Kamis, 31 Maret 2011

"REALISASI SEBUAH JANJI VS 'ULTIMATUM' ..."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (38)


Tak berani menagih janji

Masih ingat janji Pak Sekjen Daryono SH, kepada saya? Mari saya ingatkan.
Pada waktu saya berhasil meyakinkan Pak Pardjo untuk menyesuaikan jam kerja beliau dengan jam kerja Pegawai Depdagri, Pak Daryono berjanji akan memberi hadiah kepada saya. Entah kapan dan entah berwujud apa. Sebagai bawahan tentu tak elok kalau saya yang menagih janji. Tapi tunggu punya tunggu, sepertinya Pak Daryono bakalan lupa dengan janjinya. Harap maklum, Sekjen itu banyak sekali yang diurus. Sebagai orang ‘nomor dua’ di Departemen, segala urusan dalam maupun luar tampaknya harus lewat beliau. Jadi saya menerima nasib saja.
Judulnya: Pasrah jilid dua!
Selama beberapa bulan menjadi Ajudan Mendagri, dari mulai jadi single fighter sampai mendapat partner kerja, saya tinggal bersama Pak Menteri.  
“Nunut mukti”, (ikut mendapat berkah) hidup gratis di Kantor Perwakilan Pemda Jawa Tengah.
Dik Syaiful sih tenang-tenang saja, bahkan dia merasa “ayem tentrem gemah ripah loh jinawi” (hidup tenteram rejeki melimpah). Maklum dia masih bujangan. Jadi dalam waktu beberapa bulan saja timbangan badannya naik beberapa kilo. 
Sebaliknya saya. Saya kan sudah berkeluarga. Punya anak istri. Istilah plesetannya: “Anak sudah tiga, istri baru satu”! Jadi ya normal saja kalau saya selalu gelisah, karena anak dan istri masih saya tinggal di Semarang. Hidup berkeluarga tapi pisah domisili. Mana tahan?
Dalam waktu sebulan, paling-paling saya dapat ijin pulang ke Semarang selama 2 atau 3 hari saja. Mana cukup? Anak bungsu saya yang masih balita sampai pangling, kalau ketemu bapaknya. Karena saya jarang pulang. Untung waktu itu belum ada lagu “Bang Toyib”. Kalau sudah ada lagu dangdut itu,  pasti saya bakal disindir habis-habisan sama tetangga. 

Mencoba main-main 'ultimatum' ....
 
Setelah hampir setahun, saya betul-betul tidak tahan lagi. Saya mulai bergerilya kepada teman-teman yang sudah lama dinas di Depdagri dan sudah dapat fasilitas rumah dinas. 
Depdagri mempunyai beberapa kompleks perumahan dinas golongan III (rumah dinas yang bisa dibeli), antara lain di Cipinang, Cempaka Putih, Pondok Labu, Pondok Gede dan Pondok Kelapa. Saya mendapat beberapa informasi berharga, salah satunya dari Pak Gatot, staf Protokol yang ditugaskan ‘stand-by’ diruang Spri Menteri. Pak Gatot tinggal di Kompleks DDN Pondok Gede. Menurutnya ada beberapa rumah yang kosong, karena pemegang SIP (Surat Ijin menempati Perumahan) nya sudah meninggal dunia. Ada juga informasi beberapa kapling kosong di Komplek DDN Pondok Kelapa.
Suatu waktu ketika ada liburan sekolah, anak-anak dan istri saya menyusul ke Jakarta. Saya ajak mereka untuk melihat-lihat situasi kompleks Perumahan DDN di dua tempat, Pondok Gede dan Pondok Kelapa. Ada satu rumah kosong di Pondok Gede. Terletak di ujung gang. Tampak kumuh dan tidak terawat. Mantan penghuninya bernama Pak Ahmad, sudah lama meninggal. Dia tidak menikah, jadi rumah itu ditempati oleh saudaranya (yang samasekali tidak punya hak menempati). Di Pondok Kelapa ada beberapa kapling kosong. Tapi istri saya merasa tidak ‘sreg’ (tidak cocok).  Karena terletak dipinggir sungai besar yang bernama Kalimalang. Dia trauma dengan banjir. Lingkungannya juga masih kering kerontang. Tidak tampak ada pepohonan. Jadi saya minta pertimbangan Pak Gatot. Katanya rumah Almarhum Pak Ahmad yang di Pondok Gede termasuk yang tanahnya cukup luas, hampir dua kapling. Hanya memang rumahnya memerlukan banyak perbaikan. Sayangnya, kabarnya rumah Pak Ahmad itu sudah diminta oleh salah seorang staf Bagian Rumah Tangga DDN bernama Pak Saleh. 
Dalam kondisi tidak ada pilihan yang menguntungkan, saya menghadap Kepala Biro Umum. Pak Soeroso Hadisuryo orang Jawa yang halus tutur katanya.
“Mohon ijin pak, seperti Bapak ketahui selama ini saya masih hidup terpisah dengan anak istri saya” kata saya memulai pembicaraan.
“Ya, saya tahu. Yang sabar saja dik, siapa tahu nanti ada jalan keluarnya’ Jawab Pak Roso dengan tenang.
“Sepertinya saya sudah tahu jalan keluarnya pak. Sayangnya jalannya buntu” kata saya mencoba berkelakar. Pak Roso tertawa.
“Serius Pak. Saya harus segera memindahkan anak istri saya ke Jakarta. Ini emergency plan lho Pak”. Pak Roso tambah lebar senyumnya.
“Ah, Dik Tonny ini bisa saja”
“Betul Pak, sungguh. Bapak rak sampun dangu (sudah lama) di Jakarta, Pasti pirsa (tahu) dong situasinya”
“Maksud dk Tonny?”
“Hidup di Jakarta kan besar godaannya, kalau saya tidak tahan bagaimana? Bapak berani tanggung jawab?”
Husssykoq jadi begitu?” Pak Roso seolah terperanjat mendengar kalimat saya yang terakhir.
“Ya, karena itu saya mohon dapat dispensasi mendapat rumah dinas pak” Saya mencoba to the point. Wajah Pak Roso berubah jadi serius.
“Kalau tidak, saya bisa kawin lagi di Jakarta lho Pak. Dan Bapak yang harus bertanggung jawab melamar” jawab saya dengan wajah lebih serius lagi.
Pak Roso bengong.  Mungkin merasa kalimat saya ada benarnya.
Wah jangan begitu dong dik Tonny” kini Pak Roso benar-benar tampak bingung. Tampaknya ‘sodokan’ saya tepat mengenai sasaran.
“Habis, banyak cewek yang menggoda lho Pak, karyawati sini juga ada. Saya kan jadi bingung nih”.
Pak Roso tersenyum lebar, sepertinya ingin segera mengakhiri komplain dari saya.
“Ya sudah. Nanti saya lapor dulu ke Pak Sekjen. Biar beliau yang memutuskan”
“Tapi jangan sampai keburu saya kawin lagi lho pak” sergah saya dengan muka serius, mencoba memberi ‘ultimatum’ walaupun hanya main-main atau bercanda.
Lhooooo…ya jangan begitu tooooo….sabaaarr…” Jawab Pak Roso.

      Dapat jatah kapling “Eselon I ½”.

Alhamdulillah, saya belum “kawin lagi”, ketika dipanggil Pak Roso keruangan Kepala Biro Umum pada suatu pagi. Kurang lebih dua minggu sejak saya main-main mengeluarkan ‘ultimatum’.
“Dik Tonny, ini ada kabar baik dan kabar buruk dari Pak Sekjen” kata Pak Roso memulai pembicaraan.
Saya langsung membayangkan kabar baiknya dulu: Pasti dapat rumah dinas nih. Tapi kabar buruknya? Amit-amit jabang bayi.
“Saya mulai dari kabar buruknya dulu saja” lanjut Pak Roso.
“Ternyata sudah tidak ada lagi rumah dinas di kompleks yang bisa diberikan buat dik Tonny. Semua sudah ada penghuninya. Tahun depan kalau ada anggarannya, mungkin kita baru bisa membangun komplek perumahan baru untuk pegawai didaerah Ciledug”. Saya terkesiap. Pupus sudah harapan.
Barangkali Pak Roso melihat kekecewaan diraut muka saya. Ia tersenyum.
“Tapi kan masih ada kabar baiknya”. Pak Roso melanjutkan bicara. Tapi saya sudah hampir tak berselera lagi untuk mendengarkannya.
“Pak Sekjen masih punya persediaaan beberapa kapling jatah Eselon I di kompleks Perumahan kita di Pondok Kelapa. Lumayan lho, luasnya sekitar 300 sampai 400 meter persegi”. Mendengar kata kapling dan Pondok Kelapa, hati saya ciut. Saya sudah melihat lokasinya dengan istri saya. Dan istri saya sama sekali tidak tertarik.
“Kalau dik Tonny berminat dengan kapling itu, mungkin SIP nya bisa segera saya proses” Pak Roso menjelaskan. Saya tercenung, barangkali cukup lama. Saya ragu untuk memutuskan ya atau tidak.
Lho koq malah ngalamun”. Kata-kata Pak Roso ini mengejutkan saya.
“Terima saja dulu dik, jatah Eselon I lho. Nanti dibangun rumah kalau sudah ada rejeki. Siapa tahu Pak Sekjen juga berkenan membantu” sepertinya Pak Roso mau menghibur hati saya yang kecewa.
“Matur sembah nuwun (terima kasih) Pak. Kalau boleh dan diijinkan, saya ingin berpikir dahulu” jawab saya. Jelas dengan nada suara kecewa berat.
“Ya boleh saja, tapi jangan terlalu lama. Siapa tahu ada orang lain yang butuh kapling juga”. Kini saatnya Pak Roso yang ganti meng ’ultimatum’ saya! 
Saya keluar dari ruangan Kepala Biro Umum dengan kepala penuh pikiran.
Diruangan Spri Menteri, saya konsultasi dengan Pak Gatot.
“Mas, apa betul rumah kosong di Komplek Pondok Gede itu sudah diincar Pak Saleh? Katanya malah sudah keluar SIPnya?” Tanya saya pada Pak Gatot yang juga tinggal dikomplek Pondok Gede.
“Coba saya tanyakan  ke sub bagian perumahan dulu ya, rumah bobrok gitu, masak Pak Saleh berminat juga” jawab Pak Gatot sambil memutar nomor telepon lokal untuk menghubungi Kepala Sub Bagian Perumahan. Sesaat kemudian ia berkata: 
Wah bener mas. Tapi SIP nya baru dikonsep koq. Belum diteken Pak Sekjen”
“Mas Gatot dekat dengan Pak Saleh? Coba tolong tanya kepada beliau, mau apa tidak kalau saya tukar dengan kapling 400 meter di Pondok Kelapa?”
Lho, itu kan kapling jatah Eselon I? Memang Mas Tonny dapat juga?”
Saya hanya tersenyum.
“Tanya Pak Saleh dulu deh” jawab saya. Pak Gatot rupanya tak terlalu yakin dengan kata-kata saya.
Beberapa hari kemudian Pak Saleh (dia ternyata menjabat sebagai salah seorang Kasubag di bagian Rumah Tangga) datang menemui saya.
“Saya dengar Pak Tony butuh rumah ya?” Tanya Pak Saleh. Saya sebetulnya belum terlalu kenal dekat dengan orang Kuningan ini, dibanding dengan Pak Gatot, orang Semarang yang sudah saya kenal sejak saya masih tugas di Protokol Jawa Tengah.
“Ya begitulah Pak Saleh. Namanya juga masih belum bisa kumpul dengan anak istri di Jakarta” jawab saya.
“Saya juga dengar dari Pak Gatot, katanya Pak Tony berminat dengan rumah almarhum Pak Ahmad di Komplek Pondok Gede. Apa betul?”
“Masalahnya memang saya benar-benar sedang butuh rumah Pak. Menurut Pak Gatot hanya rumah itu yang kosong di Pondok Gede, tapi ternyata sudah lebih dulu diambil Pak Saleh ya?”
Pak Saleh tersenyum mendengar ‘sodokan langsung’ saya.
“Saya memang belum pernah dapat jatah rumah dinas  Pak Tony, tapi belum pasti juga rumah itu diberikan kepada saya. SIP nya pun sedang dalam proses”  jawab Pak Saleh.
“Bagaimana kalau saya tukar dengan kapling? Luasnya hampir 400 meter persegi” kata saya serius.
Pak Saleh tertawa. Mungkin heran atau malah tidak mempercayai kata-kata saya.
Ah yang benar, kapling dimana tuh?”
“Dikomplek Pondok Kelapa”
“Bukannya yang disana jatah untuk Eselon I?” Pak Saleh masih bertanya lagi.
“Betul. Tapi salah satunya diberikan Pak Sekjen untuk saya, saya kan Eselon I 1/2”
Semua tertawa mendengar kelakar saya. Wajah Pak Saleh tampak sedikit berbinar.
“Wah, boleh juga atuh kalau begitu, tapi omong-omong saya nombok sabaraha nih?”
Saya tertawa mendengar Pak Saleh mulai keluar asli sundanya.
“Yang penting  teh Pak Saleh setuju. Terserah mau nombok sabaraha wae” saya coba ikut-ikut jadi orang Sunda.
“Beres atuh, biar saya urus nanti sadayana” katanya sambil menjabat tangan saya.
Singkat cerita akhirnya terjadi juga “barter” itu.
Saya mendapat SIP rumah di Komplek Perumahan Depdagri Blok B nomor 70 Pondok Gede. Kalau nomornya disingkat jadi B-70.
Kata orang Jawa B-70 bisa dibaca “BEJO” (untung). Insya Allah, rumah itu akan membawa keberuntungan bagi saya sekeluarga. Amin.
Tahu apa yang dipakai Pak Saleh untuk “tukar tambah” rumah itu dengan kapling?
Saya mendapat kompensasi satu buah jam tangan merk “Rolex” asli ditambah uang tunai lima ratus ribu rupiah. Nilai yang cukup besar untuk ukuran tahun 1984.  



bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar