Rabu, 30 Maret 2011

"TEKA-TEKI YANG MEMBAWA MUSIBAH..."


(dari draft buku:"Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (17)


by mastonie on Thursday, June 3, 2010 at 10:27am
(Sebelum hari H penempatan saya sebagai Ajudan Gubernur, saya masih ditugaskan oleh Pak Rasiman -Kepala Bagian Protokol Pemda Jawa Tengah- untuk mengatur jalannya Upacara Hari Penghijauan Nasional Tingkat Propinsi yang dipusatkan di Bumi Perkemahan Kendalisodo, Kabupaten Banyumas. Bapak Gubernur Soepardjo bertindak sebagai IRUP -Inspektur Upacara-. Ini menjad tugas terakhir saya sebagai 'Protokol Gubernur' dan ini kisah nyaris terkena musibah yang kesekian kali......)

Hari sudah lepas lohor ketika upacara Hari Penghijauan berakhir. Setelah acara jamuan santap siang di Pendopo Kabupaten Banyumas, saya bersama beberapa teman dari Bagian Protokol mendahului rombongan Bapak Gubernur kembali ke Semarang. Rombongan Bapak Gubernur seperti biasa masih menyempatkan meninjau beberapa tempat sesuai kehendak Beliau sendiri dan tidak perlu diatur petugas Protokol.
Kami sengaja mendahului pulang karena saat itu sudah mulai musim penghujan. Sedangkan mobil dinas bagian Protokol yang kita pakai adalah sebuah jip merk Nissan yang sudah uzur usianya (buatan tahun 1968) tapi sangat besar jasanya. Dengan mobil tua itulah kita sudah berkeliling keseluruh daerah di Jawa Tengah.
Seperti biasanya, rute yang kita tempuh sore itu adalah Purwokerto – Purbalingga – Wonosobo – Temanggung – Semarang. Ini rute terpendek menuju Semarang, meskipun jalannya berliku-liku dan naik turun namun mempunyai pemandangan sangat indah.
Lepas dari kota Wonosobo, mendekati sebuah kota kecamatan bernama Parakan (yang terkenal dengan perkebunan tembakaunya) kita melewati sebuah tikungan cukup tajam yang konon menurut cerita orang-orang sekitar dikenal “wingit” (gawat/angker). Ditandai dengan adanya beberapa pohon tua yang besar -entah mahoni entah randu alas– yang ditanam (sejak jaman penjajahan Belanda) dikiri kanan jalan. Sambil berkelakar saya melemparkan pertanyaan teka-teki kepada Yitno, (salah seorang sopir di Bagian Protokol) yang pada saat itu sedang konsentrasi mengemudi.
“Dik Yitno, coba tebak apa gunanya pohon–pohon besar ini ditanam dikiri kanan jalan?” Yitno dan beberapa teman mencoba menjawab. 
Ada yang menjawab dengan gaya “plesetan”. Tapi dengan cepat saya jawab sendiri :
“Salah semua. Pohon-pohon itu, berguna untuk rem cadangan”.
“Lho kok bisa ?” jawab Yitno heran.
Saya menjawab sambil cengengesan.
“Ya kalau ndak percaya coba saja. Kalau ada mobil yang remnya blong kan tinggal nabrak pohon itu. Dijamin halal 100 persen, mobilnya pasti berhenti, kalau tidak berhenti uang kembali. Ayo dibuk…”
Belum selesai saya mengucapkan kata–kata itu mendadak terdengar suara keras berderak-derak dan mobil seolah–olah dibanting dengan keras kesebelah kiri. Padahal jurang lebar dan dalam menganga disana!
Astaghfirullah!  Mobil berhenti tiba–tiba. 
Posisi mobil melintang dan separo badan mobil keluar dari badan jalan! Kita semua bergegas meloncat turun. Semuanya berwajah pucat pasi. Cuaca pada saat itu mendung tebal dan hawa dingin pegunungan yang menusuk tulang langsung menyergap. Yitno segera masuk kolong mobil untuk memeriksa. Setelah diperiksa dengan seksama ternyata as kopel  (alat penggerak roda) mobil jip tua itu patah !
Yitno menggerutu panjang pendek:
“Ini pasti gara–gara teka–teki Pak Tonny tadi !”
Meskipun masih gemetaran, saya cuma menjawab dengan senyum kecut.
Apakah guyonan itu didengar yang “mbahurekso” (penunggu atau penguasa) pohon–pohon itu dan oleh karenanya langsung dibuktikan? Wallahu’alam bissawab!
Hari semakin sore. Oleh karena itu Yitno segera kami minta untuk mencari bantuan ke kantor Kabupaten Temanggung, dengan naik angkutan umum. Kami para penumpang duduk-duduk dipinggir jalan menunggu mobil yang teronggok melintang!
Dalam suasana hujan rintik–rintik kami ngobrol kesana kemari sambil membayangkan alangkah nikmatnya makan soto Parakan –diwarung makan dekat jembatan Parakan– yang terkenal hangat dan sangat lezat itu.
Tiba–tiba dari kejauhan saya lihat sekelebat mobil dinas Pak Gubernur!
Jip merk Toyota seri Landcruiser buatan tahun 1974 berwarna amber (kuning agak kecoklatan) –warna favorit Pak Pardjo– terlihat menurun dengan kecepatan yang cukup tinggi.
“Awas, Pak Gubernur lewat!” teriak saya spontan.
Tanpa dikomando kami semua melompat bangun dan berdiri dipinggir jalan menanti lewatnya mobil Pak Gub. Masih dengan kecepatan yang cukup tinggi, mobil Pak Gub melewati tempat dimana kami nyaris celaka. Kami semua memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan. 
Mobil Pak Gubernur sudah lewat sekitar 200 meter, ketika mendadak berhenti dan mundur lagi menghampiri kami yang terheran-heran. Pak Tris (Ajudan yang saat itu sedang bertugas) terlihat turun dan bergegas menemui kami.
“Ada apa nih, hujan–hujan begini pada nongkrong dipinggir jalan?”. Tanyanya serius.
“Nongkrong gimana, kita nggak bisa pulang nih Pak, mobilnya patah as kopelnya” jawab saya dengan raut muka saya buat sesedih mungkin. Setelah melihat keadaan mobil kami, Pak Tris kembali melapor ke Pak Gubernur yang tetap berada dalam mobil. Tidak berapa lama Pak Tris kembali lagi kearah kami.
“Nih, dapat bantuan dari pak Gub buat membetulkan mobil dan makan soto”, katanya sambil menyodorkan beberapa lembar uang.
Alhamdulillah, ini yang namanya “soto dicita duwit tiba” !
Beramai–ramai kita mendekati mobil Pak Gub untuk mengucapkan terima kasih. Beliau sempat membuka kaca jendela mobil dan berpesan agar kita semua hati–hati. 
Sebelum masuk ke mobil Pak Tris menyempatkan mendekati saya sambil berbisik:
“Kang, gek ndang gage (Mas, bersegeralah) aku sudah capek nih dinas sendirian !”
Maksud Pak Tris mengingatkan saya agar segera bertugas menjadi Ajudan Gubernur, karena waktu itu Pak Tris menjadi satu-satunya Ajudan Gubernur. Apalagi SK Pengangkatan saya (sebagai Ajudan Gubernur) memang sudah terbit. Hanya menunggu waktu sesuai tanggal penetapan yang masih kurang beberapa hari lagi.
“ Lhadalah, kan SK saya belum jatuh tempo? “ jawab saya sambil cengengesan.
“ Ambumu !” jawab Pak Tris sengit sambil berlalu.
Mobil dinas yang “ketulah” (kena musibah) akhirnya berhasil diderek ke Temanggung untuk diperbaiki. 
Dan atas kebaikan hati Bupati Temanggung (yang ternyata telah ditelepon oleh Pak Tris, tentu atas perintah Pak Gub), malam itu juga kita dapat kembali ke Semarang dengan selamat. 

Demikianlah, masa transisi penugasan saya sebagai Staf Protokol (sampai akhirnya dipercaya atasan untuk menjadi "orang yang paling dekat" dengan Gubernur Jawa Tengah) telah saya lewati dengan selamat. Alhamdulillahi robbil 'alamin.
Setelah itu saya harus menapaki “jalan baru” yang betul-betul baru dalam karir kepegawaian saya, menjadi Ajudan (yang tak lain adalah ‘pembantu’) dari seorang Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah. 
Saya mulai melangkah menghadapi tugas baru itu dengan sebuah doa yang diajarkan oleh  (almarhum) ayah mertua saya, setiap akan mengawali mengerjakan sesuatu: 
"Bismillaahi tawakkaltu ‘alallaahi, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahi". 
(Dengan nama Allah, dan dengan bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah).



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar