Kamis, 24 Maret 2011

"PERGI KE TANAH SUCI, HARUS TUNGGU 'PANGGILAN' (ALLAH)?"




By mastonie on Saturday, May 15, 2010 at 12:18pm


“……mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup/kuasa mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa yang ingkar (terhadap kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya -tidak memerlukan sesuatu- dari semesta alam.
(Surah Ali Imran, QS. 3 : 97)


Ibadah haji merupakan bagian terakhir (rukun ke 5) dari rukun Islam. Orang (yang mengaku sebagai umat) Islam tanpa kecuali harus maklum bahwa rukun Islam adalah suatu hal yang WAJIB hukumnya untuk dilaksanakan. Khusus untuk ibadah haji memang Allah Swt (seperti tertera dalam ayat diatas) memberikan keringanan dengan menambahkan kalimat: yaitu bagi orang yang SANGGUP/KUASA mengerjakannya. Sanggup dan atau kuasa disini dapat diartikan sebagai mampu dalam arti moril maupun materiil. Artinya yang wajib menunaikan ibadah haji adalah seorang muslim yang mampu secara spirituil, yaitu, berakal, dewasa (baligh), SEHAT jasmani rohani. Dia juga harus mampu secara materiil, yaitu mempunyai BEKAL (biaya) baik untuk membayar ongkos naik haji, biaya hidup selama ditanah suci dan tentu saja biaya hidup untuk keluarga yang ditinggalkan ditanah air. Dua syarat ini saling erat berkaitan. Karena meskipun berbadan sangat sehat tapi tidak mempunyai biaya ATAU mempunyai harta yang lebih dari cukup tapi badannya tidak sehat, maka kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji ini bisa ditunda. Sampai kapan? Ya tentu saja sampai kedua syarat itu dapat terpenuhi.

Apakah kalau tak punya biaya boleh berhutang?
Rasulullah SAW ternyata tidak membolehkan hal itu. Simak kisah yang diceriterakan oleh Abdullah bin Aufa, ra: Ia bertanya kepada Rasulullah mengenai orang yang belum pergi haji, apakah ia boleh berhutang agar dapat menunaikan ibadah haji?
Rasulullah SAW dengan tegas bersabda: “TIDAK BOLEH” (HR. Baihaqi).

Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai orang-orang (beragama) Islam yang sudah memenuhi syarat (sehat dan punya biaya, bahkan kaya raya) tapi masih juga belum berniat untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima ini. Bahkan walau sekedar untuk pergi Umrah sekalipun. Padahal banyak diantara mereka adalah keluarga muslim kaya dan berkecukupan yang sudah sering pergi berwisata ke luar negeri guna mengisi waktu liburan bersama keluarga. Akan tetapi kalau kepada mereka (keluarga muslim yang kaya itu) ditawarkan untuk pergi ke tanah suci, jawabannya: “Nanti dulu”. Mengapa? Banyak alasan yang kita dengar. Yang paling sering adalah alasan: “Belum siap” atau “Nanti menunggu panggilan”.
Belum siap? Lalu kapan mereka akan siap? Sejatinya dalam hidup ini kapankah manusia benar-benar dalam keadaan siap? Alasan klise tentang “belum siap” ini nyatanya menjadi alasan yang sangat mudah diberikan dan tampaknya juga sangat mudah diterima. Sesungguhnyalah, sekali kita mengucapkan dua kalimat Syahadat, maka kita sudah harus siap dengan ‘resiko’ yang kita hadapi sebagai seorang muslim. Yang pertama tentu adalah kewajiban menjalankan segala syariat (Islam) seperti yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam dua rukun: Rukun Iman dan Rukun Islam. Jikalau Rukun Iman (mungkin) terasa ringan karena ‘hanya’ mewajibkan kita percaya dan yakin terhadap 6 (enam) hal saja, maka untuk melaksanakan Rukun Islam yang jumlahnya hanya 5 (lima) ternyata malah banyak orang yang merasa agak ‘berat’ -kecuali rukun Islam yang pertama: mengucap dua kalimat syahadat tadi-.
Dan rukun Islam yang terakhir adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk pergi haji sekali dalam seumur hidup bagi yang sanggup atau kuasa melakukannya. Meskipun tidak ada larangan juga untuk melakukannya lebih dari sekali, dengan catatan dia mampu. Akan tetapi meski hanya diwajibkan sekali seumur hidup, kenyataannya banyak diantara kita yang walau sudah memenuhi dua syarat (moril dan materiil) masih berusaha menghindar dengan bermacam dalih dan alasan. Termasuk dalih ‘belum siap’ dan ‘menunggu panggilan’ itu. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa ada sanksi (hukuman) bagi orang yang mampu/kuasa untuk pergi haji, tapi tidak mau melaksanakannya.

Dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Barangsiapa memiliki bekal dan kendaraan yang dapat membawanya menuju Baitul Haram, tetapi ia tidak melakukan haji, maka ia akan mati seperti (matinya orang) Yahudi”
(HR. Tirmidzi dan Baihaqi).
Naudzubillahi min dzalik...

Jadi sesungguhnya dalih atau alasan ‘belum siap’ dan ‘menunggu panggilan’ adalah alasan yang dicari-cari, kurang masuk akal dan tidak mencerminkan sikap seorang muslim yang taqwa kepada Allah Swt.
(Mungkin kita bisa mengambil sebuah analogi dalam masalah “SIAP” dan “TUNGGU PANGGILAN” ini. Jikalau seseorang sudah berniat untuk masuk kesebuah perguruan tinggi atau masuk bekerja disebuah instansi misalnya, maka tentu dia juga sudah harus siap melaksanakan apapun yang dibebankan dipundaknya sebagai seorang mahasiswa atau karyawan. Dengan demikian, sewaktu ia SUDAH bersatus sebagai mahasiswa atau karyawan, apakah dia masih perlu ‘menunggu panggilan’ lagi untuk mengikuti kuliah atau untuk masuk bekerja setiap hari? Bukankah hal itu sudah menjadi KEWAJIBANnya?).
Tentu saja memang tidak sesederhana itu persoalannya. Akan tetapi kira-kira intinya sama. Oleh karena itu saudaraku sesama muslim, marilah kita berusaha sekuat tenaga menjalankan semua kewajiban kita sebagai hamba Allah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Sang Khalik kepada hamba Nya yang taqwa.

Sejatinya Allah Swt telah berfirman dalam surah Adz-Dzariyat:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah (dan beribadah) kepada KU” (QS. 51 : 56).

Bagaimana dengan mereka yang masih terus menunda pergi ketanah suci (walau telah mampu) dengan berdalih “menunggu undangan/panggilan” Allah Swt? Apakah mereka menganggap haji sebagai semacam ‘resepsi nikah’ sehingga diperlukan undangan? Dan betulkah Allah Swt mengeluarkan undangan untuk sebuah kewajiban yang diberlakukan bagi hamba NYA?
“Aya-aya wae” begitu mungkin komentar orang Sunda. Apakah mereka tidak sadar bahwa kemungkinan yang terbesar adalah: bahwa UNDANGAN yang pasti akan dikirim setiap saat kepada kita oleh Allah Swt dan kepada semua mahluk Nya yang bernyawa hanyalah SATU: yaitu maut atau kematian. Yang PASTI akan kita terima kapan saja dimana saja. Dan KALAU MAUT  TELAH DATANG sebelum kita sempat pergi ketanah suci itu artinya kita ‘luput’ melaksanakan kewajiban memenuhi Rukun Islam yang terakhir karena keburu: Innalillahi……..

Sebagai umat Islam yang taqwa, maka apabila kita telah memenuhi syarat (moril dan spirituil) sebaiknya segera saja kita laksanakan perintah Allah Swt untuk pergi berhaji ketanah suci tanpa ‘reserve’. Tanpa alasan apapun. Bahkan lebih cepat lebih baik. Karena semakin muda usia kita dalam melaksanakan ibadah haji, maka akan semakin ringan terasakan semua syarat, rukun dan wajib haji yang harus kita kerjakan di tanah suci Nya. Kita ketahui bahwa ibadah haji bukanlah suatu pekerjaan yang RINGAN. Dibutuhkan kesiapan fisik dan mental yang betul-betul PRIMA. Oleh karena itu faktor usia juga harus menjadi salah satu pertimbangan untuk berangkat ketanah haram.
Adapun tentang hal MENYEGERAKAN HAJI ini, Rasulullah Saw pun pernah bersabda:
"BERSEGERALAH mengerjakan haji. Karena sesungguhnya seseorang tidak mengetahui apa YANG AKAN TERJADI pada dirinya (sewaktu-waktu)"
(HR. Achmad dari Ibnu Abbas r.a)


Sesungguhnya ibadah haji dan umrah bagi umat Islam adalah ibadah yang harus diutamakan.
Apalagi jika hanya dibandingkan dengan wisata keluar negeri bahkan keluar angkasa sekalipun.
Tentang keutamaan ibadah haji dan umrah ini, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Satukanlah haji dan umrah, karena keduanya menghilangkan dosa-dosa sebagaimana dapur api menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan haji mabrur itu pahalanya tidak lain adalah SURGA”
(HR. Nasai dan Tirmidzi seperti dikisahkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a)

Billahi taufiq wal hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar