(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Released by mastonie, Friday, July 9, 2010 at 09.15 pm
Leningrad kota warisan sejarah dunia
Pak Dubes beserta Ibu Koesoemodigdo sama-sama orang Jawa ‘deles’ (asli) yang ‘grapyak semanak’ (ramah tamah penuh kekeluargaan). Beliau berdua ternyata masih kurang puas kalau hanya mengajak kita keliling Moskow. Menurut Pak Dubes, di Leningrad masih ada sebuah lagi Istana yang layak dikunjungi, yaitu Istana “Peterhof”, dikenal juga sebagai Istana “Petrodvorets”, dua-duanya berarti “Istana Peter”. Begitu istimewa dan megahnya bangunan Istana yang dibangun oleh ‘Tsar’ (Kaisar) Peter “The Great” (Agung) ini, sehingga ia juga dijuluki sebagai “The Grand Palace”. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Istana Versailles” nya Rusia.
Maka pada hari Rabu tanggal 14 September 1988 terbanglah kita ke Leningrad.
Nama asli kota kedua terbesar di Soviet (sesudah Moskow) ini sejak berdiri tahun 1703 adalah Petersburg, untuk mengenang nama “Tsar” Peter yang Agung. Namun pada tahun 1914 ketika menjadi ibukota Kerajaan Rusia, namanya diganti menjadi Petrograd (dalam bahasa Rusia “Grad” berarti kota). Akhirnya pada tahun 1924 untuk menghormati Lenin yang baru saja meninggal, kota ini diganti lagi namanya jadi Leningrad (Kota Lenin). Saya malah sempat berpikir, jangan-jangan nanti kalau komunisme sudah mulai berkurang pengaruhnya, nama kota ini akan diganti lagi. Entah dengan memakai nama siapa lagi. Siapa tahu?
(Tetapi memang sekarang saya mendengar kabar bahwa setelah Uni Soviet terpecah belah dan menjadi Republik Rusia, kota Leningrad telah berganti nama menjadi St. Petersburg lagi!)
Bandara Pulkovo International Leningrad yang sudah ada sejak tahun 1931 berada kurang lebih sekitar 25 kilometer dari pusat kota. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai kekota Leningrad. Saya perhatikan disepanjang jalan hampir semua petunjuk jalan, nama toko dan lain-lain, tertulis dalam aksara Rusia yang terbolak balik itu. Saya rasa dikota-kota yang lain di Uni Soviet begitu pula. Termasuk yang ada di Bandara.
Bagi saya yang paling mudah diingat dan bisa saya mengerti dengan cepat hanya tulisan “PEKTOPAH” saja, karena itu maksudnya “RESTORAN”!
Jadi kalau pergi ke Uni Soviet (Rusia) tidak didampingi orang yang bisa membaca aksara Rusia, dijamin pasti pusing sembilan keliling. Untung selama kita pergi diwilayah Uni Soviet selalu dikawal langsung oleh Pak Dubes beserta Ibu Koesoemodigdo dan Atase Pertahanan KBRI.
Leningrad terletak di delta sungai bernama Neva, oleh sebab itu banyak terlihat kanal dan jembatan yang dibangun ditengah kota.
Ada satu hal yang pasti akan menjengkelkan orang asing atau turis yang berkunjung ke Leningrad. Siang itu Pak Dubes mengajak kita makan siang disebuah ‘Pektopah’ yang menghadap ke laut Baltik dimana terletak markas Akademi Angkatan Laut Uni Soviet. Ketika saya akan membayar, kasirnya (yang melihat saya ‘orang asing’), hanya mau menerima pembayaran berupa uang dolar Amerika saja. Tapi ketika memberikan kembalian, yang diberikannya adalah uang Rubel (mata uang Uni Soviet)! Ternyata memang hampir semua pedagang di Moskow dan Leningrad (termasuk penjual cenderamata di Istana Petrodvorets) juga berulah seperti itu. Alhasil ketika akan meninggalkan Uni Soviet, saya punya banyak sekali uang rubel recehan yang tidak bisa saya belanjakan. Kalau dikurs mencapai hampir 200 dolar AS!
Beruntung atas ijin Pak Koesoemodigdo saya bisa minta bantuan Protokol KBRI untuk membelanjakan uang tersebut menjadi beberapa souvenir khas Uni Soviet. Dan inilah yang saya dapat dari uang receh kembalian itu: satu kamera asli buatan Soviet merk “Zenith” tipe sniper dengan dua lensa 50 mm dan 300 mm. Disebut sebagai sniper, karena apabila lensa tele 300 mm dipasang pada badan kamera, maka kamera itu akan berbentuk semacam senapan berteleskop. Unik dan antik sekali, walaupun teknologinya masih sangat sederhana. Saya juga mendapat satu set stereo speaker yang bentuknya tipis, yang untuk ukuran waktu itu sudah sangat ‘maju’ teknologinya, sebuah jam meja khas Soviet dan beberapa boneka khas Soviet Rusia yang bernama ‘Matriotska’. Boneka kayu yang bisa memuat boneka sejenis tapi dalam ukuran yang lebih kecil. Satu boneka bisa ‘mengandung’ 5 sampai 6 boneka lainnya. Saya juga minta dibelikan pernak-pernik khas Rusia yang lain, pokoknya yang ada tulisan ‘made in USSR’ nya.
Tapi yang bisa langsung saya bawa pulang hanya kamera. Lainnya saya titipkan pada “Diplomatic Bag” KBRI Moskow. Dikirim dengan kapal kealamat Bapak Koesoemodigdo di Tebet Jakarta, yang baru saya terima kurang lebih sebulan kemudian.
Istana yang dibangun kembali dari “abu”
Istana Peterhof (Petrodvorets) atau The Grand Palace, tidak diragukan lagi memang sebuah Istana yang sangat megah. Terletak menghadap langsung kelaut Baltik, Istana yang dibuat oleh Tsar Peter ‘Yang Agung’ ini mempunyai sebuah kanal yang dibangun khusus untuk menghubungkan Istana dengan laut terbuka.
Jadi apabila sang Kaisar sedang ingin rekreasi atau memancing ikan dilaut (misalnya), bisa naik perahu dari taman dihalaman Istana langsung bablas menuju kelaut lepas! Tapi sebetulnya maksudnya yang lebih strategis adalah untuk “escape’, apabila ada musuh menyerang dari arah daratan, dan situasi dipandang tidak menguntungkan, maka Kaisar bisa melarikan diri dengan kapalnya langsung menuju ketengah lautan. Begitu versi pemandu wisatanya.
Kalau membaca riwayat (dibangunnya kembali) Istana ini, saya nyaris tak percaya, bahwa Istana (yang asli) pernah dihancurkan sampai jadi abu oleh tentara Jerman pada Perang Dunia I.
Tidak heran kalau (sekarang) dipintu masuk Istana ada sebuah Prasasti dari batu dimana tertulis: “The Palace that build from the ashes”. Istana yang dibangun dari reruntuhan (abu). Boleh dikatakan Istana yang ada sekarang hanyalah sebuah “replika” yang dibuat berdasarkan “blue print” (cetak biru, rancangan asli) dari Istana yang sesungguhnya. Konon blue print itu berhasil diselamatkan ketika tentara Jerman menyerbu dan kemudian membakar habis Istana. Satu bukti bahwa bangsa Rusia betul-betul sangat menghargai dan mencintai warisan sejarahnya.
Sebelum masuk Istana, pengunjung diminta untuk mengenakan ‘sepatu khusus’. Sepatu atau lebih tepatnya sandal terbuat dari kain halus berbulu ini harus dipakai untuk membungkus sepatu para pengunjung yang akan memasuki Istana. Ternyata sandal pembungkus itu berfungsi untuk melindungi lantai Istana, yang nyaris seluruhnya terbuat dari kayu. Bangunan Istana dibuat bergaya arsitektur “Barok” (Baroque) bercampur gaya arsitektur Rusia kuno abad 18. Ciri-ciri khas arsitektur Barok ditandai dengan banyakya patung, air mancur, (bahkan‘Puri-puri’ yang saling terhubung dengan jembatan) dan lukisan -baik abstrak maupun naturalis- yang terdapat dilangit-langit. Juga terdapat banyak sekali pintu dan jendela yang berukuran sangat besar. Sekalipun dihiasi dengan berbagai macam lukisan yang sangat berwarna warni, tapi secara keseluruhan yang paling menonjol di istana ini adalah hiasan dinding serta kusen pintu dan jendela yang berwarna emas. Jika dilihat dari luarpun Istana Petrodvorets tampak sebagai bangunan yang berwarna putih dan keemasan! Dominasi warna emas itu memperlihatkan keindahan, keagungan dan kemewahan serta rasa seni yang sangat tinggi.
Seperti layaknya sebuah istana yang dihuni para Kaisar, selain ruang kerja dan kamar tidur Kaisar dan para istrinya, istana Petrodvorets juga mempunyai ruang jamuan kenegaraan yang sangat besar, ruang “Credential” (ruang penerimaan tamu agung) sekaligus sebagai ruang “Grand Throne” (ruang Penobatan Raja/Kaisar) yang dipenuhi lukisan potret diri para raja, para istri dan keluarganya. Diruangan ini tergantung banyak sekali chandellier (lampu robyong) yang sangat indah. Karena pada jaman itu fotografi belum ditemukan, maka lukisan potret diri yang dibuat oleh para pelukis terkenal pada jaman itu diduga memakai model yang bersangkutan sendiri. Akan tetapi menurut perasaan saya, semua lukisan potret itu gagah dan cantik jelita belaka. Apakah memang itu sesuai dengan wajah aslinya? Wallahu ‘alam bissawab.
Bahwa para Kaisar dan bangsawan jaman dahulu suka pesta pora dan “dansa-dansi” terbukti dengan adanya sebuah “ballroom” (ruang dansa) yang besar, luas dan megah dengan lantai bermotif yang sangat licin berkilat di Istana Petrodvorets.
Yang sangat mengherankan saya adalah furniture (perabotan) yang ada di istana ini. Semuanya dibuat dengan gaya perabotan kuno awal abad 18 dan 19, yang walaupun hanya duplikat (tiruan), tapi betul-betul tampak seindah dan sekuno aslinya. Termasuk alat pemanas model jaman ‘baheula’ terbuat dari logam yang menempel disepanjang dinding Istana dari ruangan satu keruangan lain. Alat pemanas ini menjadi satu keharusan, mengingat pada musim dingin suhu di Leningrad bisa mencapai lebih dingin dari 0 derajat Celcius.
Tak urung saya hanya bisa memendam rasa iri yang menyelinap didada, dapatkah (bangsa) kita mencontoh apa yang telah dikerjakan oleh bangsa Rusia (dan juga banyak bangsa Eropa lain) terhadap warisan budaya dan sejarahnya ini? Sampai Badan Dunia seperti Unesco pun mengakuinya sebagai “World Heritage Site”, Situs Warisan Sejarah Dunia.
Kita tentu tak boleh menutup mata, betapa banyak warisan budaya dan sejarah bangsa kita yang berada di Istana Raja atau Sultan (dipulau Jawa atau bahkan dimana saja dipelosok Nusantara) yang justru hancur, bahkan hilang lenyap tak ketahuan rimbanya?
Sering kita dengar bagaimana arca atau benda berharga lain yang disimpan dimuseum atau bahkan benda pusaka koleksi Istana Raja yang ‘disulap’ diganti dengan barang tiruan. Barang-barang yang asli tentu saja telah raib diperjual-belikan sebagai barang komoditi berharga, demi memenuhi kebutuhan para kolektor (asing maupun domestik) terhadap benda-benda purbakala. Ironisnya, sindikat pemalsuan dan penjualan barang-barang warisan budaya tak ternilai harganya itu biasanya justru dibantu oleh ‘orang dalam’ yang silau terhadap iming-iming dengan jumlah uang yang sangat besar.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar