Jumat, 18 Maret 2011

"DIGANGGU 'PENUNGGU' LAWANG SEWU"


(1)

                                     Released by mastonie on Friday, May 28, 2010 at 7:29pm
Wajah Asli "Lawang Sewu" (dibangun tahun 1868)    foto: google



(Jauh sebelum ada acara ‘Dunia lain’, ‘Uka-uka’ dan kisah misteri mahluk halus lainnya yang menjamur di media elektronika -radio dan televisi-, saya pernah mengalami sendiri diajak ‘bercanda’ si “Penunggu Lawangsewu”…..)

“Wa immaa yanzaghannaka minasy-syaithaani nazghun fasta’idz billaahi innahu huwas samii’ul ‘aliim” (Fushshilat, QS. 41 : 36).
(Dan jika engkau diganggu oleh setan dengan suatu gangguan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).

Kisah ini terjadi sekitar tahun 1964 ketika saya masih duduk dibangku salah satu SMP di Semarang. Asal tahu saja, SMP saya bukan Sekolahan biasa lho.
Terletak di Jl. Majapahit, SMP Negeri II adalah sebuah sekolah yang cukup bergengsi dan bersejarah karena merupakan gedung kuno bekas gedung sekolah MULO (SMP jaman Belanda).

"Tugu Muda"         foto: Team Touring.
Sebagai ibukota Provinsi, kota Semarang memang terkenal mempunyai banyak sekali gedung dan bangunan tua atau kuno yang dibuat pada waktu jaman “Hindia Belanda”.
Salah satu gedung yang bahkan menjadi ‘landmark’ (ciri/penanda) kota adalah “Lawang Sewu” (Pintu Seribu). Serta sebuah bangunan yang tegak berdiri didepannya yang dikenal sebagai “Tugu Muda” (saya juga bingung, sejak saya masih sekolah di TK sampai sekarang sudah lansia koq Tugu itu masih Muda terus…..).

Markas Kereta Api yang jadi markas Tentara.

"Lawang Sewu" saat ini         foto:mastonie
“Lawang Sewu” adalah bangunan kuno bekas milik NIS (Nederlands Indische Stoomfrein Maatschappy, Perusahaan Kereta Api -milik-Pemerintah Hindia Belanda). Walaupun dibangun pada tahun 1868 M (!), gedung bertingkat dua ini sudah memiliki “basement” (ruang bawah tanah) berupa ruangan dan kamar yang luas. Satu hal lagi, bangunan ini memiliki ciri arsitektur tempo doeloe yang khas, lain daripada yang lain. Dilihat dari arah mana saja, maka yang tampak paling menonjol adalah banyaknya pintu dan jendela yang berukuran sangat besar. Oleh sebab itu -mungkin- orang lalu menjulukinya dengan nama “Lawang Sewu” (Pintu Seribu). Nama (julukan) yang jelas lebih gampang diucapkan oleh lidah Jawa dan tentu saja juga mudah diingat. Orang Jawa memang terkenal pintar memberi nama julukan yang sering dibuat lebih ‘hebat dari aslinya’. Padahal mungkin jumlah pintu yang ada digedung itu tidak sampai sebanyak itu.
Terletak ditempat yang sangat strategis ditengah kota, Lawang Sewu berdiri dipojok antara dua jalan raya utama kota, Jalan Bojong (kini Jl. Pemuda) dan Jl. Pandanaran.
Tampilan gedung ini memang anggun, berwibawa dengan dua buah minaret (menara kecil) yang menjulang  dibagian depan bangunan. Sementara itu ada dua pintu gerbang masuk yang menghadap kearah dua jalan besar itu tadi.
Awalnya bangunan kantor ini dipakai sebagai markas Jawatan KA Hindia Belanda, namun sejak proklamasi kemerdekaan RI, bangunan ini dipergunakan tentara untuk markas Divisi Teritorium IV/Diponegoro. Yang dikemudian hari berubah jadi Kodam VII/Diponegoro dan akhirnya berubah lagi menjadi Kodam IV/Diponegoro. Salah seorang Panglimanya yang terkenal adalah Soeharto yang akhirnya menjadi Presiden RI selama lebih dari tiga dasawarsa.
Sejak jaman perang kemerdekaaan nama Lawang Sewu ini sudah cukup terkenal. Terutama ketika terjadi peristiwa “Perang Lima Hari” dikota Semarang. Perang yang berlangsung ‘full’ selama lima hari ini terjadi disekitar Lawang Sewu dan Tugu Muda.
Banyak saksi mata yang selamat mengatakan bahwa perang itu adalah benar-benar pertempuran hidup mati antara tentara Pejuang bersama para pemuda Semarang melawan bala tentara ‘Kidobutai’ -semacam Polisi Militer- Jepang yang bermarkas di Srondol (kini jadi markas ‘Banteng Raiders’, pasukan tempur elit milik Kodam IV/Diponegoro). 
Konon di Lawang Sewu inilah banyak pejuang dan pemuda Indonesia ditawan, disekap, dan disiksa lalu dibunuh. Banyak pula yang bercerita bahwa ada ratusan pemuda dan pejuang yang disekap tentara Jepang diruang bawah tanah Lawang Sewu dan disiksa sampai mati. Jenasahnya dibiarkan membusuk dalam ruangan-ruangan itu. Sejak saat itulah muncul cerita burung dan kisah seram berbau misteri di Lawang Sewu.

Nostalgia jarum suntik dan soto.

‘Hubungan’ saya dengan Lawang Sewu boleh dikata cukup dekat. Tidak lain karena ayah saya bekerja sebagai pegawai sipil dibagian keuangan Divisi Diponegoro yang berkantor di gedung ini. Oleh karena itu saya sering ‘blusak-blusuk’ (keluar masuk) ke kantor ayah yang -seperti kantor tentara yang lain- termasuk ketat pengamanannya.
Dulu disebelah kiri depan Lawang Sewu ada bangunan kecil yang dipergunakan sebagai Poliklinik khusus untuk pegawai, anggota tentara dan keluarganya. Biasanya kalau saya sakit, ke Poliklinik inilah saya dibawa oleh ayah atau ibu.
Dan sesudah saya menangis meraung-raung karena disuntik, (harap maklum, waktu saya masih berumur sekitar 7 tahunan, saya sering sekali menderita sakit. Jadi kalau disuntik dengan alat injeksi yang harus dibakar dulu jarumnya -karena belum ada jarum ‘disposible’ / sekali pakai- tentu saya takut setengah hidup), maka sebagai hadiah hiburan bagi saya adalah diajak pergi ke kantin di kantor ayah.
Kantin ini terletak ‘nylempit’ -terselip- disebuah gang dilantai satu Lawang Sewu.

Menu yang ada antara lain soto ayam yang -menurut selera saya- rasanya sangat lezat. Hmmmm…. naaaak… naaaannn.., dan sayapun dibolehkan minta tambah (tentu tergantung ‘sikon’ dompet ayah saya).
Betul-betul sebuah kenangan yang traumatis (karena disuntik) sekaligus menyenangkan (karena soto yang lezat).
Oleh karena itulah sampai sudah setua ini saya masih takut sekali kalau harus disuntik.
Akan tetapi tentu saja saya masih suka sekali makan soto.


Diajak bercanda si "penunggu" Lawang Sewu.
 
Tapi beberapa tahun kemudian (ketika saya sudah duduk dibangku SMP) saya juga mempunyai kenangan yang menyeramkan di Lawang Sewu itu.
Saya tidak tinggal serumah lagi dengan orang tua sejak saya kelas 2 SMP.
Saya hidup ‘ngenger’ -numpang- dirumah simbah (kakek dari fihak ibu saya). Saya berketetapan hati untuk mulai belajar hidup mandiri. Cuma terkadang masih tergantung pada ‘pasokan’ beras beberapa kilo dan uang saku yang tidak seberapa besar dari ayah. Pasokan logistik itu juga tidak tentu waktunya.
Pokoknya waktu itu hidup saya betul-betul memrihatinkan.
Pada suatu siang hari saya datang kekantor ayah di Lawang Sewu untuk mengambil jatah beras. Tetapi ayah  menyuruh saya datang kembali sesudah magrib, karena ayah masih sibuk sekali.
Sesuai pesan ayah, saya datang kembali ke Lawang Sewu sesudah magrib (demi beberapa kilo beras dan beberapa rupiah uang saku).
Hari sudah mulai gelap. Kantor ayahpun yang ada di lantai satu Lawang Sewu terlihat sepi. Lampu-lampu juga sudah banyak yang dimatikan. Dalam situasi remang-remang itulah saya mendengar suara beberapa orang mengobrol dan tertawa-tawa. Saya mendapati pintu ruangan ayah saya sudah terkunci.
Gelap disekeliling saya. Tapi masih terdengar suara-suara tadi.
Dalam keremangan cahaya sayapun bergerak menuju arah suara tersebut. Siapa tahu ayah saya berada diantara mereka. Diseluruh lantai satu ternyata tidak ada seorangpun manusia!
Saya ikuti suara-suara itu, ternyata datangnya dari lantai dua. Sebetulnya saya bukan termasuk anak yang pemberani amat. Tapi mungkin karena dorongan  'iming-iming' mendapat beras dan uang saku, maka saya nekat mendekati arah datangnya suara-suara itu.
Melewati tangga dari pintu utama saya naik menuju ke lantai dua.
Keadaan lantai dua ternyata lebih gelap lagi. Semua lampu telah dipadamkan. Dalam keadaan kebingungan saya mendengar suara percakapan dan orang tertawa semakin keras dan seolah berada ditempat yang tidak jauh. Sayapun mendekati arah suara itu. Sekarang jelas sekali suara-suara itu terdengar dari salah satu ruangan. Perlahan saya dekati ruangan itu.
Astagfirullah! Ruangan itu ternyata dalam keadaan terkunci dan gelap gulita. Tapi suara-suara orang tertawa semakin keras, seolah menertawakan kehadiran saya.
Bulu kuduk saya tanpa diperintah langsung berdiri tegak semua. Tangan dan kaki mendadak terasa dingin, napas saya sesak. Suara tertawa menggoda yang tiba-tiba jadi hilang timbul disekitar saya berdiri itu membuat tubuh saya kaku. Kaki saya rasanya begitu berat digerakkan.  
Matik aku….!! Pasti suara ‘para penunggu’ Lawang Sewu nih kata hati saya. Saya kuatkan hati membaca do’a seingat dan semampu saya saja.
Begitu kaki saya terasa agak ringan, saya langsung balik badan dan ‘rindik asu digitik’ (secepat anjing yang dipukul) saya lari sipat kuping (cepat sekali) menuju lantai satu yang kali ini rasanya seperti amat sangat jauh sekali.
Dengan nafas ngos-ngosan bahna takut saya ngebut menuruni tangga dan melesat lewat pintu utama, langsung lari keluar dari Lawang Sewu! Keringat membasahi seluruh pakaian ditubuh saya, badan gemetar seperti orang kena serangan malaria. Anehnya mulut saya terasa terkunci. Bahkan sekedar untuk mengucap 'ba' atau 'bu' sekalipun.
Tentara penjaga di “Gardu Monyet” hanya sempat berteriak: “Heiii!!”, saat melihat ada seorang anak laki-laki berlari kesetanan keluar dari dalam gedung. Saya tidak peduli. Rasa takut telah memberi kekuatan ekstra pada diri saya walau tanpa minuman suplemen merk 'ekstra ngosss' !!
Saya terus saja berlari, menyeberangi Jalan Bojong (kini Jl. Pemuda), masuk ke Jalan Poncol (kini Jl. Imam Bonjol) dan lari ngibrit terbirit-birit (untung tidak cepirit!) pulang kerumah Simbah didaerah Pendrikan.
Jarak sekitar tiga perempat kilometer saya tempuh tidak sampai sepuluh menit. Kalau waktu itu ikut lomba marathon, barangkali saya jadi juaranya.
Simbah kakung terheran-heran melihat cucunya masuk rumah dalam kondisi lusuh, pucat pasi dan gemetaran. Tapi beliau tak sempat lagi bertanya, karena saya buru-buru masuk kekamar dan langsung terkapar. Dari kejauhan suara adzan Isya terdengar samar-samar.
Didalam hati saya terus menerus membaca doa yang (konon) paling sering dibaca oleh Baginda Rasulullah Saw, doa yang oleh orang Jawa disebut doa “Sapu Jagad”:
“Robbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar……”
(Ya Allah Tuhan kami, berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan jauhkanlah kami dari api neraka).


1 komentar:

  1. Wah ceritanya seru juga Pak, tapi sayang tidak lanjut sampai ketemu bapaknya...

    BalasHapus