Rabu, 28 Mei 2014

CATATAN PERJALANAN "UMROH KOSASIH" (15)



-Bagian Kelimabelas-

(Ditulis pada hari Sabtu, 14 September 2013)

 Pedagang Kurma di Bukit Uhud

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa diwaktu pagi makan 7 (tujuh) butir kurma ‘Ajwah, maka pada hari itu ia tidak akan kena racun maupun sihir”
(HR. Shahih Bukhari)


Madinah dan kebun kurma

     Setelah berziarah ke Masjid Quba’, rombongan jemaah umroh PT. Bina diajak keliling kelokasi masjid-masjid lain yang juga bersejarah. Antara lain Masjid Qiblatain (dua kiblat). Sebagaimana namanya, masjid ini (pernah) mempunyai dua arah kiblat. Yang pertama menuju arah Masjidil Aqsa, inilah kiblat sholat sebelum turun wahyu dari Allah SWT yang bunyinya:
“Wa min haisu kharajta fa walli wajhaka syatral masjidil-haraam, wa innahuulal-haqqumir rabbik, wa mallaahu bi gaafilin’ammaa ta’maluun”
(dan dari manapun engkau -Muhammad- keluar, hadapkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. surah Al-Baqarah, QS 2:149).

     Konon ayat tersebut diwahyukan pada saat Rasulullah sedang sholat Dhuhur dimasjid ini. Mendapat wahyu itu, dengan seketika beliau langsung mengubah arah sholatnya menghadap ke Masjidil Haram. Inilah kiblat sholat umat muslim sedunia sampai saat ini.

     Semua jemaah yang berziarah kekota Madinah al-Munawaroh, pasti tak akan ketinggalan ‘memborong’ buah kurma (latin: Phoenix Dactylifera) asli kota Madinah. Apabila waktunya mencukupi, biasanya para jemaah akan dibawa tur keliling kota. Selain berziarah ketempat bersejarah, juga pergi ke kebun kurma atau ke pasar kurma. 

     Kurma adalah buah khas tanah Arab dan negara Timur Tengah  lain yang punya gurun pasir gersang. Namun diperkirakan pohon kurma berasal dari daerah Teluk Persia.  Para pedagang dijaman Mesir kunolah yang punya andil menyebarkan tanaman ini sampai kebenua-benua lain. 

      Akan tetapi bagi umat muslim, kurma asal kota Madinah rupanya dianggap yang terbaik. Terutama kurma “Ajwah” yang juga disebut sebagai “Kurma Nabi”. Jenis kurma ini paling mahal harganya. Padahal secara kasatmata, bentuknya justru yang paling kurang menarik. Akan tetapi kurma ‘Ajwah yang berwarna hitam dan keriput ini dipercaya sangat berkhasiat untuk menangkal racun dan sihir ataupun santet. 

 Kurma Ajwah

     Ada banyak sekali macam dan jenis kurma. Para jemaah biasanya akan bisa melihat semua jenis kurma dikebun kurma atau dipasar kurma yang ada dikota Madinah. Dari harga yang paling murah sampai kurma yang paling mahal. Dari yang masih asli sampai kurma yang sudah diisi dengan buah kenari dan sebagainya.

     Kalau anda sedang beruntung,  datang kekota Madinah tepat pada waktu sedang musim kurma berbuah, maka akan mendapati juga kurma yang disebut “rutop”. Ini adalah kurma segar yang matang pohon. Warnanya merah tua seperti buah anggur akan tetapi bentuknya lonjong dan sedkikit lebih besar. Rasanya manis agak sedikit sepet tapi sangat menyegarkan. 

     Tahun 2007 saya pernah beruntung mendapatkan rutop dijajakan ditoko-toko maupun dipinggir jalan sepanjang Pasar Seng (yang kini sudah almarhum). Harga dijalanan lebih murah daripada ditoko. Para pedagang kaki lima didepan Masjid Quba’ menjual rutop dengan harga sekitar lima sampai sepuluh real perkilo. 


 Kurma Rutop (mentah)
    Sayang agak susah membawa rutop segar untuk dibawa pulang ketanah air. Apalagi kalau masih harus bermalam beberapa hari lagi dikota Madinah atau Mekah. Saya biasanya hanya membeli rutop atau kurma segar yang sudah dikemas dalam kotak plastik dan disimpan didalam freezer. Itupun harus membeli pada saat-saat hari terakhir akan meninggalkan tanah suci, agar terjaga tidak mudah busuk. Maklum, perjalanan pulang ketanah air bisa lebih dari dua belas jam (termasuk waktu menunggu saat boarding dan menunggu bagasi keluar saat ditanah air).


Bersiap meninggalkan Madinah menuju Mekah

     Hari Selasa tanggal 30 April 2003 adalah hari terakhir dikota Madinah. Pagi hari acara bebas. Jemaah bisa mengisinya dengan berjalan-jalan menikmati keramaian para penjual dikaki lima ataupun kios-kios yang ada diemperan hotel. Kalau masih punya banyak uang bisa pula berbelanja oleh-oleh untuk sanak saudara.

     Sesudah sholat Subuh di Masjid Nabawi dan makan pagi di restoran Al-Rawdah, saya bergegas mandi sunah untuk ber ihrom. Saya sendiri memilih berada didalam kamar hotel untuk menata kembali barang bawaan kedalam koper. Kemarin saya sudah membeli alat timbangan koper digital di Bin Dawood. Harganya ‘cuma’ sekitar 50 real saja (tidak sampai seratus limapuluh ribu perak). Lebih murah dibanding alat serupa yang akan dibelikan oleh anak laki-laki saya sewaktu di Jakarta. Alat ini saya anggap penting agar koper tidak melebihi aturan berat yang ditetapkan maskapai penerbangan.

    Sejak makan pagi di Al-Rawdah, hati saya sudah tidak tenang. Rasa sedih akan segera meninggalkan kota Madinah al-Munawaroh bercampur aduk dengan segala rasa kekhawatiran. Nasi goreng yang dihidangkan dengan ayam goreng dan telor serta lalapan, tidak serta merta menghilangkan selaput duka. Padahal nasi goreng adalah makanan favorit saya. Pagi hari itu sarapan saya sikat tanpa semangat berkobar seperti biasanya.

     Isteri saya pamit akan jalan keluar bersama teman-temannya. Saya tetap berada dikamar untuk bebenah. Pukul sembilan pagi nanti koper yang akan masuk bagasi  bis sudah harus siap. 

     Pukul 11.00 siang saya berjalan ke Masjid Nabawi. Gontai saja. Pikiran saya kusut masai. Saya tunaikan beberapa raka’at sholat sunah didalam masjid. Saya sempatkan pula mengambil beberapa foto dan video. Saya dzikir dan bershalawat kepada sang empunya masjid, Rasulullah SAW. 

Menanti saat adzan Dhuhur di Masjid Nabawi

    Air mata saya memang susah sekali menetes, tapi hati saya menangis. Apalagi ketika selesai sholat Dhuhur berjamaah dan saya teruskan dengan sholat Ashar yang dijamak qosor (disingkat) karena akan melakukan perjalanan jauh. Bayangan aneka macam berkelebat. Tentang penyakit yang saya derita. Tentang kekhawatiran apakah masih diijinkan Allah SWT untuk bisa ketanah suci Nya lagi. Dan lain-lain dan sebagainya.


     Singkat kata, hari itu saya bersimpuh di Masjid Nabawi dengan sejuta rasa lara. Kalau menurut lagu anak-anak: “hatiku sangat KACAU....”. Kalau menurut istilah abege jaman sekarang: “Akyu sedang GALAU.....”   

     CIYUUUS MIAPAAAH???         
     Astagfirullaaah......



Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar