Kamis, 31 Maret 2011

"MELIHAT 'SALAK', DAN 'PAPAYA' ASLI WAMENA"



 (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (40)

 Mendagri Soepardjo di Wamena



      released by mastonie on Friday, July, 23, 2010 at 11:35 pm


      Kunjungan kerja kedaerah “salak”, “papaya” dan koteka.

Sebagai Mendagri, Pak Pardjo sangat akrab dengan Pak Beny Murdani, Panglima ABRI (kini disebut Panglima TNI), Apabila beliau ingin mengadakan kunjungan kerja kedaerah, maka biasanya Pak Pardjo minta ijin Pak Beny untuk mengontak KSAU guna meminjam pesawat terbang (atau helikopter, tergantung keadaan), yang akan dipakai selama mengadakan kunjungan kerja. Seingat saya bantuan itu selalu ‘cuma-cuma’, paling-paling Pak Pardjo hanya memerintahkan Kepala Biro Umum untuk memberikan tambahan uang saku atau souvenir buat para Pilot dan kru pesawat. Yang sangat sering dipinjamkan adalah pesawat angkut C-130 Hercules yang disediakan untuk VIP (nomor badan 1314 atau 1341). Berbeda dengan pesawat Hercules pengangkut pasukan yang tempat duduknya merapat kedinding pesawat dan saling berhadapan, kedua Hercules VIP 1314 atau 1341 mempunyai tempat duduk yang semuanya menghadap kedepan seperti pesawat terbang komersial biasa. Pertama kali saya merasakan terbang dengan Hercules VIP itu pada saat mengikuti Latgab ABRI tahun 1981 kewilayah Indonesia Timur. Ketika itu saya masih jadi Ajudan Gubernur Jawa Tengah.

Hercules C-130 adalah pesawat terbang pengangkut serba guna buatan Lockheed , Amerika Serikat yang produksi awalnya sudah terbang sejak tahun 1955. Mempunyai empat buah mesin turboprop buatan Allison dengan kekuatan masing-masing sampai 4500 HP, pesawat yang didisain mempunyai sayap agak tinggi (high mounted wings) ini bisa mendarat dan lepas landas di landasan pacu yang tidak terlalu panjang. Bahkan selain punya kemampuan terbang “Touch and Go” (mendarat dan langsung terbang lagi), Hercules juga merupakan salah satu diantara pesawat terbang yang bisa berjalan mundur dilandasan. Sangat ideal untuk melakukan kunjungan kerja didaerah yang hanya mempunyai lapangan terbang perintis (airstrip) yang berlandas pacu pendek.
Dengan memakai pesawat inilah biasanya Pak Pardjo terbang menjelajah sampai kepelosok daerah terpencil. Termasuk ke Kabupaten Jayawijaya yang beribukota di Wamena. 
Agak ‘susah’ masuk kekota yang sesungguhnya mempunyai pemandangan indah ini, karena untuk menuju Wamena hanya bisa melalui jalur udara. Tidak (belum) ada jalur darat atau sungai. Apalagi laut. Lewat jalur udarapun harus dengan perhitungan yang tepat karena letaknya yang diapit pegunungan Jayawijaya dan berada dilembah yang disebut Lembah Baliem. Harus memilih waktu yang tepat untuk terbang ke Wamena agar tidak terjebak cuaca buruk yang bisa membahayakan penerbangan. Sangat menakjubkan terbang menuju Wamena, terutama saat hendak mendarat, karena pesawat harus melintasi celah dimana dikiri kanan pesawat berwujud hutan rimba yang penuh pepohonan hijau yang amat lebat. Pemandangan yang eksotis dan fantastis.
Sebagai ibukota Kabupaten, Wamena (konon berasal dari bahasa daerah: Wa dan Mena yang berarti “Babi jinak”) adalah kota yang masih bersih dari polusi. Udaranya selalu segar dengan suhu udara yang rata-rata dingin sejuk. Maklum kota yang dialiri sungai Baliem ini berada diketinggian lebih dari 1500 meter diatas permukaan laut. Banyak orang yang bilang belum ke  tanah Irian Jaya (Papua) kalau belum pergi ke Wamena. Mungkin ada benarnya juga mengingat keindahan alam (termasuk orangnya) yang masih asli dan menawan.
Pada waktu pesawat yang membawa rombongan Mendagri mendarat di Bandara Wamena, sambutan yang disiapkan Pak Bupati Alberth Dien cukup meriah. Dari pintu pesawat sampai keruang tunggu VIP dipenuhi masyarakat yang berjajar menyambut. Beberapa orang tampak sudah berpakaian ‘masa kini’, tapi lebih banyak yang masih berpakaian tradisional alias adat. Para pria nyaris telanjang kecuali sebuah tongkat yang ‘mencuat’ diantara kedua pangkal pahanya. Itulah pertama kalinya saya melihat ‘koteka’ asli yang bertengger ditubuh orang Papua. Bentuk dan ukurannya beragam. Mungkin disesuaikan dengan ukuran ‘penghuni’ nya. Yang jelas, dibawah koteka itu masih menyisakan (maaf) bagian tubuh paling rahasia (untuk ukuran orang kota) yang tak terlindungi dan mirip buah salak. Itu sebabnya ada olok-olok tentang “salak Wamena” yang berbulu tapi tak berduri itu. 

Penduduk asli Papua di Wamena
Para wanita juga sama saja. Ada yang sudah mengenakan busana modern, tapi ada juga yang tanpa risih dan malu masih topless,  bertelanjang dada (yang menyebabkan orang bisa melihat dua buah ‘papaya’ menggantung disana)! Bahkan rok bawahan yang dipakai juga hanya berwujud rumbai-rumbai entah terbuat dari apa. Oleh karena itu banyak ibu-ibu anggota rombongan Mendagri (yang notabene ‘orang kota’) merasa jengah melihat pemandangan unik dan langka itu. Akan tetapi bapak-bapak kebanyakan malah tersenyum suka ria menyaksikan adegan “semi primitif” itu. Bahkan banyak yang menggunakan kesempatan untuk berfoto bersama dengan mereka. Termasuk saya, tentu saja. Kapan lagi bisa berfoto dengan ‘salak’, ‘papaya’ dan koteka di Wamena.
Pemandangan kota Wamena memang “ruuuuar biasa”. Dikelilingi gunung dan lembah, disepanjang jalan yang tampak adalah daerah yang masih hijau. Banyak terlihat rumah penduduk asli yang disebut “Honai” (baca: onai) yang bentuknya bulat terbuat dari semacam tumpukan daun alang-alang dan hanya berpintu satu tanpa jendela. Mirip rumah orang Eskimo yang disebut “Iglo” itu. Menurut cerita salah seorang pejabat Kabupaten, rumah berbentuk bulat dan tanpa jendela itu membuat udara didalamnya menjadi hangat.
Ketika jamuan makan siang disajikan, selain nasi, Ibu Dien (istri Bupati) juga memamerkan makanan asli penduduk setempat, yaitu “hipere” (ubi jalar) yang disajikan dengan dibakar atau direbus dan bubur sagu. Tentu ditambah lauk pauk yang sudah disesuaikan dengan selera orang kota. Bubur sagu termasuk makanan yang harus disantap dalam keadaan panas, karena kalau sudah dingin jadi seperti lem. Tapi saya tidak melihat ada sajian daging babi. Padahal katanya itulah sajian utama yang selalu dihidangkan untuk menghormati para tamu. Mungkin Pak Bupati merasa sungkan karena pasti tahu Pak Mendagri (dan banyak anggota rombongan dari Jakarta) beragama Islam.
Lembah dan sungai Baliem tampaknya membuat daerah Wamena menjadi lahan yang cukup subur. Selain ubi jalar, penduduk juga menanam jagung, singkong (ketela pohon) bahkan padi. Tentu juga sayur dan buah-buahan. Penduduk asli juga berternak. Kebanyakan adalah babi. Itu sebabnya kota ini dinamakan kota “Babi Jinak” (Wa Mena). Babi menjadi binatang yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari penduduk asli Wamena dan sebagian besar penduduk Irian Jaya (Papua). Dijaman dahulu katanya para wanita juga menyusui anak babi peliharaan mereka saking sayangnya. Mereka juga melumuri seluruh tubuhnya dengan minyak babi untuk menghindari gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
Pak Bupati dengan bangga memamerkan pertunjukan ‘tari perang tradisional’ yang diperagakan secara massal. Sangat mengagumkan melihat semangat mereka mempertontonkan tarian yang menggambarkan betapa dijaman dahulu perang suku sering tak dapat mereka hindarkan.
Saya sungguh terpesona dan tidak menyangka, bahwa Indonesia ternyata masih mempunyai sisa peradaban ‘purba’ disalah satu pelosok tanahnya.
Saya juga tak bisa memperkirakan, apakah gelombang peradaban jaman modern nantinya akan melibas juga adat dan tradisi penduduk asli Wamena. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Tetapi alangkah sayangnya. Barangkali anak cucu saya kelak tak akan lagi bisa menyaksikan ‘salak’ dan ‘papaya’ asli Wamena. 
Kalau koteka barangkali masih bisa dilihat di Museum atau toko cinderamata dimana saja di Papua.
Saya terbang pulang ke Jakarta dengan membawa beberapa koteka (tentu koteka baru ‘gres’, siapa yang mau membeli koteka bekas) sebagai kenangan.
Tapi sayang, saya tidak mungkin bisa membeli ‘salak’ dan ‘papaya’ Wamena, walaupun hanya sebiji. Itu hil yang mustahal, kan?



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar