Rabu, 30 Maret 2011

"MENDARAT DARURAT DI........KANTOR CAMAT"

(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
 Tulisan bersambung (24)

 Heli BO 105 TNI-AD       fotos: google


Released by mastonie on Monday, May 24, 2010 at 7:02pm

(Kejadian ini terjadi sekitar akhir tahun 1979 didaerah Bumiayu. Beberapa kali saya 'nyaris' mengalami musibah bersama "Pak Gub". Dibawah ini salah satu kisahnya....).


Menko Kesra Jenderal Surono selaku sesepuh DHN Angkatan ’45 Pusat mengundang Gubernur Jawa Tengah untuk “Napak Tilas” Perjuangan TRIP dilereng gunung Slamet, didaerah Bumiayu, Brebes. Pak Rono bersama rombongan berangkat dari Cilacap (karena beliau punya rumah milik keluarga di Cilacap), langsung menuju kelokasi napak tilas yang terletak dilereng sebelah barat Gunung Slamet.
Karena kalau ditempuh dengan jalan darat bisa memakan waktu sekitar 4 – 5 jam., maka  guna menyingkat waktu, Pak Gub memerintahkan kepada Pak Sukamto Haryono (Kabag Sandi Telkom Pemda), untuk meminjam pesawat helikopter milik Penerbad. 
Sekedar untuk diketahui, bahwa mengingat jasa Pak Gubernur Soepardjo yang banyak memberikan fasilitas untuk Lanud (Pangkalan Udara) Ahmad Yani Semarang, maka Komandan Pusat Penerbad berbaik hati menyediakan sebuah pesawat heli BO 105.
Helikopter ini secara khusus  dipinjamkan kepada Pak Gubernur setiap saat diperlukan.  
Kapanpun  dan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.

BO 105 versi Heli serang milik Spanyol
BO 105 adalah pesawat helikopter ukuran kecil buatan Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) Jerman, mempunyai 2 buah mesin turboshaf buatan Allison tipe 250-C20B dengan kekuatan masing-masing 400 HP. 
Kapasitas maksimal BO 105 (termasuk Pilot dan Co Pilot) hanya 5 orang.

Hari itu kebetulan jatuh hari Minggu. Jadi Pak Pardjo memutuskan untuk hanya mengajak Assisten II Sekwilda Jateng, Pak Karsono Kramadireja.
Dengan demikian Heli terisi ‘full’. Dikursi penumpang duduk Pak Pardjo (disebelah kanan), Pak Karsono, dan saya duduk dikursi pinggir sebelah kiri. 
Ketika melihat Pilot dan Co Pilot yang bertugas, Pak Pardjo terlihat agak heran. Biasanya yang menjadi Pilot in command (kapten pilot) adalah Komandan Lanud sendiri yang berpangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi  kali ini yang bertugas sebagai Pilot berpangkat Kapten didampingi Co Pilot yang baru berpangkat Letnan Dua. Tapi karena mesin heli sudah dinyalakan dan siap mengudara, Pak Pardjo hanya sempat mencolek saya:
”Nanti tanyakan pada Kamto, Dan Lanud kemana”. Saya hanya mengangguk.
Maka helipun mengudara. Cuaca diatas kota Semarang agak mendung. BO 105 menjelajah diatas pesisir utara Laut Jawa, diketinggian sekitar 3.000 feet (sekitar 1000 meter) saja. Jadi pemandangan dibawah masih terlihat jelas. Mendekati kota Kendal cuaca mulai berubah. Hujan turun rintik-rintik. Mulai deras ketika masuk kota Batang. Meskipun begitu pemandangan belum terhalang.
Kota Pekalongan terlewati, saya masih bisa melihat stasiun Pekalongan dengan jelas. Selepas Pemalang hujan mulai turun dengan deras. Jarak pandang semakin pendek. Dua orang crew terlihat sibuk membolak-balik peta udara, sambil melongak-longok keluar. Pak Pardjo tampak sudah tidak sabar.
Hujan semakin deras, angin juga bertiup kencang. Kabut hujan menutup pemandangan disekitar heli. Saya merasakan heli terbang seperti berayun kekanan kiri. Semua berwajah tegang. Saya berusaha menenangkan diri, dingin menyeruak kesekujur badan. Bukan karena dinginnya cuaca. Karena takut!
Siapa coba yang tidak merasa "ngeper"? Kalau naik angkot bisa minta berhenti disembarang tempat, lalu loncat turun. Lha ini naik helikopter jeee.....
“Bisa terlihat ndak lokasinya, dik?” tanya Pak Pardjo kepada Kapten Pilot.
“Seb..sebentar jenderal, sedang kita cari” jawab Kapten Pilot yang memang baru Kapten pangkatnya.
Pak Pardjo kelihatan sudah tak sabar lagi.
Saya pikir heli sudah masuk wilayah Tegal.
Samar-samar saya lihat tempat rekreasi dipinggir pantai dekat kota Tegal.
“Sini petanya, biar saya yang cari” perintah Pak Pardjo lagi. Hujan semakin deras. Pak Karsono mulai ikut mencari-cari arah lokasi. Kalau heli tidak menurunkan ketinggian, rasanya susah menemukan lokasinya.
“Coba you turunkan ketinggian, lalu belok kekiri cari jalan yang menuju kearah selatan” perintah Pak Pardjo lagi.
“Siap Jenderal”, dan helipun menikung kekiri dan merendah.
Tidak tampak apa-apa karena hujan semakin lebat. Angin bertiup sangat kencang. Suara heli kalah oleh suara hujan, angin dan halilintar yang menyambar-nyambar.
Sambil berusaha ikut melihat kebawah untuk mencari jalan raya jurusan Bumiayu, saya pasrah, berdoa kepada Allah Swt mohon perlindungan keselamatan bagi semua. Berkali- kali saya baca semua doa selamat yang saya hafal. Tentu tak ketinggalan doa 'sapu jagad'.
“Bisa turun lagi nggak?” seru Pak Pardjo. Kapten Pilot tidak menjawab tapi kelihatannya berusaha menurunkan lagi ketinggian helinya. Samar-samar mulai terlihat jalanan dibawah.
“Pak Karsono, betul nggak itu jalan ke Slawi?” Pak Pardjo bertanya ke Pak Karsono yang sekarang juga ikut sibuk melihat kebawah. Hening sejenak. Pak Karsono tampak konsentrasi.
“Kadosipun leres Pak, punika Lebaksiu” (Tampaknya betul Pak, itu Lebaksiu) Jawab Pak Karsono sedikit ragu.
“OK, Kep, jaga ketinggian, ikuti terus saja jalan dibawah itu” perintah Pak Pardjo lagi. Diam-diam saya agak geli. Siapa sebetulnya yang jadi Kapten Pilot? Helipun kini terbang ekstra rendah. Kabel listrik dan telepon terlihat sangat dekat. Tapi jalan raya dibawah jadi kelihatan tampak lebih jelas. Hujan tidak juga reda. Balapulang terlewati, kemudian Tonjong, kini heli sudah berada diatas Bumiayu. Jembatannya tampak terlihat dengan jelas. Juga pasarnya.
“Nah ini Bumiayu. Bisa nggak kita terbang lebih keatas lagi sedikit?” tanya Pak Pardjo.
“Maaf Jenderal, sepertinya cuaca diatas agak ‘closed’”jawab sang Kapten.
“Jadi bagaimana? Apa kita bisa mendarat dekat jalan raya? Coba cari lapangan disekitar sini” perintah Pak Pardjo.
“Siap Jenderal”. Kapten Pilot kemudian menerbangkan helinya berkeliling sekitar jalan raya sambil sesekali melakukan teknik ‘hovering’ (terbang diam ditempat atau mengambang diudara). Dibawah tampak ada sebuah lapangan cukup luas yang terletak disamping sebuah bangunan kantor dipinggir jalan. Orang-orang kelihatan berlarian mendekati lapangan dan sepertinya sibuk bersorak-sorai. Bagi penduduk didaerah seperti Bumiayu, helikopter pasti bukan ‘tontonan’ sehari-hari. Apalagi kini -ditengah hujan lebat- helikopternya mau mendarat!
“Bagaimana Kep, bisa kita mendarat disini?”
“Siap Jenderal, akan kami usahakan. Mudah-mudahan orang-orang itu mau menyingkir”.
Hujan tak juga reda. Heli mulai ‘olah gerak’ untuk bersiap mendarat. Dibawah terlihat beberapa orang berseragam Hansip mulai mengatur orang-orang untuk menjauhi lapangan. Angin yang diakibatkan oleh baling-baling heli juga membuat orang-orang menjauh dan membentuk semacam lingkaran. Dilihat dari atas tampak bagus. Alhamdulillah, akhirnya helikopter bisa mendarat dengan selamat. Rupanya "landing zone" dadakan ini adalah lapangan yang berada disamping Kantor Kecamatan Bumiayu. Saya bergegas melompat turun. Hmmmmm....lega rasanya bisa menginjak bumi lagi. Saya hampiri seorang Hansip untuk memberitahu bahwa yang ‘mendarat’ adalah Pak Gubernur. Wajahnya yang lugu tampak keheranan. Tapi reaksinya lumayan cepat. Saya tanyakan dimana Pak Camat.
“Wah Pak Camat sudah ‘naik’ Pak. Sejak kemarin malah. Kan ada Pak Menteri datang” kata Pak Hansip menjelaskan.
Saya jelaskan situasinya pada Pak Pardjo. Beliau tampak faham. Kini masalahnya adalah, bagaimana kita bisa sampai ke lokasi “Napak Tilas” dalam suasana hujan tak berkesudahan ini. Dengan cepat dan selamat, tentu saja. Naik mobil jelas tak mungkin. Jalan keatas sangat licin dan hanya bisa dilalui sepeda motor. Solusi ‘cerdas’ ternyata datang dari Hansip.
“Kalau mau cepat ya naik ‘ojek motor’ Pak” katanya menawarkan. Pak Parjo ternyata setuju. Mungkin karena beliau melihat tidak ada alternatif lain. Maka dipanggillah tiga orang pengojek sepeda motor. Dua orang crew heli diperintah Pak Pardjo untuk menunggu kita kembali. Untung hujan mulai mereda. Jadilah kita bertiga ‘membonceng’ ojek motor untuk menuju lokasi Upacara “Napak Tilas”. Asal tahu saja, yang dimaksud ojek motor didaerah ini adalah sepeda motor “trail” yang biasa dipakai untuk cross country itu. Jadi model spakbor nya mini alias kecil sekali. Sedangkan roda motornya model ban pacul. Maka bisa dibayangkan cipratan lumpur yang dihasilkannya. Ketika ojek kita mulai berjalan, ternyata para pengojek lain yang tidak disewapun akhirnya ikut ramai-ramai membuntuti ojek yang ditumpangi ‘Pak Gub”. 
Maka jadilah “Pawai Ojek dadakan’ menuju lokasi ‘Napak Tilas’. Perjalanan ‘vivere pericoloso’ (nyerempet bahaya) dengan ojek motor dalam rintik hujan ini berlangsung kurang lebih sekitar setengah jam. Meski dengan susah payah dan terhempas-hempas, akhirnya sukses juga para "ojeker" itu membawa kita sampai ke lokasi dengan selamat. Meskipun jelas sudah agak terlambat.
Esok paginya koran se Jawa Tengah menayangkan berita dengan judul dan foto besar-besar dihalaman pertama:
“GUBERNUR SOEPARDJO NAPAK TILAS DENGAN NAIK OJEK”.

Rupanya wartawan lebih tertarik dengan berita Pak Gub naik ojek, daripada berita heli Pak Gub yang hampir saja tidak dapat mendarat! 



bersambung.....

1 komentar: