik lift. Alhasil sampai diruang Ajudan napas saya terasa bagai mau putus. Saya minta ijin pada Pak Maryono -Staf Pribadi Gubernur yang mengurus surat menyurat dikantor- untuk pergi kebelakang. Aduhai, lega rasanya berada dikamar kecil sendirian. Saya tata kembali napas saya, sambil melihat wajah dikaca. Rasanya seperti melihat orang dari planet lain! Sengaja saya berlama-lama dikamar kecil sendirian, untuk menenangkan diri sambil menata penampilan saya dibabak berikutnya.
“Sakit perut ya Kang (Mas), kok lama banget”, sambut Kang Maryono begitu saya masuk kembali keruang Ajudan. Mas Kaswadi dan Lasiyo -keduanya pembantu dibagian Staf Pribadi- serempak mengomentari: “Hari pertama sudah ‘mangsur’, jangan-jangan hari kedua langsung masuk kub....”.
“Gundulmu apek ! Belum-belum kok sudah mendoakan jelek”, saya protes. Semua tertawa. Saya beruntung sudah menjalin persahabatan dengan para anggota Staf Pribadi Gubernur sejak masih bertugas di Protokol. Jadi begitu ‘masuk lingkaran’, tidak ada masalah lagi. Hari itu kerja saya hanya duduk termenung dikursi Ajudan yang baru pertama kali saya duduki, seraya berharap waktu cepat berlalu.

    Duduk di bus kota dalam perjalanan pulang kerumah menjelang magrib, saya merasa bagai mimpi disiang hari. Jadi saya tadi sudah betul-betul bertugas jadi Ajudan Gubernur! Terbersit sedikit rasa bangga yang campur-aduk jadi satu dengan rasa kecil hati. Bangga sudah pasti, karena untuk menjadi Ajudan, tentu ada persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Berarti saya dinilai oleh atasan telah memenuhi syarat dan ketentuan. Dan dianggap mampu. Tapi rasa kecil hati muncul tatkala melihat kenyataan bahwa Pak Gubernur tampaknya menerima kehadiran Ajudan barunya dengan ‘dingin-dingin’ saja. Ah, tapi barangkali itu hanya perasaan saya sendiri saja, kata hati saya menghibur.
Malam harinya saya demam lagi. Bahkan suhu tubuh saya meninggi, hampir 39,5 derajat celcius. Barangkali selain stress berat, tubuh saya agaknya juga shock mendapat siraman hawa dingin langsung dari AC mobil Pak Gubernur. Selama ini kan saya hanya bisa naik mobil angkutan kota. Jelas tak ber AC. Paling banter naik jip Nissan Patrol atau VW Safari milik Bagian Protokol, itu juga mobil-mobil yang tak ber AC.
    Keesokan harinya saya malah tidak dapat bangun dari tempat tidur. Bronkhitis saya kambuh. Bahkan mungkin makin berat. Apakah beban yang saya terima karena menjadi Ajudan Gubernur begitu beratnya? Jadilah saya tergolek ditempat tidur untuk beberapa hari. 
Barangkali mendapati saya tidak nongol bekerja lagi membuat semua orang bertanya-tanya. Sampai Pak Gubernur mengutus Pak Herman -salah seorang sopir Puri Gedeh-, untuk ‘bezoek’ (menjenguk) saya dirumah. Pak Herman malah menyampaikan kekhawatiran Pak Noor, jangan-jangan saya cuma ‘trauma’, takut kembali bertugas sebagai Ajudan. Wah itu jelas sudah ‘prejudice’ (berprasangka buruk) namanya. Saya minta pada Pak Herman untuk melaporkan keadaan saya yang sesungguhnya, baik kepada Pak Noor maupun kepada Bapak Gubernur. Saya juga mohon maaf karena baru sehari bertugas melayani Pak Gub sudah K.O. Memang menurut perasaan saya sakit yang saya derita kali ini ‘sakit ganda’. Bukan hanya raga saya yang sakit, tapi jiwa saya agaknya terguncang menghadapi kenyataan tugas sebagai Ajudan ternyata tidak ringan. Seorang Ajudan ternyata harus memiliki modal fisik dan -terutama- mental yang sedikit lebih dari ukuran rata-rata orang. Mungkin penilaian saya tidak benar, tapi menurut saya, Ajudan selalu menghadapi pekerjaaan dalam keadaan ‘under pressure’. Apalagi kalau jadi Ajudan Bapak Gubernur Soepardjo yang terkenal pekerja keras itu. 
Selain hal itu, saya juga sedang iseng membuat analisa sendiri. Sikap Pak Pardjo sewaktu menerima kedatangan saya sebagai Ajudan terkesan sebagai “4 No”: No question (tidak ditanya), No comment (tanpa komentar), No command (tak ada perintah) dan yang paling saya prihatinkan: No expression (tanpa ekspresi)! Ternyata analisa saya yang naif dan dangkal ini, dikemudian hari terbukti tidak sepenuhnya benar. Saya kira beliau memang sengaja ‘menguji’ kepribadian saya untuk mengetahui sampai dimana kesiapan fisik dan mental saya! Untuk melakukan ‘test’ semacam itu, harus saya akui dengan jujur, Pak Pardjo adalah ‘pakar’ nya.



bersambung.....



[1] Sebutan utk daerah perbukitan di Semarang. Populer dgn nama Candi. Kediaman kaum ‘elit’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar