Selasa, 29 Maret 2011

"CONTOH DISIPLIN SEORANG GUBERNUR"


      (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (9)

 
Aula Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), 
Jl. Imam Bonjol Semarang,  September 1976.
Saya bertugas sebagai pembawa acara pada pembukaan rapat kerja Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Tengah yang dibuka oleh Bapak Gubernur Soepardjo Roestam sendiri.
Pada waktu beliau sudah berada dimimbar untuk menyampaikan amanat, wajah beliau tampak  merah padam menahan marah.
“Protokol!”, beliau membentak kearah tempat duduk saya. Dengan segera saya berdiri mengambil sikap sempurna.
“Siapa itu yang masih keluyuran dibelakang? Tutup saja pintunya! Yang terlambat datang suruh pulang saja”. Sambung Pak Pardjo dengan suara menggelegar.
Tanpa menunggu lagi saya lari menutup pintu-pintu sambil berusaha memberi penjelasan kepada yang datang terlambat untuk menunggu diluar saja. Saya lihat Pak Gubernur masih memerhatikan gerak gerik saya dari atas mimbar. Beliau baru memulai amanatnya setelah semua pintu tertutup dan saya kembali ketempat duduk.
Sepanjang acara saya melihat bahwa Pak Gub tampak sangat kesal pada para tamu undangan yang datang tidak tepat waktu.
Pada waktu acara selesai dan beliau akan memasuki mobil dinas, saya digamit untuk mendekati beliau. Tampak beliau masih geram.
“Lain kali kalau saya sudah masuk ruangan, tutup saja semua pintunya, biar yang terlambat pada pulang saja. Trondolo!”, beliau mengucapkan kalimat tersebut dengan cukup keras sehingga saya kira para pejabat yang mengantar beliau ikut mendengar pesan tersebut.
    Selalu tepat waktu, itulah kesan saya yang lain mengenai Pak Gub. Dari Pak Sutrisno (ajudan Gubernur) saya mendengar bahwa beliau selalu bangun subuh dan sesudah sholat langsung masuk keruang kerja untuk membaca koran yang terbit pagi.
Kalau ada hal yang perlu beliau bicarakan untuk menanggapi berita dikoran, beliau langsung memerintahkan untuk menelpon para pejabat yang terkait (dari seorang Kepala Bagian sampai Bupati). Walaupun jam belum menunjukkan pukul 06.00 pagi!
Saya berkesimpulan bahwa pasti para pejabat dilingkungan Pemda Provinsi Jawa Tengah mau tidak mau harus mengikuti “irama bangun pagi” ini. Siapa tahu Pak Gub tiba-tiba menelepon?
(Kelak pada waktu saya telah pindah ke Jakarta karena ditugaskan mengikuti Pak Pardjo yang dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Menteri Dalam Negeri -dalam kabinet Pembangunan IV– saya mendengar seloroh Pak Wahyudi : “Wah Dik Tonny, saya sekarang bisa nyenyak tidur dan tidak perlu bangun pagi lagi lho!”).
    Tentang kebiasaan menelepon ini, Pak Pardjo memang seorang yang sangat gampang dan tidak terikat hirarki. Jika beliau menghendaki suatu laporan secara tuntas, biasanya beliau akan mengecek langsung kepada yang bertanggung jawab. Walaupun secara hirarki pemerintahan orang tersebut jauh dibawah beliau. Tapi mungkin karena keinginan beliau mendapatkan data dari “orang pertama” maka beliau menerapkan “jurus telpon langsung” yang ternyata memang amat ampuh untuk situasi dan kondisi Jawa Tengah pada masa itu.
Dalam rapat dinas yang beliau pimpin, selalu beliau tekankan bahwa pada saat ini jaman telah berkembang maju secara pesat. Teknologi semakin canggih, demikian pula teknologi komunikasi.
Jadi para pejabat di Jawa Tengah tidak perlu ragu-ragu angkat telpon untuk saling berkomunikasi. Bahkan ditekankan pula bahwa beliau akan dengan senang hati menerima telpon dari siapa saja apalagi para pejabat bawahannya.
“Kalau saudara-saudara yang berada didaerah yang jauh dari sini harus setiap saat datang hanya untuk bertemu saya guna melaporkan keadaan daerahnya, itu sama sekali tidak praktis. Bahkan juga tidak ekonomis. Menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Kenapa saudara tidak angkat telpon saja? Saya siap menerima telpon dari saudara-saudara. Tidak usah ragu-ragu. Itu gunanya saudara punya telpon!”.  
Begitulah berkali-kali beliau menegaskan himbauannya.
    Gaya kepemimpinan Pak Pardjo memang lain daripada yang lain. Dibalik raut mukanya yang tampak keras dan tegas, tersembunyi hati yang lembut penuh kebapakan. Sifatnya yang demokratis dan sikapnya yang persuasif dalam memecahkan masalah sangat menonjol. Beliau selalu memilih memecahkan persoalan yang “crucial” (gawat) dengan cara yang tidak membuat sakit hati pihak lain. Walaupun pihak lain itu adalah bawahannya. Dan terhadap para bawahannya, beliau bersifat sangat “concern (memerhatikan karena merasa ikut terlibat). Pak Pardjo juga terkenal dengan toleransinya yang sangat tinggi. Akan tetapi jangan sampai membuat kesalahan yang sama terhadap beliau. Untuk hal yang satu ini (mengulangi kesalahan yang sama) maka Pak Pardjo tidak ada ampun. Tapi secara keseluruhan, sebenarnya beliau adalah seorang pimpinan yang sangat mengerti, sangat arif dan sangat persuasif.


bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar