Minggu, 27 Maret 2011

"AWAL SEBUAH CATATAN"




(dari draft buku : ”Catatan seorang mantan Ajudan” oleh mastonie)
 Tulisan bersambung (1)

(Selama lebih dari duapertiga masa dinas saya -yang nyaris 35 tahun- mengabdi sebagai PNS di Departemen Dalam Negeri, saya telah mendapatkan kepercayaan Atasan untuk menjalankan tugas sebagai “pelayan” Pejabat Tinggi Negara. Baik sebagai Ajudan maupun sebagai Sekretaris Pribadi. Dari tugas sebagai pendamping pejabat itulah saya mendapatkan banyak sekali pengalaman sangat berharga. Dari mulai keliling daerah se Provinsi, se Indonesia sampai nyaris keliling dunia ke lima benua. Oleh karena itu saya ingin membagikan pengalaman saya tersebut dalam tulisan yang saya rangkum selembar demi selembar berdasarkan ingatan dan catatan yang tersisa.  Dibawah ini kisahnya dimulai…..)

      Puluhan ribu yang bikin malu.
Lojigandrung[1], Surakarta,  awal tahun 1980.

“Matur sembah nuwun Pak (terima kasih, Pak), saya mengucapkan kalimat itu dengan takzim ketika menerima uluran selembar uang puluhan ribu rupiah.
Pak Gubernur Soepardjo yang memberikan uang tersebut, terbelalak.
Lho, kok terima kasih, piye to kowe iki, (bagaimana kamu ini) itu uang untuk beli rokok. Berikan sana buat piket dan sopir-sopir Lojigrandung!”.
Wadhuh biyung, (aduh Emak) bagaimana kok bisa begini tadi” kata hati saya menyesali. Pak Walikota dan beberapa Pejabat Muspida Tk. II Surakarta yang ada dirumah Dinas Pak Wali dan sempat ikut mendengar dialog tersebut kontan tertawa semua. Saya sendiri tidak dapat membayangkan wajah saya pada waktu itu. Entah merah padam entah pucat pasi, karena menahan malu. Wah, alangkah naif dan sembrono nya saya. Main sabet saja melihat uang puluhan ribu diulurkan. Tanpa tanya langsung mengucapkan terima kasih!
    Saya memang baru beberapa hari mendapat tugas sebagai  Ajudan Bapak Soepardjo Roestam, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
Peristiwa tersebut diatas adalah salah satu dari sekian banyak peristiwa memalukan yang mewarnai “sejarah” tugas pengabdian saya sebagai ajudan seorang Pejabat Tinggi Negara selama lebih dari 15 (lima belas) tahun. Kurun waktu yang relatif cukup panjang itu memakan hampir separuh dari masa dinas saya sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Dalam Negeri, sampai tiba saat saya pensiun.
    Saya sendiri tidak pernah mengira bahwa tugas saya sebagai seorang Ajudan akan bertahan sedemikian lama. Bahkan banyak yang mengomentari bahwa karir saya pasti akan mandeg  jika saya tetap bertahan pada bidang tugas yang itu-itu saja. Saya tidak pernah risau dan peduli. Seringkali saya juga mendapat olok-olok bahwa ADC -Ajudan- adalah singkatan dari A-ngkat D-junjung C-lub (ejaan lama).
Tentu yang dimaksud adalah sindiran sinis bagi para petugas ‘tukang tenteng’ tas Pejabat. Tidak apalah. Saya sih hanya angkat bahu saja. Prinsip saya hanya satu: selama masih ada orang yang memberi kepercayaan kepada saya, akan saya pegang kepercayaan itu. Sampai kapanpun. Walau tampaknya harus mengorbankan karir saya sendiri sekalipun. Sesungguhnyalah hal itu merupakan sesuatu yang (menurut pendapat banyak orang) benar-benar naif. Akan tetapi falsafah saya tentang kepercayaan dan kesetiaan terkait erat dengan keyakinan beragama saya. Saya anggap kepercayaan dan kesetiaan itu sebagai “Amanah”.  Menurut saya hal itu identik dengan rasa ikhlas dan tawakal dalam diri seseorang. Sepenuhnya menyangkut masalah nurani. Dan karena hidup hanya sekali, sayapun berprinsip: “Mengapa hidup harus dihiasi dengan sesuatu yang bertentangan dengan nurani?
Sekalipun tugas dan tanggung jawab saya sebagai seorang Ajudan tidak pernah saya harapkan, namun ketika pada suatu hari tawaran -atau lebih tepat disebut sebagai perintah- untuk bertugas menjadi Ajudan seorang Kepala Daerah Tingkat I alias Gubernur, disampaikan kepada saya, betapapun berat tugas yang harus saya sandang, saya tidak kuasa menolaknya.


bersambung......


[1] Nama Rumah Dinas Walikotamadya Surakarta, di Jl. Slamet Riyadi Solo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar