Rabu, 30 Maret 2011

"DUA KALI IKUT RAPIM DAN LATGAB ABRI"


      
     
 (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (28)

Released by mastonie, Tuesday, May 25, 2010 at 01.40 pm


      Ikut Rapim dan Latgab ABRI 1979.

Pekanbaru, Riau, tahun 1979.

    Jenderal M. Jusuf  adalah Menhankam/Pangab yang paling sering melakukan kegiatan yang spektakuler. Tercatat dalam sejarah, pada saat berada dalam kepemimpinan Jenderal asli Makasar inilah, ABRI (kini TNI) sering mendapat kesempatan untuk melakukan “show of force”. Yang cukup membanggakan diantaranya adalah Upacara dan Defile Pasukan dalam rangka HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1978 yang dilaksanakan secara ‘kolosal’ dan besar-besaran  di jalan tol Jagorawi, Jakarta. Selama masa jabatannya pulalah dilaksanakan Latihan Gabungan ABRI sampai dua kali (Tahun 1979 dan 1981).
Saya termasuk orang (sipil/bukan ABRI) yang beruntung dapat mengikuti dua kali Latgab ABRI itu.
    Ketika Pak Gubernur Soepardjo memerintahkan kepada saya untuk ikut beliau yang menjadi peserta Latgab ABRI, saya termasuk ajudan Gubernur yang masih ‘yunior’. Saya belum lama bertugas sebagai ajudan. Senior saya adalah Pak Sutrisno BR. Entah kenapa Pak Pardjo memilih saya untuk mengikuti beliau. Pekanbaru merupakan kota kedua di Pulau Sumatera yang saya kunjungi. Kota pertama adalah Telukbetung (kini Bandar Lampung), yang saya datangi pada waktu ikut “Perkemahan Wirakarya Tahun 1971 (PW ‘71) di Desa Gisting Provinsi Lampung. Namun jelas ada perbedaannya, dulu saya ke Lampung sebagai seorang Penegak Pramuka yang pergi atas biaya patungan dengan teman-teman untuk naik KA klas ekonomi Semarang-Jakarta-Serang dan dilanjutkan dengan kapal laut menuju Pelabuhan Panjang, Lampung. Kini saya ke Pekanbaru sebagai Ajudan Gubernur dan naik pesawat terbang bersama Gubernur Jawa Tengah. Tentu saja atas biaya Pemda Provinsi Jawa Tengah.
    Sebetulnya ‘Juknis’ (petunjuk teknis) yang dikeluarkan dalam Surat Edaran Menhankam/Pangab kepada para peserta Latgab adalah dilarang membawa Ajudan. Bahkan Kepala Staf Angkatan pun tidak diijinkan membawa Ajudan. Entah kenapa Pak Pardjo ‘nekat’ melanggar juknis itu. Sebagai konsekwensinya, saya harus mencari penginapan sendiri, karena jelas tidak mendapat jatah akomodasi dari Panitia. Beruntung pada waktu itu ada seorang pejabat asal  Jawa Tengah yang  menjabat sebagai Ka Kanwil Departemen P & K Provinsi Riau. Jadilah saya dititipkan dirumah dinas Ka Kanwil. Rumahnya cukup besar dan kebetulan Pak Ka Kanwil masih tinggal sendiri tanpa keluarga. Adapun Pak Pardjo sebagai peserta Latgab tentu saja harus bermalam di Hotel yang disediakan oleh Panitia Latgab ABRI.  
Pada waktu memberikan pengarahan didepan Peserta Rapim dan Latihan Gabungan ABRI di Riau inilah Presiden Soeharto -karena kondisi politik yang memanas pada saat itu- sempat mengeluarkan pernyataan yang cukup ‘keras’ dan menghebohkan. Pernyataan (yang lebih mirip peringatan) Pak Harto yang keras itu jadi berita di hampir semua harian baik daerah maupun nasional.

     Ikut Rapim dan Latgab ABRI Maret 1981.

      Pergi ke Timor Timur - Irian Jaya – Maluku.

    Ketika Para Gubernur se Indonesia mendapat Undangan untuk mengikuti Rapat Pimpinan (Rapim) dan Latihan Gabungan (Latgab) ABRI pada bulan Maret tahun 1981, sekali lagi saya mendapat ‘berkah’. Sekalipun dalam undangan tertera ‘Para Peserta Rapim dan Latgab ABRI tidak diperkenankan membawa Ajudan’, tapi Pak Pardjo (seperti pada Latgab ABRI di Riau) tetap saja memerintahkan saya untuk ikut. Perintah beliau memang agak lucu.
“Ton, jij siap-siap saja ikut. Bawa perlengkapan untuk seminggu. Tapi nanti keputusan  boleh ikut atau tidaknya baru bisa diputuskan di Yogya”. Tentu saja saya hanya menjawab “Siap Pak”.
Terjadi sedikit ‘keributan’ dengan Pak Tris (Ajudan Gubernur yang lebih senior), karena ia merasa, dahulu saya sudah pernah ikut Latgab ABRI di Riau, jadi kini gilirannya untuk ikut. Saya sebetulnya tidak mau bersitegang dengan orang yang lebih tua. Jadi saya putuskan mengalah. Saya memberitahu Pak Dahlan Noor (Sekpri Gubernur) tentang masalah itu. Merasa ingin bersikap netral, Pak Noor malah melapor kepada Pak Gubernur untuk mohon petunjuk.  Ternyata Pak Pardjo tetap memberi petunjuk bahwa saya yang akan ikut beliau.
    Pak Pardjo memutuskan untuk bergabung dengan rombongan Menhankam/Pangab di Lanuma (Pangkalan Udara Utama) Adisucipto, Yogyakarta. Terjadi peristiwa yang ‘unik’. Saya diperintahkan menunggu di mobil sedan Gubernur yang diparkir ditempat yang mudah terlihat dari VIP Room Lanuma. (Lanuma terletak disebelah kiri -jika dilihat dari landasan- kawasan Bandara Adisucipto). 
‘Skenario’ yang dibuat Pak Pardjo adalah, beliau akan melapor dan mohon ijin kepada Jenderal M. Jusuf untuk diperbolehkan membawa Ajudan. Kalau tidak diijinkan, Pak Pardjo akan keluar dari VIP Room dan memberi kode dengan tangan disilangkan. Kalau diijinkan, kodenya adalah jempol atau ibu jari yang diacungkan. Tampaknya soal yang cukup sederhana. Tapi nanti dulu, jarak antara tempat parkir dan VIP Room Lanuma Adisucipto kurang lebih 200 meter. Jadi saya mulai ‘berhitung’. Berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk bisa berlari menempuh jarak itu  sambil membawa kopor? Saya memang harus berlari, karena Pak Jusuf tidak pernah singgah lama kalau transit disuatu tempat. Saya menunggu dengan harap-harap cemas. Berdua dengan Jono (sopir Pak Gub) saya mengawasi teras VIP Room disiang hari yang terik itu. Menunggu Pak Gubernur keluar dan memberi kode. Rasanya seperti menunggu berjam-jam. Saya mulai berkeringat kepanasan. Jono juga. Dia menyumpah-nyumpah, karena saya larang menyalakan mesin mobil untuk bisa menghidupkan AC. 
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba terlihat Pak Pardjo bergegas keluar dari VIP Room. Kedua tangannya melambai-lambai. Saya agak bingung. Kode apa ini. Yang disepakati tadi kan tangan disilang atau ibu jari diacungkan. Tapi sudahlah, saya putuskan saja langsung angkat kopor dan lari kearah Pak Pardjo berdiri. Sampai di VIP Room nafas saya rasanya sudah hampir habis. Pak Pardjo menyambut dengan tersenyum:
“Kamu boleh ikut Ton. Cepat lapor ke Pak Latief di ekor pesawat sana” perintah beliau sambil menunjuk pesawat C-130 Hercules VVIP TNI AU, yang parkir di apron Lanuma. Pak Latief adalah Ajudan Pak Jusuf.  Tanpa menjawab saya langsung balik berlari menuju ekor pesawat. Jaraknya mungkin sekitar 100 meteran. Masya Allah, siang-siang begini saya sudah harus lari ‘maraton’, dengan menjinjing kopor lagi.
    Dalam rombongan Menhankam/Pangab yang berangkat dari Jakarta ternyata hanya ada 2 pejabat yang membawa Ajudan. Menhankam/Pangab M. Jusuf dan Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin. Jenderal-jenderal dan Pejabat Tinggi lainnnya ‘sorangan wae’.  Sekarang di Yogya ditambah satu lagi: Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam yang diijinkan bawa Ajudan. Jadi hanya ada 3 orang Ajudan di pesawat VVIP itu. Pak Latief , Pak Tarigan (Ajudan Pak Rusmin) dan saya. Kami bertiga menjadi akrab, yang lalu dapat predikat olok-olok dari para peserta Latgab (yang rata-rata Pejabat Tinggi berpangkat Jenderal) sebagai “the three musketteer”. 
Barangkali maksudnya tiga orang yang pangkatnya paling rendah.
Suasana didalam kabin pesawat Hercules VVIP itu bagi saya terasa sangat spesial dan ‘unik’. Spesial karena kabin pesawat dibagi menjadi dua bagian. Bagian depan adalah tempat duduk para Perwira Tinggi (VIP) yang dilengkapi dengan semacam ruang rapat dan ruang kendali operasi lengkap dengan layar Overhead Projector. Bagian belakang adalah tempat duduk Perwira Menengah (Kolonel kebawah) dan para staf. Tidak seperti pesawat Hercules lain, pesawat VVIP ini mempunyai tempat duduk yang nyaman dengan konfigurasi kursi yang semua menghadap kedepan. Kalau pesawat Hercules biasa kan tempat duduk penumpangnya berderet didinding dan saling berhadapan. Lalu yang saya maksud dengan ‘unik’ adalah bahwa Pak Jusuf ternyata orang yang sangat ‘anti rokok’. Jadi ruangan dalam kabin pesawat harus bebas dari asap rokok. Celakanya dalam rombongan beliau tampaknya malah lebih banyak pengikut Dewan 'SURO’ (Suka Rokok) daripada yang tidak. Maka tidak heran kalau demi menyalurkan hasrat sebagai ‘ahli hisap’, para Pati dan Pamen mencari akal agar bisa merokok tanpa diketahui (karena pasti dimarahi) oleh Jenderal M. Jusuf. Disinilah dibutuhkan jasa ‘the three musketteer’ tadi. 
Kami bertiga memang duduk dibarisan kursi paling belakang, bersama kru teknik pesawat yang rata-rata para Bintara. Nah, demi hasrat yang menyala (untuk merokok) itu para Pati dan Pamen seringkali minta pinjam kursi yang kita duduki. Lalu asyiklah mereka ‘sebal-sebul’ dengan nikmatnya. 
Tapi pada suatu saat, mungkin karena ‘curiga’ melihat kursi para Pati  banyak yang kosong, Pak Jusuf secara tiba-tiba melakukan ‘sidak’ ke belakang. Meskipun semua buru-buru mematikan dan membuang puntung rokoknya, bau asap rokoknya jelas tidak semudah itu hilang.   Maka tertangkap basahlah para Pati yang sedang ber ‘asap ria’ itu langsung oleh ‘the big boss’. Pak Jusuf yang ngomel panjang pendek hanya disambut tawa kecut para Pati yang tak tahan mulutnya kecut.

      Setiap hari makan durian. . . .

    Sebagai ‘penumpang gelap’ -tetapi dapat ijin-, saya tentu saja tidak masuk dalam daftar akomodasi Panitia Latgab. Oleh karena itu ketika rombongan Pak Jusuf transit dan bermalam di Denpasar Bali, saya bingung mencari tempat bermalam. Maklum Panitia sudah memesan habis seluruh kamar di ‘Pertamina Cottage’ untuk para Peserta Latgab. Akhirnya Pak Pardjo memberikan ijin kepada saya untuk ikut bermalam dikamar yang jadi jatah beliau.
Jij tidur di sofa itu saja Ton” begitu perintah beliau.
Jadilah malam itu saya lewati dengan tidur bersama Pak Gubernur. Ini pertama kali dan sekali-kalinya dalam sejarah, saya tidur dalam satu ruangan dengan Pak Pardjo, Gubernur yang Jenderal Bintang Dua. Tentu saja beliau tidur dikamar, sedangkan  saya tidur disofa.
Tapi keadaaan jadi berbalik 180 derajat ketika sampai di Ambon. Melihat jumlah Ajudan yang hanya 3 ‘gelintir’ itu, Panitia Latgab kemudian berbaik hati memberikan akomodasi bagi kami bertiga dalam satu kamar dirumah Induk yang juga ditempati oleh Menhankam/Pangab. Jadi sekarang saya tidur dalam satu rumah dengan Jenderal Bintang Empat. Saya dapat jatah satu dipan dengan kasur yang cukup empuk, dalam satu kamar yang hanya diisi ‘the three musketteer’

 foto: google
Para Peserta Latgab yang rata-rata para Jenderal malah hanya dapat jatah masing-masing sebuah velbed (ranjang lipat dari terpal) dalam satu bangsal yang berisi beberapa orang! Ketika Pak Pardjo sempat menanyakan dimana saya tidur, saya menjawab dengan ‘rikuh dan pekewuh’ bahwa saya tidur dirumah induk bersama Jenderal M. Jusuf.
Wah, lha enakan kamu kalau begitu Ton” komentar beliau. Saya cuma bisa senyum-senyum saja. Habis, kenyataannya memang lebih empuk kasur daripada velbed.
Fasilitas yang saya dapat ternyata tidak hanya itu. Jatah makan untuk Ajudan Menhankam (dan dengan demikian juga untuk dua Ajudan lain: saya dan Pak Tarigan), ternyata statusnya ‘disamakan’ (mungkin karena satu rumah) dengan jatah makan untuk Menhankam. Nah, sekedar untuk diketahui, Pak Jusuf  ternyata seorang penggemar ‘sejati’ buah durian. Jadi buah yang satu ini tidak boleh tidak harus selalu ada sebagai buah pencuci mulut. Maka hampir setiap hari kita ikut pesta makan durian. Durian ‘jatah jenderal’ tentu dapat anda bayangkan rasanya. Beruntung Pak Pardjo malah termasuk yang paling tidak suka pada buah yang berbau menyengat ini. Jadi sekali ini beliau tidak ‘iri’ pada saya.
    Pada waktu Rapim dan Latgab ABRI di Ambon itu, tepatnya pada tanggal 28 Maret 1981 pukul 10.10 WIB terjadilah peristiwa Pembajakan Pesawat DC-9 Garuda “Woyla” yang diterbangkan oleh Captain Pilot Herman Rante dan sedang dalam penerbangan antara Palembang-Medan. Peristiwa itu secara resmi diberitahukan oleh Mayjen Beny Murdani (Asisten I/Asintel Hankam) didepan para peserta Latgab ABRI. Maka setiap malam  ‘rumah’ Menhankam jadi markas Komando Operasi  untuk memantau pergerakan Tim Anti Pembajakan Pesawat yang langsung dipimpin oleh Asintel Hankam, Mayjen Benny Murdani. Bersama beberapa rekan wartawan media cetak dan TVRI (waktu itu stasiun TV yang ada  baru TVRI), kita berkumpul diruang Komando untuk memantau perkembangan situasi terakhir. Oleh karena itu saya jadi bisa mendapatkan informasi terkini dari tangan pertama. Salah satu yang kemudian jadi akrab dengan saya adalah penyiar ‘Dunia Dalam Berita’ TVRI, Toeti Adhitama, yang selalu tampak imut dan lucu dalam seragam tentara ‘bohongan’ (kemeja dan celana) berwarna hijau.

     “Siap Jenderal…NDHOG!!”

    Banyak hal-hal berkesan selama mengikuti rombongan Pak Jusuf. Sebagai Menhankam/Pangab, beliau terkenal sebagai orang yang ‘bersih’, tegas berwibawa dan sangat peduli pada anak buah. Terutama menyangkut nasib para prajurit. Pada masa beliau jadi Menhankam, banyak barak tentara, asrama dan tangsi polisi yang dibangun kembali karena sudah tidak memenuhi syarat. Salah satu contoh perhatian beliau kepada nasib prajuritnya terlihat dalam dialog beliau dengan salah seorang prajurit berikut ini:
Pada pemeriksaan pasukan setelah peragaan ‘pertempuran’ mempertahankan lapangan terbang yang sukses di Lanuma Patimura Ambon, Jenderal M. Jusuf langsung mendekati salah seorang prajurit.
“Siapa nama kau” tanya beliau dengan logat Makasarnya yang khas itu.
“Siap Jenderal, Ngatijo” jawab si prajurit keras dan tegas sambil bersikap sempurna.
“Sudah makan?”
“Siap Jenderal, sudah”
“Apa lauk kau?” tanya pak Jusuf lagi
“Siap Jenderal, ndhog” jawab si prajurit tetap dengan suara keras. Semua yang mendengar jawaban itu langsung tertawa termasuk Pak Jusuf. Meski orang Bugis, tapi isteri Pak Jusuf adalah puteri Jawa asli. Jadi sebetulnya beliau maklum apa maksud jawaban itu. Tapi beliau terus saja bertanya:
“Apa itu ndhog?”
“Siap Jenderal salah, telur!” jawab si Prajurit. Kontan semua tergelak-gelak.
    Satu lagi sifat Pak Jusuf yang ‘ditakuti’ oleh para Komandan dan Panglima. Tidak mau diatur protokoler secara ketat. Jadi setiap kali Menhankam/Pangab memutuskan untuk meninjau suatu daerah, maka baik KSAU (yang memersiapkan pesawat)  maupun  KASAD dan Kepala Staf yang lain harus ‘menyiagakan’ seluruh jajarannya di seantero wilayah Indonesia. Karena setiap kali ‘mengudara’ Pak Jusuf bisa memerintahkan pilotnya untuk mendarat dimana saja sekehendak hati beliau. Setelah mendarat -dengan diam-diam- lalu mengadakan inspeksi mendadak ditempat atau dikota atau didaerah yang didaratinya. Jadi begitu ada info Pak Jusuf ‘terbang’, maka Kodam dan Polda di seluruh Indonesia langsung siaga. Siapa tahu mendadak Pak Jusuf ‘mendarat’ dan sidak di wilayahnya. 



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar