Kamis, 31 Maret 2011

"MENDAGRI SOEPARDJO MULAI BEKERJA"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (35)


Masuk kerja kepagian, buka pintu ruangan sendiri.

    Sewaktu berada di Jakarta untuk menjalankan tugas sebagai Mendagri, Pak Pardjo langsung menerapkan jurus ‘speed and power game’ nya lagi. Seperti kebiasaan pada waktu jadi Gubernur Jawa Tengah, setiap hari beliau akan berangkat ke Kantor pada pukul 06.30 pagi. Jarak antara Jalan Dharmawangsa ke Jalan Medan Merdeka Utara (lokasi kantor Depdagri) sekitar 20 kilometer yang bisa ditempuh dengan bermobil dalam waktu sekitar 20 sampai 35 menit. 
Pada tahun 1983 Jakarta belum terlalu padat dan ‘crowded’ lalu lintasnya. Sistem ‘three in one’ malah belum terpikirkan. Apalagi jalan tol dalam kota seperti JORR. Jadi hampir pasti sekitar pukul 07.00 – 07.15 pagi Pak Pardjo sudah berada dilobi Gedung Utama Kantor Depdagri. Waktu pertama kali tiba dikantor, beliau (termasuk saya) agak kaget karena kantor Depdagri terlihat masih sunyi sepi. Petugas Polisi Pamong Praja yang bertugas di gardu jaga dipintu gerbang berloncatan keluar dari ‘sarang’nya ketika tahu bahwa Pak Menteri sudah berada dikantor. Padahal saat itu petugas yang menyimpan kunci pintu ruang kerja Menteri pun belum datang. Suasana sontak geger seketika. Mereka berlarian mencari kunci duplikat atau master yang disimpan dikamar komandan Polisi PP. 
Saya lihat ‘mendung’ menggantung diwajah Pak Pardjo. Sebuah pertanda hari akan jadi ‘hujan badai’. Pak Dar (Mayjen Daryono, SH, Sekjen Depdagri saat itu) baru tiba setengah jam kemudian. Dengan tergopoh beliau langsung minta waktu untuk menghadap Menteri. Barangkali beliau mau minta maaf atau menjelaskan keadaan. Tapi tetap saja Pak Parjo kukuh dengan pendiriannya. Berangkat dari kediaman (dikantor Perwakilan) setiap hari seperti biasa, pukul 06.30 pagi. Maka para ‘bala kurawa’ (pesuruh dan pemegang kunci) lah yang harus mengalah. Datang lebih pagi. Mau tak mau. Sampai suatu hari saya dipanggil masuk keruang kerja Pak Sekjen. 
Pak Dar adalah seorang tentara yang sangat tenang dan tampak lemah lembut dibalik kacamata tebalnya.
“Ini begini ya, Pak Tony, tolonglah dijelaskan kepada Pak Pardjo, sekarang ini beliau sudah jadi Menteri dan berada di Jakarta. Bukan di Semarang. Jam kerja di Depdagri sejak dulu kala ya dimulai pada jam 08.00 pagi, pulang jam 16.00 sore. Bus jemputan -pegawai- baru sampai di kantor paling cepat jam 07.30 dan sudah bergerak pulang mulai pukul 15.30”. Beliau menjelaskan sambil tersenyum-senyum.
“Soalnya, di Jakarta ini jarak antara perumahan pegawai dan kantor rata-rata sangat jauh. Tidak seperti di Semarang, yang kemana-mana dekat. Jadi ya, mohon beliaulah yang berkenan menyesuaikan. Atau kalau tidak ya harus ada aturan baru, mengubah jam kerja pegawai. Tapi itu artinya para pegawai sudah harus berangkat dari rumah sebelum salat subuh. Apa ndak kasihan?” Tanya beliau.
Mendengar penjelasan Pak Dar, saya tertegun agak lama. Lalu saya putuskan menjawab dengan agak hati-hati. Bagaimanapun beliau adalah Sekjen Depdagri yang boleh dikata baru saja saya kenal.
“Mohon maaf Pak, mengapa bukan Pak Sekjen sendiri saja yang menjelaskan kepada beliau?”. Saya balik bertanya. Pak Dar tersenyum lebar.
Lho diseluruh Depdagri ini orang yang paling dekat dengan Pak Menteri, kan hanya satu orang saja. Namanya Pak Tony. Ndak ada orang lain lagi. Kalau tidak, buat apa Pak Tony dibawa jauh-jauh dari Semarang. Ya kan?”.
Jawab Pak Daryono masih sambil tersenyum.
Saya merasa disanjung sekaligus disindir, dipojokkan lalu dibanting!
“Sebagai Sekjen, saya bisa saja matur (bicara) pada beliau, tapi terus terang saya kan belum tahu persis ‘sratenan’ (cara melayani) nya Pak Menteri”. Lanjutnya,
“Sudahlah, jangan khawatir, saya jamin kalau Pak Tony yang menjelaskan pasti beliau mau mengerti”. Sambil berkata yang terakhir ini, Mayor Jenderal yang kacamata bacanya tampak tebal itu menepuk-nepuk bahu saya dengan ramah.
“Saya, Daryono, mewakili seluruh pegawai Depdagri mengucapkan terima kasih kepada Pak Tony atas budi baik ini”. Kali ini beliau tertawa lebar. Kali ini juga saya benar-benar KO. Menyerah kalah. Memang benar kata para sesepuh, “Wong Jowo iku yen dipangku, mati” (Orang Jawa itu kalahnya kalau disanjung-puji).
Sore harinya dimobil dalam perjalanan kembali ke Perwakilan saya laporkan masalah jam kerja itu kepada Pak Pardjo. Lengkap dengan penjelasan dan alasannya seperti yang disampaikan Pak Daryono tadi. Pak Pardjo tampak diam menyimak, tapi tak berkomentar. Sama sekali. Saya merasa bahwa tugas saya (yang diberikan oleh Pak Sekjen) telah saya laksanakan.  Namun keputusan tetap ada ditangan Pak Pardjo. Kan beliau yang jadi Menterinya. Saya tinggal ‘wait and see’ saja. Judulnya: Pasrah.

    Keesokan harinya -seperti biasa- saya dan sopir sudah siap sedia didekat mobil pada pukul 06.15 pagi. Cuaca diatas kota Jakarta cukup cerah. Pukul 06.30 sudah lewat, tapi Pak Menteri belum turun. Pak Tarto (Kepala Perwakilan) mendekati saya seraya bertanya:
Tumben Pak Menteri belum tindak (berangkat) dik, ada acara diluar kantor?” Saya jelaskan masalahnya pada Pak Tarto yang mendengarkan sambil manthuk-manthuk (mengangguk-angguk).
“Saya sudah matur (bilang) beliau sejak awal dulu, saya kan sudah lama di Jakarta dan tahu persis jam kerja Depdagri. Tapi yaaa situ tahu sendiri kan,  Pak Pardjo itu bagaimana”  katanya sambil terkekeh.
Pukul 07.15 Pak Pardjo baru kelihatan menuruni tangga. Diam-diam saya merasa agak lega. Penjelasan saya didalam mobil kemarin rupanya dapat beliau terima. Itu berarti tugas dari Pak Sekjen berhasil saya laksanakan dengan baik. Kelak kemudian hari Pak Daryono ternyata tidak lupa pada tugas yang diberikannya pada saya dan berkenan memberi semacam ‘imbal-jasa’ atas tugas  yang telah saya lakukan. Berupa apakah itu? 
Akan saya kisahkan pada saatnya nanti.



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar