Rabu, 30 Maret 2011

"NGAWULA NANGING DUDU ABDI"



 (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (22)

 Lebih jauh mengenal Gubernur Soepardjo Roestam dan keluarga.

 ‘Ngawulo nanging dudu abdi’[1]

     Lahir di Sokaraja (nama sebuah Kecamatan didaerah Banyumas yang terkenal dengan makanan khas ‘gethuk goreng’) pada hari Kamis Legi, 12 Agustus 1926 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara putra Bapak dan Ibu Roestam, anak laki-laki pertama (dan satu-satunya) itu diberi nama Soepardjo. Dimasa mudanya pemuda Soepardjo memiliki dasar pendidikan militer cukup lengkap. 
Pada awal bulan Oktober 1943 tentara pendudukan  Jepang sengaja membentuk pasukan yang dinamakan Tentara Pembela Tanah Air (PETA), guna menghadang kemungkinan pendaratan tentara Sekutu di Indonesia. Pada saat itulah pemuda Soepardjo, termasuk salah satu dari sejumlah pemuda (asal) Banyumas yang berhasil lolos menjadi tentara PETA. 

(Tiga orang diantara begitu banyak Pemuda Banyumas mantan tentara PETA yang berhasil mencapai puncak karir dijaman Orde Baru adalah Jenderal TNI Purnawirawan Soerono -mantan Menko Polkam-, Jenderal TNI -Hor- Purnawirawan Soesilo Soedarman -juga mantan Menko Polkam- dan Letnan Jenderal TNI Purnawirawan  Soepardjo Roestam, -mantan Menko Kesra-.
Ketiga putra “BA” -Banyumas Asli- itu berteman sangat akrab, bahkan hampir seperti keluarga).

Seiring perjalanan waktu dan timbulnya konflik karena rasa ketidak puasan serta kesadaran bernegara, para pemuda yang tergabung dalam PETA banyak yang ‘mbalela’ (memberontak), berakibat terjadinya peristiwa ‘Pemberontakan PETA Blitar’ pada tanggal 14 Februari 1945 yang dipelopori oleh Shodanco Supriyadi.
Dengan pangkat Shodanco (Komandan Kompi) pemuda Soepardjo bergabung dengan pasukan yang dipimpin Daidanco (Komandan Batalion) Sudirman, seorang mantan Guru kelahiran desa Bodas, Karangjati, Purbalingga yang merasa terpanggil untuk benar-benar berjuang membela tanah air.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan Jepang terpaksa ‘pulang kandang’ karena kalah perang,  PETA secara resmi dibubarkan. Para bekas anggota PETA, Heiho dan KNIL kemudian memilih untuk bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat). 
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah secara resmi mengganti nama BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tanggal 5 Oktober inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketika Belanda berusaha ‘kembali’ menjajah Indonesia, pemuda Soepardjo yang pada saat itu berpangkat Kapten telah  dipercaya menjadi Ajudan Kolonel Soedirman, Panglima Divisi V/Banyumas. Panglima Divisi inilah yang gigih memimpin perlawanan TKR dengan cara bergerilya menentang Belanda, sehingga mendapat julukan “Panglima Besar” (Pangsar).
Pengalaman perang didaerah Ambarawa, yang terkenal dengan nama “Palagan Ambarawa” dan bergerilya bersama Panglima Besar Soedirman yang harus ditandu dengan berjalan kaki sambil dikejar-kejar ‘telik sandi’ (mata-mata) dan pasukan Belanda, agaknya mematangkan naluri kemiliteran Kapten Infanteri Soepardjo sekaligus menempa karakternya menjadi orang yang peduli, tanggap, mudah bergaul dan sangat dekat dengan ‘wong cilik’ atau rakyat kecil.
Sebagai anak sulung dan kakak dari dua adik perempuan yang bernama Parwati (wiraswasta, tinggal di Purwokerto) dan Partilah (istri seorang karyawan PT. Intirub, tinggal di Semarang),  ‘Mas Pardjo’ (demikian adik-adiknya memanggil) mempunyai sifat ‘ngemong’ (melindungi) yang menonjol. Terkadang malah kelihatan agak berlebihan, terutama terhadap keluarga.

Bertemu kekasih hati
 
Ada pepatah lama yang berbunyi: “Asam digunung, garam dilaut, bertemu dibelanga”, kalau sudah jodoh tak akan kemana.
Tersebutlah seorang Asisten Wedana (kini Camat) Kembaran  bernama RM. Kartono Atmokartono, Pamongpraja berdarah ningrat, putra Patih Purbalingga yang menikah dengan RA. Muswirasih putri Bupati Pemalang. Dari pernikahan putra dan putri bangsawan tersebut lahirlah seorang gadis manis yang diberi nama Kardinah, terilhami oleh nama RA. Kardinah, adik RA Kartini pejuang hak emansipasi wanita yang putri Bupati Jepara.
Anak kedua, putri pertama dari delapan bersaudara itu lahir dirumah Kakeknya di Banyumas pada hari Senin Pon, tanggal 4 April 1932.
Kardinah (akrab dipanggil Dien) mempunyai seorang kakak bernama Sungkono (biasa dipanggil “Mas Nano” oleh adik-adiknya, terakhir menjabat salah satu Direksi BNI ’46 -sekarang Bank BNI-, tinggal di Jakarta) dan enam orang adik, bernama  Saguro (almarhum, pensiunan pegawai Pertamina, dimakamkan di Purwokerto), Sarwoko (biasa dipanggil O’ok, pensiunan Karyawan Semen Gresik, tinggal di Surabaya), Nurseno Sidi (dipanggil Pungki, pensiunan karyawan Patal Senayan, tinggal di Jakarta), Nugroho (dipanggil Pong, salah satu mantan pejabat di PT Texmaco, tinggal di Jakarta), Muskarini (mempunyai 3 nama panggilan, Ping, Bayi atau Diajeng, istri karyawan BPD Jateng, tinggal di Semarang) dan yang bungsu bernama Moesseno (dengan panggilan Seno, PNS di BPN Jateng, tinggal di Semarang).
Empat orang adik yang terakhir (Pungki, Pong, Diajeng dan Seno) lahir dari rahim ibu RA.Musriati yang dinikahi oleh Bapak RM Kartono karena ibu RA. Muswirasih (ibu kandung Kardinah) meninggal dunia. Akan tetapi ibu RA. Musriati bukan ‘orang jauh’, karena beliau adalah adik kandung RA Muswirasih, jadi bagi putra dan putri RM. Kartono, masih terhitung tante atau bibi sendiri. Dalam istilah orang Jawa, Bapak RM. Kartono Atmokartono telah (melakukan) “turun tangga”, menikahi ipar (adik istri) setelah istrinya meninggal dunia.
Dengan kedudukan sebagai kakak perempuan tertua dari enam orang adik itulah yang membuat gadis Kardinah tumbuh menjadi seorang wanita yang keibuan, senang memasak, sayang terhadap keluarga dan penuh perhatian terhadap ‘wong cilik’. Gadis Kardinah ternyata juga seorang yang senang olah raga dan kegiatan luar ruang, bahkan aktif dalam perjuangan kemerdekaan dengan menjadi relawan dan anggota PMI. Karena kegiatannya sebagai relawan dan aktif di PMI itulah  gadis Kardinah pernah ditawan oleh tentara Belanda. Dan salah seorang anggota BKR yang berhasil membebaskannya dari tawanan Belanda adalah pemuda Soepardjo. Tidak mengherankan jikalau kedua remaja itu saling terpikat dan kemudian bahkan berpacaran. Walau dengan gaya pacaran “tempo doeloe” yang tidak memungkinkan pergi berdua-dua saja. Kedua remaja yang tampak harmonis dan saling mencinta itu akhirnya berikrar untuk membina kehidupan berkeluarga.
Beberapa waktu sesudah Panglima Besar Soedirman wafat pada tanggal 29 Januari 1950, Kapten Soepardjo mendapat tugas belajar di US Army Infantry School, dikota Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat. Sekembalinya dari Amerika Serikat itulah keluarga Bapak Roestam langsung melamar putri Bapak RM. Kartono Atmokartono yang pada saat itu menjabat sebagai Sekretaris Gubernur (kini disebut Sekretaris Daerah) dan sudah menetap di Semarang.
Pernikahan dilaksanakan pada tanggal 29 November tahun 1951 dikediaman Bapak RM. Kartono Atmokartono di Jl. Gedeh, daerah Candi Baru Semarang.  Walaupun diselenggarakan dengan cara sangat sederhana, tapi pernikahan itu disaksikan oleh Gubernur Boediono, Gubernur Jawa Tengah pada saat itu.
Secara kebetulan rumah pribadi Bapak RM. Kartono Atmokartono di Jl. Gedeh itu terletak tepat berseberangan dengan “Puri Gedeh”, Rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah. 
Tapi pada saat itu tak seorangpun pernah mengira bahwa pasangan pengantin “Soepardjo-Kardinah” pada suatu hari kelak ternyata juga akan tinggal di “Puri Gedeh”, karena pada tahun 1974 (lebih dari dua dasawarsa kemudian sesudah acara pernikahan), Mayor Jenderal TNI Soepardjo Roestam dilantik oleh Mendagri Amir Machmud yang mewakili Presiden Soeharto,  sebagai Pejabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah.

(Tidak lama sesudah pernikahan itu, Kapten Soepardjo ditugaskan kenegeri Belanda sebagai Sekretaris Atase Militer KBRI di Den Haag. Dimasa itu pesawat terbang penumpang masih jarang. Perjalanan ke luar negeri lazimnya ditempuh dengan naik kapal laut. Begitu pula dengan pasangan pengantin baru itu,  mereka menuju kenegeri Belanda dengan naik kapal “Oranye”,  sekaligus menjalani bulan madu diatas gelombang samudera selama hampir sebulan, sebelum “Oranye”, -kapal penumpang yang paling masyhur saat itu- mendarat di pelabuhan Rotterdam, Belanda).

Sekitar tahun 1976, sebagai staf Protokol saya (secara tidak langsung) sudah melayani Gubernur Soepardjo, dan disekitar  akhir tahun 1978 saya ditugaskan untuk bergabung dikelompok Staf Pribadi Gubernur Jawa Tengah yang bermarkas di “Puri Gedeh” sebagai Ajudan.
Mungkin karena akhirnya saya menjadi Ajudan Pak Pardjo ‘kelewat’ lama, tugas saya melayani Bapak dan Ibu Soepardjo menjadi sebuah kenangan tersendiri. Selain tak terlupakan juga niscaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah hidup saya.
Dalam suatu obrolan santai diluar pakem” dengan rekan-rekan sesama Staf Pribadi di Puri Gedeh, saya mendapat jawaban yang rata-rata hampir sama. Tingkat kesulitan melayani Bapak lebih rendah daripada tingkat kesulitan melayani Ibu Soepardjo. Ada sebuah contoh  yang secara sendau gurau kita jadikan “pathokan” (ukuran) . Kalau kita melakukan kesalahan dalam melayani Pak Gub, hanya Pak Gubernur lah yang akan memarahi kita. Tapi kalau kita melakukan kesalahan dalam melayani Ibu Soepardjo -dan hal itu terdengar oleh Pak Pardjo-, maka kita akan kena marah dari Ibu plus Bapak sekaligus. Dus artinya kena ‘proyek senen’ dua kali! 
Tapi ada juga yang unik -ini pengalaman saya pribadi-, jika karena sesuatu  hal saya di marahi Pak Pardjo di depan Ibu, biasanya Ibu malah membela saya. Paling tidak menengahi, agar bapak tidak berkelanjutan marahnya. Mungkin Bu Pardjo tidak sampai hati melihat ekspresi wajah saya kalau sedang kena marah. Barangkali.
Oleh sebab itu saya berusaha dengan sekuat tenaga untuk berusaha menghindar dari kemarahan Bapak ataupun Ibu. Salah satu caranya yaitu dengan mencoba memahami apa yang disukai dan apa yang tidak disukai oleh kedua pasangan suami istri yang harmonis itu. Dan itu dapat saya pastikan bukan jurus ‘ngolor’ ataupun ABS (Asal Bapak Senang).
Dengan tetap berpegang pada falsafah Jawa: “Ngawula nanging dudu abdi”, saya mencoba terus mempelajari karakter Pak Pardjo (ini yang terutama), lalu Bu Pardjo dan kedua putranya.
    Bukan dengan maksud menyombongkan diri kalau akhirnya saya sedikit demi sedikit mulai bisa menebak arah kata yang dimaksud Pak Pardjo, tanpa harus beliau katakan apa yang hendak dilakukannya. Dari hal kecil seperti inilah akhirnya saya bisa pula merasakan ‘atmosfer’ hubungan pribadi yang semakin baik. Pak Pardjo tidak lagi menganggap saya sebagai bawahannya, apalagi pesuruhnya.  Beliau sepertinya malah sudah menganggap saya sebagai ‘orang dekat’nya, kalau tidak boleh disebut sebagai anaknya. Kalau memanggil saya, beliau lebih sering memanggil nama saya atau dengan kata ‘jij’ (bahasa Belanda: kamu). Panggilan yang terkesan lebih akrab. Seperti kalau Pak Pardjo memanggil putra-putranya. Bukan dengan kata ‘kau’ atau ‘kamu’. Sayapun berusaha untuk menempatkan beliau bukan sebagai atasan, tapi sebagai orangtua atau setidaknya sesepuh yang saya hormati.

Kebiasaan unik khas Pak Pardjo
 
    Selama menjadi Ajudan, saya perhatikan Pak Pardjo mempunyai beberapa kebiasaan ‘unik’ yang menarik perhatian saya.
Yang pertama, pada saat beliau memberikan perintah lisan ataupun petunjuk kepada siapa saja, yang diberi perintah atau petunjuk harus selalu mencatat perintah atau petunjuk itu. Kalau yang diperintah atau diberi petunjuk hanya mendengarkan saja, dapat dipastikan Pak Pardjo akan langsung membentak: “Tulis perintah saya itu!”. 
Kebiasaan (yang menurut saya sangat positif dan mendidik) ini sudah saya perhatikan sejak saya masih jadi staf Protokol dahulu. Akhirnya siapapun yang menghadap ataupun dipanggil  oleh Pak Gubernur, akan selalu membawa buku catatan, atau -setidaknya kertas- dan pena atau bolpoin. Sebagai atasan yang sangat correct, Pak Pardjo ingin menggugah kesadaran bawahannya bahwa daya  ingat seseorang (walau secerdas apapun orang itu) sangat terbatas. Jadi beliau ingin perintah atau petunjuk yang diberikannya dapat dilaksanakan sesuai keinginan beliau. Tidak meleset, atau bahkan jadi  salah arah karena orang yang diperintah lupa pada apa yang diperintahkan padanya.
Sebagai Ajudan, sepanjang ingatan saya, saya sampai memiliki koleksi ‘seabreg’ notes -buku catatan- yang saya pakai untuk mencatat segala macam perintah, pesan maupun petunjuk Pak Pardjo. 
Yang kedua, dalam memberikan perintah, terkadang Pak Pardjo seperti ‘menggantung’ kalimatnya. Baru berkata separuh kalimat, beliau lalu berhenti seolah mengingat-ingat atau sedang mencari sambungan kalimatnya. Lama saya perhatikan kebiasaan beliau yang ‘unik’ ini. Awalnya saya diam saja menunggu. Lama-lama saya punya keberanian untuk mencoba menebak arah kalimat yang beliau gantung. Modal saya memang hanya nekat, karena pada dasarnya saya juga agak kurang sabaran. Mula-mula masih tidak ‘pas’. Saya lihat Pak Pardjo hanya diam. Jadi saya tambah berani. Entah bagaimana, akhirnya banyak ‘tebak kata’ saya yang berhasil. Keberhasilan saya ini tentu bukan hasil kerja ‘ngawur’. Saya pertimbangkan betul suasana hati beliau, konteks dan arah kalimatnya, serta tentu nasib baik. 
Saya berikan beberapa contoh kecil keberhasilan saya menebak perintah beliau, misalnya seperti ini: Pada suatu saat beliau sedang menerima Kepala Dinas PU yang melaporkan situasi banyaknya jalan Kabupaten, Provinsi, bahkan jalan Negara yang rusak di Jawa Tengah. Hal itu disebabkan karena telah tibanya musim hujan dan seringnya terjadi banjir. Pak Pardjo memanggil saya kedalam ruang kerja.
“Ton, coba sambungkan saya dengan .........” disini beliau berhenti dan seperti menggantung perintahnya. Dalam sekejap saya membuat ‘kalkulasi’  situasi dan langsung menyahut: “Menteri Pekerjaan Umum Pak?”. Ternyata arah tebakan saya tepat. 
Dilain waktu setelah rapat Pemegang Saham BPD Jawa Tengah yang melelahkan, dimobil dalam perjalanan pulang ke Puri Gedeh, beliau memberi perintah:
“Ton, nanti sore setelah saya istirahat coba jij panggil .......”, seperti biasa beliau berhenti dan saya langsung ‘putar otak’ mencari jawaban tebakan ‘iseng-iseng tak berhadiah’ itu. “Bu Rumani Pak?” “Ya”. Tebakan saya berhasil lagi. Bu Rumani (pada saat itu) adalah Kepala Biro Direksi BPD yang ‘mrantasi’ (dapat menjalankan semua tugas dengan baik) dan sangat dipercaya oleh Pak Pardjo. Jadi begitulah. Sampai pada urusan yang bersifat lebih pribadi sekalipun (misalnya jika beliau ingin menikmati suatu makanan atau minuman) saya sering berhasil memecahkan ‘tebak kata gantung’ ala Pak Pardjo itu.
Dan begitu seterusnya. Sehingga lama kelamaan ada semacam  ‘hubungan batin’ antara saya dan Pak Pardjo, sehingga komunikasi dapat terjalin dengan baik.
Apabila (secara iseng saja) dilihat dari segi ilmu perbintangan (horoskop atau zodiak Barat), konon salah satu sinergi paling bagus atau paling cocok dalam perjodohan ataupun hubungan pekerjaan, adalah gabungan orang yang berasal dari rasi bintang Leo, Aries dan Sagitarius.
Pak Pardjo (Leo) dan Bu Pardjo (Aries) adalah pasangan suami istri yang terbukti sangat serasi dan cocok serta harmonis. Saya yang hadir belakangan sebagai Ajudan Pak Pardjo, berbintang Sagitarius. Jadi saya juga tidak tahu persis apakah hal itu hanya sebuah kebetulan saja, tapi kenyataannya hubungan saya (Sagitarius) dengan Pak Pardjo (Leo) dan tentu pula dengan Ibu Soepardjo (Aries) berjalan ‘baik-baik’ saja. Bahkan bisa bertahan sangat lama.
Apalagi kalau dilihat dari segi astrologi Cina, Pak Pardjo (lahir Agustus 1926) dan saya (lahir November 1950) mempunyai  Shio yang sama, shio Macan.
Apakah mungkin karena faktor shio itu  saya bisa dengan segera dan mudah menyamakan (kalau menurut istilah anak muda jaman sekarang), ‘chemistry’ dengan Pak Pardjo. Wallahu ‘alam.
Oleh sebab itu, saya malah sama sekali tidak heran kalau banyak orang yang heran, apa rahasianya saya selalu bisa dengan begitu mudah menebak arah ‘kata gantung’ yang diucapkan Pak Pardjo.
Mereka (yang heran itu) tidak tahu bahwa -sesungguhnya- saya telah berusaha dengan ekstra keras (ups!) untuk dapat menguasai ‘ilmu’ tebak-tebak kata yang khas (yang hanya dimiliki oleh) Pak Pardjo itu.



bersambung.....





[1] Jw: Melayani tapi bukan sebagai hamba sahaya

1 komentar:

  1. Wow ...hubungan yang harmonis baik sebagai ajudan maupun sebagai individu pribadi saling melengkapi, tidak mengenal kasta

    BalasHapus