“Kalau sampeyan diberi sesuatu (apapun itu) oleh seseorang, tidak peduli siapapun dia, itu artinya sampeyan mendapat amanah. Sekarang terserah sampeyan. Sanggup atau tidak menerima amanah itu” (KH. Kholil, Jawa Timur)
Jama'ah Umroh Anubi Travel di Arafah
Bulan Mei 2006 saya berkesempatan mengantar anak bungsu dan isteri saya melaksanakan ibadah Umroh. Keberangkatan saya ke tanah suci kali ini terjadi nyaris seperti mimpi.
Ketika sedang iseng memainkan ‘komunikator’, tiba-tiba saja dalam daftar kontak diponsel saya muncul nama “Mas Afief”.
We lhadalah . . . . Subhanallah…ini nama yang sudah lama sekali tak pernah saya hubungi. Setahu saya Mas Afief kini punya travel biro perjalanan haji dan umroh. Saya lalu teringat isteri saya yang sudah ingin sekali pergi umroh, sebelum nantinya -Insya Allah, kalau ada rejeki- bisa pergi menunaikan ibadah haji.
Saya langsung menghubungi nomor yang ada didaftar kontak itu.
Saya langsung menghubungi nomor yang ada didaftar kontak itu.
Singkat cerita setelah bisa berbicara di telepon dengan Mas Afief (kami berdua sama-sama surprise bisa bertemu lagi setelah lebih dari 20 tahun tidak ada kontak), saya putuskan untuk ikut rombongan umroh di travel biro miliknya.
(Tentu saja karena budi baik Mas Afief sehingga saya dapat diskon).
(Tentu saja karena budi baik Mas Afief sehingga saya dapat diskon).
Hanya karena ijin Allah SWT sajalah maka semua urusan yang menyangkut rencana pergi umroh dadakan ini (termasuk pengurusan paspor) berjalan dengan begitu mudah. Betul-betul seperti mimpi saja rasanya.
didalam kabin Jumbo Jet Garuda menuju Jeddah
didalam kabin Jumbo Jet Garuda menuju Jeddah
Tanggal 12 Mei 2006 siang hari, rombongan umroh PT. Anubi Travel yang berjumlah sekitar 50 orang -diantaranya ada rombongan Bapak Hasyim Muzadi, tokoh NU dari Jatim- meninggalkan tanah air menuju tanah suci. Ini adalah perjalanan saya yang ketiga ke tanah suci, lebih dari 14 tahun setelah kepergian saya yang kedua ketanah suci tahun 1992.
Penerbangan menuju Jeddah dengan pesawat B-747-300 Garuda yang memakan waktu lebih dari 9 jam terasa begitu singkat. Mungkin karena saya begitu ‘ngebet’ ingin segera melihat Ka’bah lagi. Bayangkan! Setelah lebih dari empatbelas tahun! Pesawat mendarat dengan mulus di King Abdul Aziz Airport Jeddah sekitar pukul sembilan malam waktu setempat. Urusan imigrasi selesai kurang dari dua jam. Jauh lebih cepat dibanding kalau musim haji.
Hotel "Mawaddah" Mekah
Malam itu juga kita bertolak kekota Mekah al-Mukarromah dan langsung menuju ke hotel Mawaddah.
Hotel ini memang bukan hotel berbintang, tapi lokasinya hanya sekitar 100 meter saja dari Masjidil Haram. Sangat dekat. Baru berjalan keluar dari hotel sekitar 10 langkah saja, menara-menara Masjidil Haram yang megah berkilauan sudah langsung tampak didepan mata kita. Subhanallah.
Inilah kelebihan Hotel Mawaddah. Dan di hotel kecil inilah -tepatnya diruang makan- terjadi peristiwa yang saya pakai menjadi judul tulisan ini.
Hotel ini memang bukan hotel berbintang, tapi lokasinya hanya sekitar 100 meter saja dari Masjidil Haram. Sangat dekat. Baru berjalan keluar dari hotel sekitar 10 langkah saja, menara-menara Masjidil Haram yang megah berkilauan sudah langsung tampak didepan mata kita. Subhanallah.
Inilah kelebihan Hotel Mawaddah. Dan di hotel kecil inilah -tepatnya diruang makan- terjadi peristiwa yang saya pakai menjadi judul tulisan ini.
Ruang makan hotel Mawwadah terletak di basement. Meskipun ruangannya tidak terlalu besar, tapi full air conditioning. Maklum cuaca diluar hotel –terutama pada siang hari- sangat menyengat. Ruang makan itu dibagi menjadi tiga bagian, karena pada saat yang sama ada tiga grup yang menginap di hotel ini. 2 Grup berasal dari Indonesia, sedangkan yang ketiga berasal dari India. Kalau waktu makan tiba, maka ruangan jadi penuh sesak berjubel. Untuk mendapat tempat dudukpun harus antri. Meski main table yang berisi makanan utama ada tiga (dua berisi makanan Indonesia dan satu berisi makanan India), tapi meja makan dan kursinya diatur menjadi satu tanpa diberi sekat.
Jadi kalau ruang makan sudah penuh, satu meja makan mungkin saja diduduki oleh orang Indonesia dan orang India secara bersama-sama.
Jadi kalau ruang makan sudah penuh, satu meja makan mungkin saja diduduki oleh orang Indonesia dan orang India secara bersama-sama.
Pada suatu malam yang sangat melelahkan, sehabis salat Isya’ berjama’ah di Masjidil Haram, saya beserta isteri dan anak saya langsung ‘menyerbu’ ruang makan. Ternyata kami bertiga sudah kalah duluan dengan teman-teman yang juga sama-sama lelah dan lapar. Terpaksa kami menunggu untuk mendapat ‘tempat kedudukan’.
Dibagian lain saya lihat ada beberapa pria dan wanita India yang tampaknya juga sedang menanti jatah duduk dikursi. Karena bernasib sama (sama-sama antri untuk duduk dikursi), saya saling lirik dengan seorang pria India yang berdiri dengan tenang didekat meja makanan India. Untuk memperlihatkan bahwa orang Indonesia terkenal ramah (hm.. masa iya sih?), saya mencoba tersenyum sambil menganggukkan kepala. Pria India berusia setengah baya itu membalas dengan senyum lebar sambil mengangkat pundak dan merentangkan kedua tangannya. Seolah ingin mengatakan: “Ya beginilah nasib kita”.
ruang makan Hotel Mawaddah
Akhirnya saya dapat tempat duduk juga. Saya, isteri dan anak saya makan dengan sangat lahab ‘saking’ lapar dan lelah menunggu giliran duduk. Saya lihat pria India dan beberapa temannya masih belum kebagian ‘jatah duduk’. Kasihaaan deh luuuu, kata hati saya. Selesai makan saya masih asyik ngobrol tentang kegiatan ibadah yang telah kita lakukan. Saya tidak sadar kalau ada dua kursi kosong didepan saya. Tiba-tiba saja pria India itu mendatangi saya sambil berkata:
Dibagian lain saya lihat ada beberapa pria dan wanita India yang tampaknya juga sedang menanti jatah duduk dikursi. Karena bernasib sama (sama-sama antri untuk duduk dikursi), saya saling lirik dengan seorang pria India yang berdiri dengan tenang didekat meja makanan India. Untuk memperlihatkan bahwa orang Indonesia terkenal ramah (hm.. masa iya sih?), saya mencoba tersenyum sambil menganggukkan kepala. Pria India berusia setengah baya itu membalas dengan senyum lebar sambil mengangkat pundak dan merentangkan kedua tangannya. Seolah ingin mengatakan: “Ya beginilah nasib kita”.
ruang makan Hotel Mawaddah
Akhirnya saya dapat tempat duduk juga. Saya, isteri dan anak saya makan dengan sangat lahab ‘saking’ lapar dan lelah menunggu giliran duduk. Saya lihat pria India dan beberapa temannya masih belum kebagian ‘jatah duduk’. Kasihaaan deh luuuu, kata hati saya. Selesai makan saya masih asyik ngobrol tentang kegiatan ibadah yang telah kita lakukan. Saya tidak sadar kalau ada dua kursi kosong didepan saya. Tiba-tiba saja pria India itu mendatangi saya sambil berkata:
”May I sit here?”
“Oh, please sit down”
Jawab saya mempersilakannya duduk didepan saya. Ia lalu memanggil isteri dan anaknya untuk ikut duduk semeja dengan saya.
Jawab saya mempersilakannya duduk didepan saya. Ia lalu memanggil isteri dan anaknya untuk ikut duduk semeja dengan saya.
“Have you ever try the most delicious Indian food?” ia bertanya sembari menyuruh anaknya untuk mengambil ‘nasi india’ sepiring penuh, yang kemudian disodorkannya kearah saya. Nasi yang berwarna kuning keemasan itu sekilas memang sungguh tampak menggoda dan baunya menerbitkan selera.
“Oh no no thank you, I am really full” jawab saya sungguh-sungguh.
Gilee bener, malam itu saya memang telah benar-benar kuueenyang. Tapi tanpa terlihat tersinggung ia terus tersenyum.
Gilee bener, malam itu saya memang telah benar-benar kuueenyang. Tapi tanpa terlihat tersinggung ia terus tersenyum.
“Please, just try a little and then you will fall in love with this rice” katanya setengah membujuk setengah berpromosi. Khawatir menyinggung perasaannya, saya mencoba mengambil nasi sesendok.
“Why use the spoon? Rasulullah always eats with his hand. Like this” ia berkata sambil mengambil segenggam nasi dengan tangan dan menyuapkan nasi kemulutnya. Sesaat saya terhenyak. Tidak pernah menyangka dapat ‘sodokan’ telak seperti itu. Hareee genee makan dengan tangan telanjang?
Masya Allah, saya tersadarkan. Rasulullah SAW konon memang selalu bersantap dengan -memakai- tangan telanjang. Hati saya berbisik, lha jaman nabi dulu kan memang belum ‘musim’ sendok.
Akan tetapi saya sadari bahwa cara -makan dengan tangan telanjang- itu memang telah menjadi sunah Rasulullah. Saya tidak ingin berdebat, jadi saya turuti permintaannya untuk makan dengan memakai tangan telanjang. Waaah nasinya memang betul-betul maaak nyuuuuus.
Sayapun lalu meminta isteri dan teman-teman dari Indonesia yang masih ada diruangan itu untuk ikut mencoba rasa nasi India itu. Pria India itu tidak dapat menyembunyikan rasa bangganya. Ia tahu saya memuji makanannya dengan setulus hati.
Masya Allah, saya tersadarkan. Rasulullah SAW konon memang selalu bersantap dengan -memakai- tangan telanjang. Hati saya berbisik, lha jaman nabi dulu kan memang belum ‘musim’ sendok.
Akan tetapi saya sadari bahwa cara -makan dengan tangan telanjang- itu memang telah menjadi sunah Rasulullah. Saya tidak ingin berdebat, jadi saya turuti permintaannya untuk makan dengan memakai tangan telanjang. Waaah nasinya memang betul-betul maaak nyuuuuus.
Sayapun lalu meminta isteri dan teman-teman dari Indonesia yang masih ada diruangan itu untuk ikut mencoba rasa nasi India itu. Pria India itu tidak dapat menyembunyikan rasa bangganya. Ia tahu saya memuji makanannya dengan setulus hati.
Setelah makan, pria India itu masih terus mengajak saya berdiskusi tentang berbagai masalah. Ia memperkenalkan dirinya sebagai “Abdullah” Pemimpin Kelompok Muslim terkemuka dari Benggali India. Ketika tahu nama saya adalah ‘Tony’, ia berkomentar sambil tertawa:
“I think your name is not a Moslem name, it’s a western name, who gave you the name?”
Tanyanya sambil masih tergelak. Asem tenan. Belum tahu dia, kalau Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, yang punya cara sendiri pada waktu memberi nama anaknya. Terkadang malah diberi nama dengan ‘nuansa’ adat daerah masing-masing.
Tanyanya sambil masih tergelak. Asem tenan. Belum tahu dia, kalau Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, yang punya cara sendiri pada waktu memberi nama anaknya. Terkadang malah diberi nama dengan ‘nuansa’ adat daerah masing-masing.
“Sorry, Tony, I’ll give you a Moslem name since you’re a real Moslem. Please promise me to use this given name”.
Saya cuma bisa ‘manggut-manggut’ meski hati kecut. Tambah ciut lagi hati saya ketika tahu bahwa ternyata nama yang diberikannya kepada saya adalah “Mohammad”! Astagfirullah.
Ketika Abdullah menyebut kata “Promise me”, ia menggenggam erat tangan saya seolah minta dengan sangat saya berjanji kepadanya untuk ‘memakai’ nama pemberiannya itu.
Saya masih tercenung ketika sudah berada dikamar hotel. Saya bimbang. Jauh-jauh pergi umroh ketanah suci, ternyata yang pertama saya dapatkan adalah ‘hadiah’ tambahan nama. Dari orang India lagi! Apalagi tanpa ‘bancakan’ (selamatan) bubur merah putih.. Dan nama yang diberikan itu lho yang bikin saya puyeng.
Mohammad adalah nama Baginda Rasulullah SAW.
Apakah pantas saya menyandangnya?
Ketika keesokan harinya saya ikut salat subuh berjamaah di Masjidil Haram, saya memilih tempat tepat yang lurus didepan multazam. Secara kebetulan didepan saya ada seorang laki-laki sepuh, yang duduk diatas kursi roda. Dari sarung yang dikenakan saya tahu pasti beliau juga dari Indonesia. Entah mengapa perasaan saya mengatakan bahwa pria sepuh ini pasti kiai yang kharismatis. Saya lihat ada seorang ‘ajudan’ (atau cantrik?) yang membawa tongkat, duduk tepat dibelakang kursi rodanya. Perlahan saya beringsut mendekati sang ‘ajudan’. Saya tanyakan kepadanya siapakah pria sepuh ini. Ia menjawab pelan dan singkat “Kiai Kholil dari Jawa Timur”. Subhanallah. Firasat saya ternyata betul. “Kiai Kholil” inilah yang saya dengar selalu ‘disowani’ Pak Hasyim Muzadi selama berada di Mekah.
Tiba saatnya salat subuh berjamaah. Sang ajudan dengan trampil menarik dan melipat kursi roda. Ternyata pak Kiai ini sanggup salat dengan berdiri. Beliau rupanya hanya menggunakan kursi roda pada saat duduk menunggu waktu salat.
Ketika keesokan harinya saya ikut salat subuh berjamaah di Masjidil Haram, saya memilih tempat tepat yang lurus didepan multazam. Secara kebetulan didepan saya ada seorang laki-laki sepuh, yang duduk diatas kursi roda. Dari sarung yang dikenakan saya tahu pasti beliau juga dari Indonesia. Entah mengapa perasaan saya mengatakan bahwa pria sepuh ini pasti kiai yang kharismatis. Saya lihat ada seorang ‘ajudan’ (atau cantrik?) yang membawa tongkat, duduk tepat dibelakang kursi rodanya. Perlahan saya beringsut mendekati sang ‘ajudan’. Saya tanyakan kepadanya siapakah pria sepuh ini. Ia menjawab pelan dan singkat “Kiai Kholil dari Jawa Timur”. Subhanallah. Firasat saya ternyata betul. “Kiai Kholil” inilah yang saya dengar selalu ‘disowani’ Pak Hasyim Muzadi selama berada di Mekah.
Tiba saatnya salat subuh berjamaah. Sang ajudan dengan trampil menarik dan melipat kursi roda. Ternyata pak Kiai ini sanggup salat dengan berdiri. Beliau rupanya hanya menggunakan kursi roda pada saat duduk menunggu waktu salat.
Selesai salat subuh saya minta ijin kepada ‘ajudan’ untuk dapat berbicara dengan beliau. Sang ajudan berbisik dengan bahasa Arab dari belakang beliau. Terlihat pak Kiai mengangguk. Saya mendekat.
“Sampeyan dari mana?” suaranya terdengar pelan dan sedikit serak.
“Inggih Pak Kiai, nami kawula Tony, saking Jakarta, keleresan kawula setunggal rombongan kaliyan Pak Hasyim” jawab saya dalam bahasa Jawa ‘krama inggil’ dengan sangat khidmat.
(“Ya Pak Kiai, nama saya Tony dari Jakarta, kebetulan saya satu rombongan dengan Pak Hasyim”)
“Sampeyan punya masalah apa?” Beliau menjawab tetap dalam bahasa Indonesia. Mungkin untuk menghormati orang yang baru dikenalnya.
Dheg! Saya kaget. Darimana beliau tahu saya punya masalah?
Ah, orang waskita pasti bisa membaca wajah orang. Saya ceriterakan kepada beliau soal pemberian nama dari Mr. Abdullah, orang India Benggali itu. Jawaban beliau sungguh mencengangkan saya.
Ah, orang waskita pasti bisa membaca wajah orang. Saya ceriterakan kepada beliau soal pemberian nama dari Mr. Abdullah, orang India Benggali itu. Jawaban beliau sungguh mencengangkan saya.
“Kalau sampeyan diberi sesuatu (apapun itu) oleh seseorang, tidak peduli siapapun dia, itu artinya sampeyan mendapat amanah. Sekarang terserah sampeyan. Sanggup atau tidak menerima amanah itu”
Saya dheleg-dheleg. Masak sih saya tidak sanggup menerima amanah? Yang saya tahu, tidak menjalankan amanah itu artinya berkhianat. Naudzubillah.
Mungkin melihat saya melongo ‘kami-tenggengen’ (terpana takjub), beliau lalu berkenan memberikan beberapa ‘amalan’ yang harus saya lakukan setiap hari diluar ibadah wajib. Saya mengucapkan terima kasih pada Kiai Kholil. Alhamdulillah. Ini juga amanah. Harus saya lakukan.
Hati saya plong. Merasa tercerahkan.
Oleh sebab itu sepulang dari umrah, dengan mantap saya menambahkan nama Mohammad didepan nama saya, meskipun lebih sering saya pakai hanya dengan inisial “M” nya saja.
Oleh sebab itu sepulang dari umrah, dengan mantap saya menambahkan nama Mohammad didepan nama saya, meskipun lebih sering saya pakai hanya dengan inisial “M” nya saja.
Terima kasih Mr. Abdullah dari Benggali India. Terima kasih Pak Kiai Kholil.
Insya Allah saya dapat menjalankan amanah.
Bagus. Ceritanya bagus. Lead-nya bagus, ucapan KH kholil. Menurut saya, bagaimana kalau penyajian tulisan itu dimulai dari ssat penulis berkomunikasi dengan Mr Abdullah yg memberi nama Muhammd. Trus dilatar belakangi suasana rauang makan n Hotel Mawaddah. Anti klimaknya adalah dialog dengan Kh Kholil. Barangkali, lho. Ibarat makan rujak setiap orang punya selera yg tidak sama. Tapi pada umumnya yg paling enak yg dimakan dulu (sama dengan membaca tulisan).
BalasHapus