Sabtu, 26 Maret 2011

"TENTANG HIDUP"


(Cuplikan dari buku tentang RMP Sosrokartono,
yang ditulis dalam bahasa Jawa ‘Krama Inggil’ -halus-
diterjemahkan dan ditafsirkan oleh mastonie secara bebas)


Drs. RMP Sosrokartono


Released by mastonie on Monday, May 3, 2010 at 8:37pm



-Sebuah falsafah hidup orang Jawa yang sederhana-


“Sumangga sami tansah angemut-emut
(Marilah kita senantiasa mengingat)

Kita badhe dados sepuh
(Kita akan menjadi tua)
Punika mboten saged dipun endhani
(Hal itu tidak akan bisa kita hindari)

Kita badhe ngalami sakit
(Kita -juga- akan mengalami sakit)
Punika mboten saged kita selaki
(Hal yang tidak akan bisa kita elakkan)

Kita badhe pejah
(Kita -semua- akan mati)
Punika mboten saged dipun singkiri
(Hal yang tidak akan bisa kita hindari)

Kita badhe nilaraken sedaya
(Kita akan meninggalkan semuanya)
Ingkang kita tresnani saha nengsemaken
(Yang kita cintai serta yang menawan hati)

Sadaya ingkang kita tindakaken sae utawi awon
(Segala -hal- yang kita lakukan baik maupun buruk)

Punika dados warisan kita
(Itulah -yang akan- jadi warisan kita)

Mekaten ingkang kedah tansah kita emut-emut
(Begitulah hal yang harus senantiasa kita ingat)

Uwohing pandamel
(Buah dari perilaku -kita-)

Sae utawi awon
(Baik atau buruk)

Punika ingkang badhe sami katampi”
(Itulah yang sama-sama akan kita terima)




Itulah falsafah hidup sederhana dari seorang Ningrat Jawa yang mendapat julukan: "De Javanese Prins" (Pangeran dari Tanah Jawa).
Seorang pria tampan yang terkenal sebagai pemikir, filsuf, paranormal dan penyembuh alternatif.
Beliau adalah Drs. RM Panji Sosrokartono, putra pertama RMAA Sosroningrat, Bupati Jepara, Jawa Tengah. Dialah kakak kandung RA Kartini, yang (tidak seperti adiknya) beruntung dapat mengenyam pendidikan dari Universitas Leiden di Belanda.
Pria yang melajang seumur hidupnya ini selain terkenal sebagai  "Pak Dokter" (ahli pengobatan alternatif dengan air putih), juga menguasai 26 bahasa asing (9 bahasa asing Timur dan 17 bahasa asing Barat).
Bagi kita yang hidup pada jaman sekarang, falsafah beliau (meskipun didasari oleh kepercayaan dan laku orang Jawa, namun tetap sesuai dengan ajaran agama Islam), masih relevan untuk direnungkan.

“Raib”nya mata pelajaran ‘Budi Pekerti’ disekolah, agaknya mempunyai pengaruh dan dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan pribadi generasi muda kita. 
Seperti ada sesuatu yang hilang dari kepribadian mereka yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat pluralistik dengan berbagai pengaruh -baik positif maupun negatif- dari jaman globalisasi.
Adakah yang salah dengan jaman globalisasi ini?
Jawabannya bisa ya bisa tidak. Tergantung dari aspek mana kita melihatnya.
Satu hal yang patut kita renungkan adalah hilangnya, atau setidaknya berkurangnya rasa ikut memiliki dan rasa ikut memerjuangkan (dalam falsafah Jawa disebut sebagai rumangsa melu handarbeni dan rumangsa melu hangrungkebi). Terasa juga mulai lunturnya rasa kebersaman dan persatuan dari sebagian besar masyarakat dan (terutama) generasi muda kita.
Jaman sekarang ini semua orang seperti berlomba-lomba memerjuangkan ‘sesuatu’ hanya untuk kepentingan diri sendiri, atau paling banter untuk kepentingan kelompok atau golongannya sendiri. Mereka jelas lupa bahwa sesungguhnya hidup itu tak akan abadi. Hidup bagaikan “Cakra Manggilingan” (roda yang berputar). Kadang ada ‘diatas’ dan pada suatu ketika juga pasti akan ada ‘dibawah’.
Sejatinya keabadian hanya ada dialam baka.
Ke tak abadian itu adalah kodrat Allah SWT yang menjadi hukum alam fana.
Niscaya tak ada satupun mahluk NYA yang bisa menghindari.
Oleh karena itu sesungguhnya sadarkah kita bahwa usia kita pasti akan bertambah, bahwa kita akan beranjak tua? Sangat mungkin dalam perjalanan hidup, kita juga akan menderita sakit, yang bisa jadi juga berujung kepada kematian.
Karena pada hakekatnya semua manusia pasti akan kembali kealam barzah, menghadap kehadiratNya, Allah Sang Maha Pencipta. 
Jika pada suatu saat malaikat maut datang menjemput, tak ada satupun mahluk bernyawa yang bisa mengelak.
Allah SWT telah berfirman dalam Surah Al-Munaafiquun:
“Wa lay yu-akhkhirallaahu nafsan idzaajaa-a ajaluhaa….” (QS. 63 : 11)
(Dan Allah tidak akan menangguhkan kepada seseorang apabila telah datang AJALnya). 
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Dan kita juga tahu, tak ada sesuatu (harta atau apapun) yang akan kita bawa keliang kubur. Kecuali tiga perkara yang disebut dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai sabda Rasulullah SAW:
“Idzaa maata ibnu adama, inqatha’a ‘amaluhu illaa min tsalaatsin: shadaqatin jaariyatin, au ‘ilmin yuntafa ‘ubih, au waladin shaalihin yad’uulah”.
(Bila seseorang telah meninggal, maka terputuslah segala hal kecuali tiga perkara: amal -sedekah- jariyah, ilmu yang bermanfaat -bagi orang lain- dan anak-anak -saleh/salehah- yang senantiasa mendoakan).

Yang dimaksud Rasulullah SAW sebagai sedekah jariyah pastilah bukan hanya seberapa besar harta yang pernah kita berikan sebagai sumbangan (amal) kepada siapapun yang sedang membutuhkan, tapi pasti juga termasuk perilaku kita terhadap sesama.
Simak pula sabda Rasulullah SAW dalam hadist berikut ini:
“Siapapun yang mendapatkan harta yang halal, lalu ia memberi makan dan pakaian untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang ada dalam tanggungannya, maka perbuatannya itu merupakan zakat bagi dirinya” (HR. Ibnu Hibban).

Sedangkan ilmu yang bermanfaat tidak harus berupa ilmu yang diajarkan dibangku sekolah saja. Apapun yang bisa kita ajarkan atau amalkan (termasuk nasehat dan petuah) kepada orang lain asalkan bersifat kebaikan, dapat juga disebut sebagai ilmu. Dan itu bisa menjadi bukti kelebihan kita.
Abu Umamah RA mengutarakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Kelebihan orang yang berilmu dari orang (yang hanya) beribadah saja (tanpa ilmu) bagaikan kelebihan saya dari orang yang paling rendah diantara kalian semua” (HR. Tirmidzi).

Adapun anak-anak yang saleh/saleha (atau yang berbudi pekerti baik), yang selalu mendoakan arwah kita pada saat kita meninggal, agaknya terpulang kembali kepada kita.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan budipekerti yang mulia”
Jadi, bagi anda sekalian yang telah berkeluarga, apakah kita telah dengan baik mendidik anak yang merupakan tanggung jawab kita sebagai orang tua?
Sudahkah kita berikan ‘landasan hidup’ berupa ilmu agama sebagai bekal iman yang kuat kepada anak-anak kita, selain ilmu yang bersifat keduniawian belaka?
Penting untuk kita maklumi, bahwa budi pekerti seorang anak (sehingga dia bisa disebut sebagai anak yang ‘saleh’ ataupun ‘saleha’) tidak terbentuk secara otomatis ‘begitu saja’, maka harus ada seseorang yang membentuknya
Dan itu adalah kewajiban serta tugas orang tua. Karena sejatinya anak-anak merupakan titipan atau amanah dari Allah SWT. Sesungguhnyalah di akherat kelak, kita (sebagai orang tua) harus mempertanggung-jawabkan anak-anak kita kepada Nya.

Dalam konteks itulah maka falsafah hidup 'warisan' almarhum Drs. RMP Sosrokartono yang tersebut diatas seyogyanya bisa mengingatkan kita sebagai  seorang muslim.
Yaitu tentang perlunya menjalani dan mengisi kehidupan kita (bersama seluruh keluarga yang menjadi tanggung jawab kita) dengan hal-hal yang selalu merujuk dan berpedoman kepada hukum yang telah digariskan Allah SWT (Al-Qur’an), hadist dan sunah Rasulullah SAW.
Ditambah dengan (tentu saja) hukum dan peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah dan Negara.
Apakah kita akan sanggup melaksanakannya? Insya Allah.

Billahi taufiq wal hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar