Kamis, 31 Maret 2011

"MANTAN GUBERNUR MELANTIK GUBERNUR":




(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (34)

    
     Jawa Tengah mempunyai Gubernur baru

    Akhirnya tiba juga saatnya serah terima Jabatan dan Pelantikan Gubernur Jawa Tengah yang baru. DPRD Tingkat I Jawa Tengah dalam Sidang Paripurnanya telah menetapkan untuk memilih Letnan Jenderal Ismail sebagai Gubernur Jawa Tengah yang baru. Maka surat permohonan persetujuanpun dikirim ke Presiden lewat Mendagri. Tak berapa lama kemudian surat persetujuan dari Pemerintah Pusat telah turun. 
Mendagri atas nama Presiden mengeluarkan SK Penetapan Letjen Ismail sebagai Gubernur Kepala Daerah Jawa Tengah untuk masa jabatan lima tahun (1983-1988). 
Waktu pelaksanaan Serah Terima Jabatan dan Pelantikan segera ditetapkan pula. Ini adalah sejarah baru yang membanggakan bagi Provinsi Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah (baru) akan dilantik oleh Mendagri yang juga masih merangkap sebagai Gubernur Jawa Tengah (lama) sampai dilaksanakannya upacara serah terima jabatan itu. Sebuah peristiwa unik dan langka yang belum tentu akan dapat terulang lagi.

foto: dok. suara merdeka



Saya merasa ikut bangga dapat hadir menyaksikan peristiwa langka itu. Bahkan saya sekarang bertindak sebagai Ajudan Mendagri dalam Upacara Serah Terima Jabatan dan Pelantikan itu. Sayalah yang membawa naskah Pelantikan yang nantinya akan dibacakan oleh Mendagri dan harus ditirukan oleh Pejabat yang akan dilantik. Sekali lagi Gedung Olah Raga Jawa Tengah yang megah dan terletak didaerah Simpang Lima yang merupakan pusat kota Semarang, menjadi saksi bisu atas terjadinya peristiwa bersejarah itu. 
   
Upacara Pengambilan Sumpah terganggu 'sound system'

    Gedung Olah Raga Jawa Tengah adalah sebuah gedung yang didalamnya didisain seperti sebuah stadion, tapi dengan atap tertutup. Ditengah gedung terdapat fasilitas untuk lapangan olahraga, seperti basket, voli dan bulutangkis atau olahraga lain. Bahkan pernah pula dipakai untuk lomba marching-band. Disekeliling gedung itu terdapat tribun untuk tempat duduk penonton dengan barisan kursi (seperti yang biasa ada di tribun stadion) yang diatur letaknya semakin kebelakang semakin tinggi. Tribun itu terdapat dikeempat sisi gedung, dengan sebuah balkon untuk tribun VVIP. Sebetulnya gedung olah raga ini kurang sesuai untuk sebuah upacara seremonial. Karena sistem tata suara atau akustik nya didisain hanya untuk acara olah-raga, bukan untuk acara seremonial seperti Pelantikan Gubernur. Dindingnya jelas bukan tipe dinding yang kedap suara. Malah cenderung memantulkan gema. Satu-satunya pertimbangan memilih GOR menjadi tempat untuk sebuah event seperti Upacara Pelantikan Gubernur adalah karena kapasitas ruangannya yang dapat menampung ribuan orang sekaligus. Juga tempat parkir mobilnya yang cukup luas. Tapi masalah akustik sebenarnya dapat diatasi dengan sistem tata suara yang baik. Terbukti pada tahun 1974, sewaktu Upacara Serah Terima Jabatan dan Pengambilan Sumpah Jabatan Pejabat Gubernur Jawa Tengah  dari Mayor Jenderal Munadi kepada Mayor Jenderal Soepardjo, dapat terselenggara dengan cukup baik dan lancar. Akan tetapi entah mengapa hal itu tidak terjadi pada tahun 1983, saat berlangsung acara yang persis sama, Upacara Serah Terima Jabatan dan Pengambilan Sumpah Jabatan Gubernur Jawa Tengah.
    Pada waktu Mendagri Soepardjo Roestam sedang mengambil Sumpah Jabatan Letnan Jenderal Ismail sebagai Gubernur, terjadi hal yang sangat mengganggu jalannya upacara. Tata suara di GOR Jateng sangat buruk, sehingga menimbulkan gema. Disamping itu gemuruh suara audience entah mengapa ikut pula menambah ‘rusak’nya suasana. Seperti biasa sebagai seorang Ajudan saya harus berdiri tepat disebelah kiri belakang Mendagri Soepardjo sebagai Pejabat Pengambil Sumpah. Hanya beberapa meter didepan Mendagri (mungkin tidak sampai dua meter) berdiri Letnan Jenderal Ismail sebagai Pejabat yang mengangkat sumpah dan akan dilantik sebagai Gubernur Jawa Tengah yang baru. Pak Pardjo membaca naskah sumpah sebagaimana biasa, dengan kalimat per kalimat yang diucapkan secara tegas dan jelas. Saya yang berdiri dibelakang Pak Pardjo masih dapat mendengar semua kalimat dengan jelas, walaupun memang sedikit terganggu dengan tata suara yang bergema. Sayang tidak demikian dengan Pak Ismail.  Entah karena gugup atau entah karena tidak jelas mendengar (akibat suara yang bergema), beliau jadi agak kesulitan menirukan kalimat yang diucapkan Pak Pardjo. Beberapa kali Pak Pardjo mengulang kalimatnya karena terlihat Pak Ismail agak mengalami kesulitan menirukan kalimat sumpah. Pak Ismail sampai harus mencondongkan diri agak kedepan untuk menyimak lebih jelas, sambil matanya menatap kepada saya seolah memberi ‘kode’ agar saya ikut mengulang kalimat demi kalimat. Saya segera tanggap dengan situasi kritis ini. Repotnya para tamu justru seperti gelisah dengan mengeluarkan suara-suara yang tidak perlu. Suasana jadi sedikit gaduh. Saya berusaha ikut mengulang kalimat yang diucapkan Pak Pardjo, tapi dengan gerakan bibir yang saya buat lebih jelas, dengan maksud agar Pak Ismail bisa membaca gerak bibir saya. Rupanya ‘taktik’ saya cukup berhasil. Walaupun terkesan agak lebih lambat mengikuti, tapi Pak Ismail bisa mengulangi kalimat demi kalimat sumpah jabatan dengan lebih lancar. Dalam hati saya agak merasa geli juga karena Pak Ismail malah jadi seperti menirukan kalimat yang saya ucapkan hanya beberapa detik sesudah diucapkan oleh Pak Pardjo. Walau bagaimana, akhirnya Pengambilan Sumpah Jabatan pun dapat terselesaikan dengan cukup lancar.  Alhamdulillah.
Diruang tunggu VIP beberapa saat setelah Upacara usai, Pak Ismail berjalan menghampiri saya seraya berbisik pelan:
“Terima kasih telah membantu saya tadi”.
“Sama-sama Pak Gubernur, saya sekedar melaksanakan tugas” jawab saya.
Kini saya merasa lega, bukan karena dapat membantu Pak Ismail, tapi karena sekarang Pak Pardjo sudah tidak merangkap jabatan lagi. Jadi pola kerja yang ‘pontang-panting’ antara Semarang-Jakarta-Semarang pasti akan segera berakhir.

(Tidak seorangpun akan pernah mengira, bahwa kelak kemudian hari Gedung Olah Raga yang bersejarah dan megah itu -dimana Pak Pardjo dan Pak Ismail diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Gubernur Jawa Tengah-, secara ironis harus dirobohkan justru karena kebijakan Pak Gubernur Ismail sendiri, dengan alasan GOR Jawa Tengah itu dianggap sudah tidak tepat lagi lokasinya. GOR yang malang itu oleh Gubernur Ismail kemudian dipindahkan kearah selatan kota -yaitu disekitar daerah yang bernama Jatingaleh-, dimana dibangun sebuah komplek GOR baru yang dinamakan GOR “Jati Diri”. Disekitar Simpang Lima itu dahulu juga berdiri sebuah Gedung Pertemuan yang -untuk ukuran jaman itu- termasuk cukup besar dan megah. Namanya “Wisma Pandanaran”. Wisma ini dikelola oleh Dinas Pariwisata Kota Semarang dan biasa dipakai untuk Rapat-rapat Dinas dan Resepsi Pernikahan. Sayang Wisma inipun dianggap tidak cocok juga berada disekitar Simpang Lima, sehingga akhirnya malah diputuskan untuk dirobohkan!  Sekarang  lokasi bekas GOR Jawa Tengah dan Wisma Pandanaran yang ‘tergusur’ oleh Penguasa pada jaman itu sudah dibangun menjadi Pusat Perbelanjaan dan Hotel Bintang Lima. Generasi muda yang lahir di Semarang sesudah tahun 1984, dapat dipastikan tak akan tahu, benda apakah yang bernama GOR Jawa Tengah dan Wisma Pandanaran itu).



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar