Kamis, 31 Maret 2011

"DEPDAGRI, GUDANG 'TEMAN BARU TAPI LAMA'..."




(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (36)


       Beretemu dengan teman-teman lama

    Departemen Dalam Negeri memang kantor yang baru saya kenal, tapi tidak demikian dengan beberapa Pejabat dan karyawannya. Sejak masih menjadi Staf Protokol di Pemda Jawa Tengah, saya sudah mengenal dengan baik beberapa Pejabat Depdagri yang sering berkunjung (dalam rangka dinas) ke Pemda Jawa Tengah. Saya juga berteman baik dengan beberapa rekan dari Bagian Protokol Depdagri yang sering bertugas ke Jawa Tengah menyertai kunjungan Mendagri Amir Machmud.   
Apalagi saya juga sering berkunjung ke Kantor Depdagri pada saat saya harus mengikuti Pak Pardjo menghadiri Raker Gubernur di Jakarta. Sebagai 'Pandu kalung kacu', saya memang punya kecenderungan cepat akrab dengan orang lain. Sifat yang selayaknya dipunyai oleh seorang petugas Protokol dan Ajudan. Jadi ketika akhirnya saya masuk sebagai karyawan ‘wajah baru’ di Kantor Depdagri, saya menemukan beberapa teman ‘baru’ yang -sebetulnya- sudah lama saya kenal. Beberapa diantaranya malah sudah sangat akrab. Oleh sebab itu saya merasa tidak asing lagi meski harus bekerja di kantor yang sama sekali baru buat saya ini. Bayangkan dari pegawai tingkat regional, sekarang saya jadi pegawai tingkat nasional!
     Pak Pardjo adalah mantan Diplomat senior. Beliau sangat memerhatikan dan bahkan  sangat menguasai aturan Protokoler. Semenjak beliau menjabat Menteri Dalam Negeri, maka beliau langsung memberikan petunjuk kepada Kepala Sub Bagian Protokol untuk membuat acara harian Menteri Dalam Negeri selama seminggu kedepan.(dalam Struktur Organisasi Depdagri saat itu, Protokol  masih berada dibawah Biro Humas dan hanya merupakan Sub Bagian, setingkat eselon IV). 
Ini merupakan sebuah pekerjaan baru bagi Protokol Depdagri, tetapi bukan sesuatu yang asing lagi bagi saya, karena saya dulu -sejak masih jadi Staf Protokol Gubernur- juga sudah biasa membuat “Atur Cara Gubernur”. Jadi mau tak mau saya harus menularkan ‘ilmu’ tentang cara membuat “Atur Cara” itu kepada staf Protokol Depdagri.

(Pak Pardjo memang memiliki beberapa istilah yang ‘khas’, terutama untuk kata ‘acara’ yang beliau ganti menjadi ‘atur cara’. Ada sebuah kata lagi, yaitu ‘hening cipta’ untuk menggantikan kata ‘mengheningkan cipta’ yang biasa dilakukan dalam upacara bendera. Saya tidak tahu persis apa alasan beliau mengganti dua buah kata itu dan juga tidak tahu apakah kata ‘atur cara’ ada dalam kosakata Bahasa Indonesia).
 
Yang pasti sejak saat itu semua acara Mendagri harus dibuat dan dikonfirmasi oleh Protokol. Sebuah tugas yang merupakan ‘hal baru’ bagi Protokol Depdagri waktu itu, karena Mendagri Amir Machmud dulu tidak terlalu memberdayakan Protokol sebagaimana Mendagri Soepardjo Roestam. Oleh sebab itu Kasubag Protokol terpaksa harus menugaskan seorang stafnya untuk selalu stand by  diruang Staf Pribadi Mendagri. 
Ruang Staf Pribadi ini hanya berisi 3 meja kerja, satu meja untuk Sekpri Mendagri (untuk sementara dijabat oleh Pak Supriyo, mantan Sekpri Pak Amir Machmud), satu untuk Ajudan (saya sendiri) dan satu meja lagi untuk staf TU Menteri yang mengurus administrasi surat keluar masuk untuk Mendagri. Dengan hadirnya staf Protokol, maka harus dimasukkan sebuah meja kerja baru.
    Sewaktu Pak Pardjo masuk sebagai orang nomor satu di Depdagri, Kasubag Protokol dijabat oleh Pak Heru Harsoyo, seorang pria berperawakan kecil tapi gesit dan supel. Saya sudah lama mengenal beliau -sejak saya masih tugas di Protokol Jateng-, jadi tak ada masalah ketika harus bekerja dalam sebuah ‘team work’ baru dengannya. Salah seorang staf Protokol yang ditugaskan untuk stand by diruang Spri, (juga kemudian jadi sangat akrab dengan saya) adalah Mas Gatot Suharto. Pria asli Jawa Tengah ini berbadan gempal dan berwajah mirip Pak Bustanil Arifin (mantan Ka Bulog), terutama karena -maaf- kepalanya yang MBA (Makin Botak Aja). Disamping supel, dia juga terkenal pandai melawak. Dengan kehadirannya, ruangan Spri yang tadinya terkesan ‘angker’ jadi cair. Setiap hari ada-ada saja bahan gurauan yang dilontarkannya. 
Entah punya ‘ilmu’ apa dia, Pak Pardjo kelihatan sangat sayang sekali padanya. Mas Gatot ini pula yang nantinya jadi sahabat saya -selain beberapa orang yang lain-, yang sangat setia sampai akhir hayatnya kelak.
Seperti yang sudah saya tuliskan, saya telah menjalin pertemanan dengan rekan-rekan sesama Ajudan -dari Ajudan Bupati, Gubernur sampai Ajudan Menteri dan Pejabat Tinggi Pusat lain- sejak masih jadi Ajudan Gubernur dulu. Jadi ketika bertugas sebagai Ajudan Mendagri di Jakarta, saya tidak menjumpai kesulitan untuk masuk ‘Ring 2’, yang berarti masuk kedalam kawasan lingkaran kerja para Menteri dan Pejabat Tinggi setingkat Menteri  di Kabinet Pembangunan IV.
Sewaktu jadi Presiden, Pak Harto selalu konsisten mengatur waktu. Hari Senin pertama setiap bulan dipakai untuk Sidang Kabinet Terbatas, hari Rabu dipakai untuk Sidang Kabinet lengkap. Sedangkan untuk menerima Surat Kepercayaan para Duta Besar Negara Sahabat biasanya dilakukan pada hari Jum’at. Jadi paling kurang dua kali dalam sebulan ada Sidang Kabinet di Bina Graha, dimana kalau para Anggota Kabinet berkumpul, otomatis para Anggota A-ngkat D-junjung C-lub (olok-olok untuk ADC/Ajudan) juga berkumpul. Suasananya selalu regeng dan gayeng (meriah dan hangat).  
Waktu itu Kepala Rumah Tangga Istana (Pak Sampurno, SH) berkenan menyediakan tempat khusus untuk para Ajudan diluar ruangan Sidang Kabinet yang terletak dilantai dua gedung Bina Graha. Kalau ‘angin’ sedang bagus, untuk para ‘Ajudan Kabinet’ ini juga disediakan minuman dan snack secukupnya. Tapi sering kali juga tidak tersedia apapun. Entah ‘angin’ sedang buruk, atau anggaran Rumah Tangga Istana sedang mepet. Jadi untuk mengisi waktu dan mengisi perut, para Ajudan berebut menyerbu kantin dibelakang Bina Graha yang makanan dan (terutama) tahu gorengnya terkenal mak nyuuus. Harap maklum, meskipun kantin itu terletak di (belakang) Bina Graha yang Kantor seorang Presiden, tetapi ukurannya tidak lebih dari 4 x 4 meter saja. Nyelempit (terselip) dan sumpek. 
Sekalipun ruangannya termasuk sangat sederhana, namun karena makanannya cukup lumayan dan ringan dikantong, maka pengunjungnya bejibun (banyak sekali). Apalagi kalau pas jam makan siang. Harus antri sampai berebut dengan karyawan Sekretariat Negara yang juga jadi langganan kantin ini. Disinilah justru kekompakan para Ajudan terjalin. Bercengkerama, makan bersama sambil bercanda. Salah seorang Ajudan yang hari itu sedang banyak rejeki yang -biasanya- mentraktir rekan-rekannya. Seingat saya yang paling sering mbayari adalah Ajudan Menko Ekuin. Mungkin karena pada dasarnya beliau memang royal (murah hati), ditambah lingkungan kerja yang -barangkali- basah kuyup (kantor pusat ekonomi, keuangan dan industri jee), jadi tenang-tenang dan senang-senang saja setiap kali jadi bandar. 
Konon karena keakraban dan kekompakan para Ajudan ini, maka sejak Kabinet Pembangunan IV dilantik, terbentuklah Perkumpulan Para Ajudan  yang disepakati jadi forum kekeluargaan antar Ajudan. Saya tidak tahu apakah Perkumpulan itu masih ada sekarang.
    Disamping bergaul dan berteman akrab dengan sesama Ajudan Menteri, saya juga berkawan baik dengan para Ajudan Gubernur dan Bupati se Indonesia. Persahabatan itu sudah terjalin sejak saya jadi Ajudan Gubernur Jawa Tengah. Jadi ketika saya kemudian ada di “Pusat” alias jadi Ajudan Mendagri, saya tinggal menjalin lebih erat lagi tali silaturahimnya. Yang membuat saya agak tidak enak hati adalah, sikap beberapa teman -walaupun hanya bercanda- yang lalu memanggil saya dengan sebutan bos. Alasannya karena secara hirarki Gubernur adalah bawahan Mendagri, maka otomatis Ajudan Gubernur juga (harus) jadi ‘bawahan’ Ajudan Mendagri.
Ada-ada saja, ini pasti salah satu bagian dari ilmu ‘kelirumologi’. He he he.

(Saya akui memang ada yang unik dengan kisah persahabatan saya dengan para Ajudan Gubernur ini. Secara kebetulan sejak masih jadi Ajudan Gubernur saya secara pribadi berteman baik dengan Ajudan Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi (Mas Bambang Budiharto) dan Ajudan Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas (Pak Syafrijal). Bisa dikatakan saya dan kedua orang ajudan itu  adalah kolega yang setingkat -horisontal-. Sewaktu saya jadi Ajudan Menteri, mereka menganggap saya (seolah-olah) sebagai teman atau kolega yang naik setingkat -berada- diatas, dari hubungan horisontal berubah jadi vertikal. Tapi kelak kemudian hari (dalam Kabinet Pembangunan V), Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas dipromosikan oleh Presiden menjadi Menteri Perhubungan. Pak Pardjo naik jadi Menko Kesra. Maka hubungan saya dengan Ajudan Pak Azwar (kini -tahun 2009- Pak Syafrijal menjabat Bupati Solok Selatan), seolah-olah jadi setingkat -horisontal- lagi. Sementara itu Gubernur Jawa Barat (Yogi S.M) dilantik jadi Mendagri pada Kabinet Pembangunan VI, dan Pak Azwar juga naik jadi Menko Kesra menggantikan Pak Pardjo yang pensiun. Maka saya  juga ikut lengser, kembali jadi ‘pegawai biasa’ di Depdagri. Tapi hubungan saya dengan Mas Bambang, Ajudan Pak Aang yang kemudian juga jadi Ajudan Pak Yogi (kemudian jadi Sekpri Mendagri), dan Pak Syaf, Ajudan Pak Azwar,  tetap terjaga dengan baik, hanya saja sekarang saya (seolah-olah) jadi setingkat dibawah mereka berdua -vertikal-. Kalau boleh digambar dengan grafik,  hubungan pertemanan kita jadi seperti ini: Horisontal-Vertikal-Horisontal- dan Vertikal lagi.
Saya pikir itulah sejatinya kehidupan dialam fana. Orang Jawa percaya pada adanya ‘Cakra manggilingan’ , roda kehidupan yang terus berputar. Terkadang seseorang berada diatas dan suatu waktu bisa berada dibawah. Begitu seterusnya. Tapi sejak awal bekerja saya sudah belajar untuk ‘committed’. Apapun yang saya kerjakan Lillahi Ta’ala -semuanya karena Allah- Jadi apapun yang terjadi, saya ikhlas. Semuanya saya pasrahkan kepada Sang Penentu Kehidupan, Allah SWT).  



bersambung.....


3 komentar:

  1. Alhamdulillah saya sangat merasa senang dan lega dengan telah membaca tulisan ini. terus terang Saya tadinya gamang dan terheran-heran karena telah menerima pin ADC yang menurut saya sangat luar biasa. maka saya mencari referensi apa itu ADC dan bagaimana, karena saya harus tahu asal-usul pin dan bagaimana penggunaannya.
    terimakasih.

    BalasHapus
  2. Salam jabat erat hingga akhir hayat.

    BalasHapus
  3. Ijin pak..sekedar menyampaikan paguyuban ajudan menteri (Narasraya) sampai saat ini masih ada. Saya sendiri adalah ajudan menpora. Terima kasih atas cacatannya, banyak pelajaran yg bisa kami ambil.

    BalasHapus