Rabu, 30 Maret 2011

"SAYA JADI SALAH SATU SAKSI (HIDUP)"


      
 (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (21)


 
Pasangan harmonis "Mas Pardjo & Dien" dan saputangan ‘ menyembul’ disaku kiri.

Harus saya akui bahwa selama menjalankan tugas menjadi Ajudan Pak Pardjo -dalam hal ini melayani beliau baik dalam dinas maupun diluar dinas- saya merasa perlu melakukan ‘improvisasi’ antara nalar dan naluri. Menurut saya ada beberapa hal dari sikap beliau yang mesti saya terjemahkan dengan ‘kata hati’. Ini adalah sebuah ‘interpretasi’ saya pribadi yang berasal dari kata-kata Pak Pardjo sendiri, yang selalu menyatakan bahwa sebaiknya kita ini  bisa rumangsa”, bukan “rumangsa bisa”. Maka apa yang saya terapkan dalam bertugas -dengan melibatkan pula naluri, tidak semata rasio- agaknya cukup memadai dalam melayani beliau. Walau dalam beberapa hal -terdorong ‘darah muda’- terkadang saya masih juga bertindak “keladhuk wani kurang deduga”[1]. Oleh karena itu saya selalu berusaha untuk memakai acuan kinerja saya yang telah lalu sebagai cermin untuk mawas diri. Juga untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan yang selalu ada dalam diri setiap manusia. Menurut pengalaman saya selama ini, ternyata bertugas sebagai Ajudan seorang pejabat tinggi memerlukan ‘personal approach’ yang prima dalam arti positif. Bukan sekedar ‘ABS’ saja. Dalam kedudukan sebagai orang yang berada paling dekat -setidaknya selalu berada dalam satu mobil-, seorang Ajudan juga dituntut untuk memperhitungkan selera dan kemauan atasan, yang kadang bersifat relatif sangat pribadi. Dan untuk satu hal ini -selera pribadi-, Pak Pardjo sudah terkenal memiliki ‘standar’ yang eksra tinggi. Semula saya juga merasa “keponthal-ponthal” (terbirit-birit) waktu mengikuti irama kerja beliau. Tapi lambat laun saya mulai bisa mengikuti dan memahami apa yang beliau ingin dan maksudkan. Ada satu hal yang sering saya syukuri, yaitu kemampuan saya menangkap ‘isyarat’ yang terpancar dari raut muka beliau, sehingga saya dengan mudah memahami kemauan beliau. Ini bukan karena saya mempunyai ‘daya linuwih’ atau hal-hal yang bersifat supra natural. Kemampuan ini saya dapatkan dengan terus menerus belajar disertai kemauan keras untuk berusaha sebaik mungkin melayani beliau. Alhamdulillah, saya berhasil. Seperti telah saya sampaikan didepan, Pak Pardjo yang mantan diplomat sangat pandai menyembunyikan perasaan beliau, teristimewa jika sedang berada di depan umum. Akan tetapi di dalam forum terbatas -misalnya rapat staf- beliau sangat spontan dan selalu langsung mengeluarkan segala sesuatu yang kurang berkenan di hati. Bahkan tidak jarang beliau marah besar. Bahwa beliau memiliki wibawa yang sangat besar terbukti dari sikap para pejabat ditingkat provinsi yang meskipun sering dimarahi tapi tidak menimbulkan rasa benci, apalagi sampai mendendam. Yang muncul kemudian adalah rasa segan. Saya teringat ‘kode’ yang sering dipakai para pejabat ini bila bermaksud akan menghadap Bapak Gubernur. Biasanya saya mendapat telepon yang menanyakan ‘situasi dan kondisi’ hari itu.Saya cukup menjawab dengan ‘cuaca cerah’, ‘mendung’ atau ‘hujan badai penuh guntur’.
Arti kode itu mudah dipahami. ‘cuaca cerah’ untuk suasana normal –dalam arti Pak Gub sedang dalam keadaan biasa-biasa saja -, ‘mendung’ artinya Pak Gub sedang dalam keadaan ‘tidak berkenan’  dan ‘hujan badai penuh guntur’ artinya Pak Gub sedang marah besar! Nah, para pejabat itu tinggal memilih ‘resiko’ yang akan di hadapi apabila menghadap. Akan tetapi kalau Pak Gubernur yang berkenan memanggil, maka tidak ada pilihan bagi yang dipanggil. Cerah, mendung atau pun hujan badai harus dijalani. Sebagai orang yang ber’shio’ macan -apa lagi termasuk kategori macan api- Pak Pardjo memang sangat “nggenggirisi” (sangat menakutkan)  jika dalam keadaan ‘hujan badai’. Saya pernah menyaksikan beliau marah besar, sampai melemparkan berkas-berkas surat yang ada di hadapan beliau. Tapi pada dasarnya beliau adalah bukan seorang pendendam. Meski marah besar, tak sampai lima menit kemudian biasanya beliau sudah dapat menguasai diri dan bertindak biasa lagi. Seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya! Inilah salah satu keistimewaan beliau. Jika ada -pejabat bawahan beliau-  yang melakukan kesalahan dan yang bersangkutan segera menyadari kesalahannya dan memohon maaf, Pak Pardjo akan cepat sekali ‘luluh’ dan membuka pintu maaf lebar-lebar. Disinilah terlihat sikap kebapakannya yang sangat menonjol. Jauh sebelum era keterbukaan didengung-dengungkan, Pak Pardjo sudah terkenal dengan sifatnya yang selalu terbuka dan dengan senang hati menerima masukan dari para pejabat dan bawahan yang jadi staf beliau.
    Enam bulan telah berlalu terhitung dari SK yang saya terima (sebagai Ajudan), rasanya waktu berlalu begitu cepat. Agaknya saya sudah mulai mapan dalam bidang tugas yang baru ini. Prestasi kerja saya juga tidak jelek-jelek amat. Saya berusaha untuk sesedikit mungkin melakukan kesalahan dalam bertugas melayani ‘penguasa tunggal’[2] di Jawa Tengah ini. Beliau sendiri tampaknya telah menerima kehadiran saya dengan ‘oke-oke’ saja. Ini terlihat dari indikasi jumlah kemarahan yang saya terima. Setelah ‘insiden’ di teras Puri Gedeh -yang telah saya ceritakan dibagian lain-, saya memang cenderung bertindak dan bersikap ekstra hati-hati. Sejak bertugas sebagai Ajudan saya melakukan pendekatan dengan ‘gaya’ saya sendiri. Jika hanya berdua dengan Pak Pardjo, -atau setidaknya dalam lingkungan terbatas-, saya selalu menggunakan”krama inggil” (bahasa Jawa halus). Akan tetapi dalam forum yang lebih luas -yang dihadiri banyak orang- saya memergunakan Bahasa Indonesia. Demikian pula yang saya lakukan terhadap Bu Pardjo.
Bahkan saya lebih berhati-hati lagi bila melayani Ibu Soepardjo. Saat pertama kali Bu Pardjo mengetahui bahwa saya masuk dalam lingkungan staf pribadi Puri Gedeh, beliau bersikap sangat ‘resmi’.
Sekalipun Bu Pardjo selalu terlihat ramah, perasaan saya senantiasa menangkap ‘aura ningrat’ beliau yang sangat menonjol. Beliau juga tampak sangat menjaga jarak. Ini menimbulkan perasaan segan yang berlebihan pada diri saya. Lebih dari yang saya alami jika berhadapan dengan Pak Pardjo. Semula saya berpikir, hanya saya yang punya perasaan seperti itu, tapi ternyata semua anggota Staf Pribadi Puri Gedeh, mempunyai perasaan yang tidak jauh berbeda -jika menghadapi Ibu Soepardjo-.
    Sebagai Ajudan mau tak mau saya harus mengenal lebih jauh ‘stuktur organisasi’ keluarga Bapak dan Ibu Soepardjo termasuk dua putranya, Eko Santoso, putra pertama (dipanggil dengan nama kesayangan ‘Mas Koko’, yang lahir di Semarang pada tahun 1957, enam tahun setelah pernikahan Bapak dan Ibu Soepardjo). Pada saat mas Koko lahir, Pak Pardjo sedang menjalankan tugas sebagai Komandan Sekolah Infantri Angkatan Darat di daerah Curup, Provinsi Bengkulu.
Lima tahun kemudian lahir putra kedua yang diberi nama Dwi Sampurno, (biasa dipanggil Mas Wiwi’, yang lahir di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 1962, sewaktu Pak Pardjo sedang bertugas sebagai Atase Militer -kini disebut Atase Pertahanan- di KBRI Malaysia).
Menurut pendapat pribadi saya, Pak Pardjo adalah figur seorang kepala keluarga yang sangat ideal. Sebagai seorang Ayah, Pak Pardjo terlihat sangat menyayangi kedua putranya. Meskipun keduanya sudah beranjak dewasa, tapi Pak Pardjo tetap saja memperlakukan kedua putranya dengan ungkapan kasih sayang bagai anak kecil. Ini terlihat dari cara beliau mengusap-ngusap kepala Mas Koko dan Mas Wiwi dengan penuh kasih sayang. Hal yang kadang malah membuat kedua putranya tampak kikuk. Sebagai seorang suami, Pak Pardjo juga sangat menyayangi dan melindungi Ibu Soepardjo. Beliau selalu memberikan yang terbaik untuk Ibu. Sangat mengalah dan kadang terkesan sangat ‘over protect’[3]!
Itu semua jelas kesan saya pribadi setelah lebih dekat mengenal beliau sekeluarga. Tapi semua orang yang kenal dekat pasangan Bapak dan Ibu Soepardjo pasti sependapat bahwa beliau berdua adalah pasangan suami istri  yang sangat ideal  dan harmonis.
Saya sering mendengar anekdot tentang  persuami-istrian” :
Anda dapat dengan mudah menebak apakah yang anda lihat dalam satu mobil, pasangan suami istri atau bukan. Jika keduanya saling duduk menjauh dan saling berdiam diri, dapat dipastikan bahwa mereka adalah pasangan suami istri. Demikian pula sebaliknya. Kalau duduknya tidak saling menjauh dan saling asyik mengobrol, maka pasti mereka . . . .bukan suami istri. Barangkali TTM (Teman Tapi Mesra).
Tapi anekdot diatas tidak berlaku bagi pasangan Bapak dan Ibu Soepardjo, saya adalah salah satu saksi hidup. Pernah dalam suatu perjalanan pulang dari Cilacap ke Semarang dengan berkendaraan mobil -yang makan waktu hampir lima jam-, beliau berdua terus saling bercerita mengenai bermacam topik dalam berbagai macam Bahasa (kadang Bahasa Jawa, kadang Bahasa Indonesia dan untuk yang agak ‘confidencial’ dalam Bahasa Belanda atau Inggris). Tidak jarang diselingi perdebatan dan adu argumentasi, tapi lalu diselingi sendau gurau  dan saling goda! Saya yang -sambil mengantuk- duduk di kursi depan, diam-diam sangat mengagumi keharmonisan yang mematahkan anekdot itu.
 (Terus terang saya sendiri sangat ingin meniru keharmonisan itu, tapi entah mengapa tidak pernah bisa. Soalnya kalau saya sibuk menyetir, istri saya sibuk mengantuk!).

    Dalam mengadakan perjalanan kunjungan kerja ke daerah, sangat jarang Pak Pardjo pergi tanpa didampingi Ibu Soepardjo. Kalau pun terjadi beliau harus bepergian sendiri -misalnya karena Ibu Soepardjo telah terlanjur mempunyai acara sendiri yang sulit ditinggalkan-, maka begitu sampai di tempat tujuan, dimana pun dan kapanpun, prioritas pertama Pak Pardjo adalah menelpon Ibu! Padahal pada waktu itu (sekitar tahun 70an) belum ada telepon seluler, apalagi telepon mobil.
Contoh sederhana lain -tentang betapa sayangnya beliau pada Ibu Soepardjo- adalah jika beliau berdua akan memasuki kendaraan. Ibu selalu dipersilakan masuk ke mobil lebih dahulu melalui pintu mobil yang paling dekat, baru kemudian Pak Pardjo akan masuk kemobil melalui pintu yang lain. Sekalipun untuk itu beliau harus memutari mobil. Pak Pardjo nampaknya tidak ambil peduli tentang ‘aturan tak tertulis’ bahwa di dalam mobil seorang wanita sebaiknya duduk di sebelah kiri. Bagi Pak Pardjo yang penting bukan kanan atau kirinya. Yang penting Ibu bisa masuk mobil dari pintu yang terdekat. Itu saja. Kebetulan saya sudah hafal kebiasaan Pak Pardjo ini sejak masih bertugas dibagian Protokol.
Begitulah. Pak Pardjo memang seorang yang sangat “galant”. Selain itu, Pak Pardjo juga terkenal selalu tampil “elegant”, dan yang menjadi ciri khusus beliau adalah ‘saputangan yang selalu menyembul disaku baju sebelah kiri’. Baik itu saku jas, pakaian sipil resmi /PSR atau pun pakaian sipil harian /PSH. Fungsi saputangan itu memang hanya ‘asesoris’ saja.
Tapi seingat saya selama menjadi Ajudan Pak Pardjo, beliau hampir tidak pernah tampil dimuka umum, tanpa asesoris unik berupa ‘saputangan yang menyembul di saku baju sebelah kiri’ itu.
Dan menurut hemat saya, agaknya memang itulah “trade mark” atau ciri khas Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam!



bersambung.....




[1] Jw.: terlalu berani, kurang perhitungan.
[2] Istilah untuk Gubernur Kepala Daerah, menurut UU No. 5/1974.
[3] Ingg.: sangat melindungi.

2 komentar:

  1. mohon infonya pak Dwi Sampurno sekrng dimana ya? saya pernah jadi secretary beliau..mohon info ke riri.ambarsari@gmail.com

    BalasHapus
  2. Setau saya beliau (om Wiwi) sdh meninggal.

    BalasHapus