Kamis, 31 Maret 2011

"KUNJUNGAN KERJA YANG 'MAKAN' KORBAN"




(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (41)

      by mastonie on Thursday, may 27, 2010



      Kunjungan ke Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

    Panas terasa menyengat di siang bolong itu. Hari ini adalah kunjungan kerja atau perjalanan dinas Menteri Dalam Negeri kebeberapa daerah di Indonesia bagian timur. Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan  tujuan terakhir dari lawatan Mendagri dan Ibu Soepardjo Roestam beserta rombongan. Kunjungan dilakukan setelah lawatan ke Provinsi Maluku dan Irian Jaya. Gubernur Sulawesi Tenggara (pada waktu itu dijabat oleh Ir. Alala) mengundang Mendagri untuk meresmikan beberapa proyek pembangunan daerah. Salah satunya adalah Peresmian Rumah Dinas Gubernur Sulawesi Tenggara yang baru selesai dibangun. Rumah Dinas Gubernur yang besar dan megah ini terletak disebuah bukit.
    Pesawat C-130 Hercules khusus VIP milik TNI AU (yang selalu dipinjamkan oleh KSAU atas permintaan khusus Mendagri), mendarat dengan mulus di Bandara Kendari. Tanpa diduga (karena tidak termasuk dalam jadwal yang sudah diacarakan) Gubernur Alala ternyata langsung mengajak Mendagri untuk melakukan kunjungan ‘on the spot’ dari udara kesuatu daerah perkebunan kapas dengan menggunakan pesawat helikopter. Meskipun agak terkejut, Pak Pardjo tidak dapat menolak ajakan Pak Gubernur. Karena BO 105 adalah helikopter kecil, dan akan diisi penumpang “VVIP”, maka Pak Gubernur memutuskan hanya 2 orang saja yang dapat masuk kedalam heli. Jadi praktis hanya Mendagri dan Gubernur saja yang masuk. 
Rombongan lainnya dipisah menjadi 2 bagian. Ibu-ibu mengikuti rombongan Ibu Soepardjo, sedang sebagian yang lain (rombongan Bapak-bapak ternasuk saya) masuk kedalam rombongan tersendiri yang diangkut dengan beberapa bus. Rombongan Ibu Soepardjo dengan didampingi Ibu Alala langsung mengadakan kunjungan ketempat yang telah ditentukan, sedangkan rombongan bapak-bapak diarahkan menuju ke sebuah lapangan sepakbola ditengah kota.
Dilapangan inilah nanti heli yang ditumpangi Mendagri akan mendarat setelah kunjungan on the spot dari udara selesai. Pada waktu menaiki helikopter, Pak Pardjo masuk dari pintu sebelah kiri dimana ada sepasang petugas ‘jajar kehormatan’: 2 orang personil Polisi Militer (PM) yang masih muda, gagah dan bertubuh tinggi. Pak Gubernur Alala masuk dari pintu sebelah kanan.
Detil cerita secara terperinci tentang Pak Pardjo masuk kedalam heli ini saya kisahkan, karena gara-gara ‘masuk dan keluar dari pintu heli’ inilah nantinya sebuah ceritera tragis akan terjadi.

      Gugurnya seorang Prajurit Jajar Kehormatan.

    Sepanjang perjalanan bermobil menuju lapangan sepakbola (dimana tersedia helipad), hati saya merasa gundah. Saya merasa ‘tak berdaya’ karena dipaksa oleh keadaan -yaitu keterbatasan seat dalam heli yang diatur oleh Pak Gubernur-.  Sehingga kali ini saya tidak dapat mendampingi Pak Pardjo melakukan kunjungan lewat udara. Ini memang diluar kebiasaan. Biasanya meskipun menggunakan BO 105, saya masih diijinkan untuk ikut naik. Karena BO 105 sebetulnya  mempunyai kapasitas maksimal 5 orang (termasuk pilot dan copilot).
Setelah menunggu sekitar setengah jam di helipad, dari jauh terdengar sayup suara gemuruh heli yang akan segera mendarat. Beberapa petugas Protokol termasuk 2 orang petugas Jajar Kehormatan dari Polisi Militer tadi segera merapat ke tanda H besar berwarna kuning (tanda untuk tempat pendaratan heli) yang terletak ditanah. Saya juga ikut mendekat dan berdiri tepat dibelakang 2 orang petugas Jajar Kehormatan dari POM itu. Mereka berdua berdiri tegap menghadap kearah pintu sebelah kiri dimana Mendagri diperkirakan akan turun dari heli tersebut. 
Angin bertiup sangat kencang akibat putaran baling-baling helikopter. Saya berdiri sambil menutup muka dengan saputangan karena debu beterbangan. Ketika kaki-kaki heli (BO 105 tidak mempunyai roda) sudah menapak tanah, terlihat bahwa ternyata Mendagri telah berpindah tempat kesebelah kanan, dan dengan demikian beliau akan turun melalui pintu sebelah kanan helikopter. Melihat hal itu Danplek (Komandan Komplek, perwira militer yang bertanggung jawab atas keamanan kunjungan Pejabat Tinggi Negara disuatu tempat) langsung memberikan perintah kepada 2 orang petugas Jajar Kehormatan untuk berpindah tempat kesebelah kanan heli. Dengan cepat perintah itu dilaksanakan. 
Disinilah malapetaka bermula. Seorang petugas (yang ada dikiri saya) langsung berlari melewati ‘moncong’ heli untuk menyeberang kesebelah kanan. Sedang petugas yang satu lagi (ada disebelah kanan saya) tanpa berpikir panjang langsung bergerak lari menyeberang melewati ekor heli yang pada saat itu mesinnya belum dimatikan. Menyadari bahaya yang bisa menimpa petugas itu, saya langsung berteriak untuk mengingatkan. Tapi rupanya terlambat. Teriakan “Eeeee…….” saya belum habis separuh ketika terdengar sebuah bunyi lain yang sangat keras: “Plethaaak!!!!”
Dari jarak kurang dari 2 meter dihadapan saya, petugas Jajar Kehormatan yang tinggi gagah itu tampak terduduk (seperti orang bersujud), tangan kirinya bertelekan ketanah. Yang membuat saya terkesiap adalah kepalanya yang tertutup helm baja berwarna putih itu telah terbelah menjadi entah berapa bagian! Rupanya kepalanya yang memakai helm putih itu tersambar baling-baling yang terletak diekor helikopter. Beberapa detik kemudian tubuh yang malang itu tersungkur jatuh menelungkup. Teriakan histeris terdengar dibeberapa tempat. Saya sendiri hanya bisa berdiri gemetaran menyaksikan tragedi yang terjadi tepat didepan mata kepala saya sendiri dan berlangsung sangat cepat itu. Tak terasa ada serpihan dan cairan yang menempel dilengan, muka dan rambut saya. Dalam suasana gaduh itu, petugas protokol Pemda langsung mengarahkan Mendagri dan Gubernur untuk memasuki mobil yang telah dipersiapkan. Mau tidak mau saya juga langsung menempatkan diri di ‘front seat’ (kursi depan disamping pengemudi). Tubuh saya masih gemetar. Apalagi menyadari bahwa serpihan yang menempel dilengan dan muka saya ternyata adalah cairan berwarna merah dan serpihan kecil kecil berwarna putih. 
Namun seperti tak terjadi apa-apa, Pak Alala malah mengajak Pak Pardjo berbicara masalah kunjungan lewat udara tadi. Saya pikir beliau mungkin berusaha mengalihkan perhatian. Atau memang tidak mengetahui kejadian tragis tadi?  Dengan suara masih terbata-bata saya beranikan diri untuk melapor kepada Mendagri. Saya berpendapat bahwa Pak Pardjo harus langsung mengetahui terjadinya peristiwa tragis itu, karena korbannya adalah prajurit yang ditugaskan untuk memberikan penghormatan bagi beliau. Saya melihat wajah Pak Alala (yang duduk disamping Mendagri) merah padam. Mungkin beliau tak berkenan saya melapor langsung. Tapi saya mempunyai alasan yang kuat. Saya adalah saksi mata terdekat dari peristiwa itu. Bahkan Danplek-pun (Perwira yang bertanggung jawab atas 2 personil POM tadi dan nantinya secara resmi harus melaporkan peristiwa naas itu) berada lebih jauh dibanding dengan keberadaan saya pada saat peristiwa terjadi. Buktinya adalah serpihan yang melekat ditubuh saya.  
Air muka Pak Pardjo terlihat sangat muram. Beliau langsung memerintahkan untuk mencari alamat Prajurit Polisi Militer yang menjadi korban dan memutuskan untuk datang melayat kerumah duka setelah acara-acara resmi selesai.


      Pintu kaca pecah dan korban tertabrak mobil rombongan.

    Peristiwa naas tersebut rupanya tidak berhenti cukup disitu. Pada saat Upacara Peresmian Penggunaan Rumah Dinas Gubernur Sultra, ternyata  juga diwarnai kejadian ‘ruaaaar biasa’. Sesaat setelah rangkaian acara peresmian berakhir, maka diadakanlah peninjauan keliling Rumah Dinas yang besar dan megah itu. Pada saat berada dilantai dua,  Pak Pardjo dimohon untuk berkenan membuka pintu rumah. Pintu itu berupa dua buah daun pintu kaca yang sangat besar. Pada waktu dua pintu kaca itu telah terbuka keluar, mendadak bertiup angin sangat kencang yang mengakibatkan dua daun pintu itu menutup kembali dan menimbulkan suara sangat keras yang disusul suara gemerincing. Brraaaak . . . praaaaang!!!. 
Rupanya kedua buah pintu kaca yang sangat besar itu (karena tertiup angin sehingga menutup lagi dengan sangat keras) menjadi  pecah berantakan kacanya! Beruntung serpihan kaca yang melesat kemana-mana itu tidak mengenai Pak Pardjo dan Pak Gubernur yang berdiri paling dekat dari pintu. Bahkan tidak mengenai seorangpun yang sedang mengikuti acara yang khidmat itu. Semua yang menyaksikan peristiwa itu tampak kaget dan tercekam. Pak Gubernur Alala dengan cepat memersilakan Mendagri beserta Ibu Soepardjo untuk segera berlalu meninggalkan tempat itu. Sekali lagi saya lihat wajah Pak Alala merah padam. Kali ini entah karena marah entah karena memendam perasaan malu.
 Pada waktu diadakan jamuan makan siang setelah selesai peninjauan tadi, beberapa teman memperingatkan saya karena melihat adanya banyak serpihan berwarna putih dirambut saya. Secara refleks tangan saya meraba rambut dan melihat serpihan kecil berwarna putih yang lengket dan berbau anyir. Saya tersentak. Tidak salah lagi. Ini pasti adalah serpihan (maaf) benak/otak dan darah dari Prajurit Polisi Militer yang terkena musibah tadi. Saya merasa mual tiba-tiba. Hilang sudah nafsu makan saya. Saya segera berlari masuk kekamar yang disediakan dan langsung menuju kamar mandi untuk keramas dan membersihkan seluruh tubuh. Entah bagaimana rasa laparpun mendadak lenyap seketika. Walaupun Pak Bambang Irawan (rekan sekamar), yang tahu saya belum makan siang berbaik hati membawakan buah-buahan kedalam kamar, tapi saya sudah terlanjur “ilfil” kehilangan selera makan.

    Dua peristiwa itu menjadi bahan pembicaraan hangat diantara anggota rombongan. Seorang rekan dari bagian Humas yang mengikuti rombongan Ibu Soepardjo malah menambahkan cerita seram lainnya. Ketika rombongan Ibu Soepardjo kembali dari peninjauan untuk bergabung dengan Rombongan Mendagri  di Rumah Dinas Gubernur, sebuah mobil yang ditumpangi Humas Provinsi tertinggal dari rombongan dan terpaksa ‘ngebut’ untuk mengejar rombongan inti. Karena ‘ngebut’, mobil itu menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan hingga tewas seketika. Dua nyawa hilang dalam satu hari. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Ini jelas bukan peristiwa biasa dan bukan cuma kebetulan. Lalu mengapa dan kenapa? 

     Misteri Rumah Dinas yang ‘gemetaran’.

    Salah seorang staf Pemda akhirnya membocorkan sebuah cerita yang sedikit berbau mistik. Konon pada waktu diadakan upacara selamatan sehubungan dengan telah selesainya pembangunan Rumah Dinas Gubernur, terjadi hal yang juga ‘tidak biasa’. Selamatan (yang diadakan beberapa hari sebelum Upacara Peresmian) diselenggarakan sesudah magrib dan bertempat di ruang jamuan makan di Rumah Dinas yang masih baru ‘gres’ itu. Sesaat setelah pembacaan doa berakhir tiba-tiba terjadi getaran yang cukup keras. Getaran itu terjadi diseluruh bangunan gedung dan berlangsung cukup lama. Konon semua lampu gantung yang ada dalam ruangan bergoyangan. Semula dikira terjadi gempa bumi. Tapi ternyata orang-orang yang berada diluar gedung tidak merasakan adanya getaran. Mereka hanya mendengar suara gemuruh dan menyaksikan bangunan Rumah Dinas diatas bukit itu seperti ‘gemetaran’. Semua yang menyaksikan ‘fenomena aneh’ itu merasa terheran-heran. Apakah itu benar gempa bumi? Tapi mengapa terjadi hanya di satu lokasi? Sedangkan lokasi lain yang berdekatan tidak terjadi apa-apa? Wallahu ‘alam bisawwab. 
 
    Seperti biasa kalau Mendagri bermalam disuatu tempat, maka tuan rumah selalu akan mengadakan jamuan makan malam. Biasanya diteruskan dengan acara malam ramah tamah atau pergelaran kesenian daerah. Demikian pula di Kendari. Saya secara khusus mendapat hadiah dari Pak Gubernur Alala sebuah kemeja tenun ikat khas Sulawesi berwarna merah menyala. Pesannya jelas dan tegas. Harus dipakai pada jamuan makan malam pada hari itu. Pada malam hari itu memang diselenggarakan jamuan makan malam serta pergelaran kesenian daerah yang sangat meriah. Bermacam makanan khas daerah dihidangkan. Termasuk ikan cakalang atau tuna yang menjadi andalan ekspor Sulawesi Tenggara dan udang lobster yang dimasak begitu lezat. Pada saat pentas kesenian akan dimulai, saya mendengar kabar ‘bisik-bisik’ yang tak kalah seru. Ada korban ketiga! Astagfirullah. Seorang Kepala Dinas yang juga mendapat undangan untuk hadir pada jamuan makan malam itu mendapat musibah. Ia mengalami kecelakaan lalu lintas. Sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan dengan mobil yang lalu kabur tanpa sempat dikenali identitas mobil maupun pengemudinya.
Saya dan beberapa teman anggota rombongan dari Jakarta tercenung. Baru sekali ini kita mengikuti kunjungan Mendagri kesuatu daerah yang ‘memakan’ begitu banyak korban. Sedihnya, jatuhnya korban itu berkaitan langsung dengan acara kunjungan Mendagri. Sebagai orang yang takwa kepada kebesaran Allah SWT, saya yakin bahwa hidup dan mati seseorang tetap menjadi rahasia Allah Sang Maha Pencipta. Hanya caranya yang kadang membuat kita terpana.

     Ternyata masih ada korban lagi.

    Saya dan rekan-rekan anggota rombongan bersepakat untuk ‘menutup’ dulu kisah tentang korban yang ‘berjatuhan’. Kita tidak ingin Pak Menteri mengetahui korban lain selain Prajurit anggota Jajar kehormatan dari Polisi Militer.  Untuk korban yang satu ini, Pak Pardjo telah meluangkan waktu datang melayat kerumah duka dan memberikan santunan atas nama beliau pribadi. 
    Tapi ceritanya jadi lain sewaktu kita akan bertolak meninggalkan Kendari. Pada saat rombongan memasuki pesawat Hercules yang siap lepas landas menuju Jakarta, ternyata ada tambahan penumpang yang masuk ke pesawat dengan memakai kursi roda. Saya bertanya-tanya dalam hati. Siapa pula gerangan penumpang ini? Saya menemukan penumpang ‘ekstra’ ini duduk dideretan kursi paling akhir dipesawat. Dia adalah salah seorang pilot helikopter BO 105 yang membawa Mendagri melakukan peninjauan dari udara. Tapi kenapa pula ia harus duduk dikursi roda? Ternyata ketika baling-baling ekor heli menghajar helm baja sang Prajurit, serpihan bajanya (entah dari pecahan helm atau dari pecahan baling-baling itu sendiri), melesat dan ganti ‘menghajar’ kaki sang pilot heli! Pada saat itu memang pilot yang naas itu sedang turun dari pintu kokpit heli. Serpihan baja itu menyebabkan luka yang cukup parah dikakinya. RS Daerah Kendari merekomendasikan untuk tindakan operasi di RS di Jakarta yang peralatannya lebih modern dan lengkap. Karena berada dalam satu pesawat, mau tak mau akhirnya Pak Pardjo mengetahui juga keberadaan sang penumpang ‘ekstra’ itu. Apalagi penumpang ‘ekstra’ itu ternyata adalah korban ‘ekstra’ pula!
    Sampai sekarang saya masih tidak mengerti adanya “misteri” dibalik Peresmian      Rumah Dinas Gubernur Sulawesi Tenggara yang menelan begitu banyak korban. 
Tapi pengalaman buruk itu menjadi kenangan yang tak akan terlupakan sepanjang sisa hidup saya.



bersambung.....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar