(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (64)
Jadi “Raksasa” di Madurodam, kota para “Liliput”
Hari Senin siang, tanggal 19 September 1988 saya berkesempatan pergi mengunjungi salah satu obyek wisata dinegeri Belanda yang (menurut saya) paling unik. Semula saya pikir bangsa Belanda masih rindu bernostalgia dengan Negara jajahannya di Hindia Belanda, terutama dengan pulau Madura. Oleh sebab itu di Den Haag mereka membangun sebuah “kota mini” yang bernama “Madurodam”. (Akhiran “Dam” adalah ciri khas nama kota di Belanda seperti Amsterdam, Rotterdam, Volendam dll). Tapi rupanya saya salah besar!
“Madurodam” ternyata diambil dari nama George Maduro, salah seorang korban akibat kekejaman NAZI Jerman disaat Perang Dunia II. Bung Maduro (yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Madura) konon kabarnya tewas disebuah “Kamp Konsentrasi” Jerman pada tahun 1945.
Dibangun pada tahun 1952 oleh orang tua George Maduro untuk mengenang sang anak tercinta, kota serba kecil itu merupakan miniatur dari gedung dan bangunan yang benar-benar ada.
Seluruh bangunan dan benda yang ada didalam ‘kota’ itu dibuat dari bahan resin yang konon anti karat dan anti lapuk dengan skala 1 : 25.
Dengan luas tanah yang tidak sampai dua hektar, Madurodam benar-benar sebuah kota para “Liliput” seperti yang diceritakan dalam dongeng. Walaupun semua bangunan berbentuk mini, tapi Madurodam memiliki tata kota yang dirancang dengan sebuah RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) yang “well planned” (terencana dengan baik). Kota mini itu dibangun sebagai sebuah kota modern, dengan Bandara, pelabuhan laut, taman, bahkan hutan kota.
Jangan pernah membandingkan Madurodam dengan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) di Jakarta, yang walaupun memakai nama ‘MINI’ tapi bangunannya berukuran ‘biasa’ dan luas tanahnya malah ‘MAKSI’, karena sampai menggusur beberapa kampung dan desa disekitarnya.
Ketika pertama kali melangkah masuk kekota mini itu (seingat saya pada tahun 1988 itu harga tiketnya antara 8 - 10 gulden), saya merasa betul-betul ‘perkasa’. Berdiri diantara gedung dan bangunan terkenal yang ada di Belanda, termasuk istana Ratu Belanda, tapi rata-rata gedungnya tidak lebih tinggi dari tubuh saya! Boleh dikata hari itu saya mendadak benar-benar menjadi seorang ‘Goliath’.
Jangan menyangka kota liliput itu tidak berpenduduk. Menurut data dikantor ‘Walikota’ Madurodam, “penduduk” yang resmi tercatat adalah sebanyak lebih dari 50 ribu orang (orang-an)! Mereka tersebar didalam gedung, jalan, Bandara, Pelabuhan dan jadi pengemudi dikendaraan yang lalu lalang dikota. Harap maklum didalam kota Madurodam terdapat lebih dari 40 perahu dan kapal, sekitar 15 buah pesawat yang sedang tidak terbang (salah satu diantaranya mempunyai logo ‘Garuda Indonesia’), dan sekitar 20 buah trem dan kereta api. Kalau anda sedang beruntung, anda bisa menyaksikan “orang-orang” itu bekerja mengoperasikan kendaraan-kendaraan yang dijalankan secara berkala dengan tenaga listrik.
Madurodam juga dibuat sebagai sebuah kota yang peduli lingkungan. Tidak kurang dari 5000 batang pohon ‘ditanam’ diantara sekitar 200 bangunan gedung, dipinggir jalan dan ditaman-taman untuk menghijaukan kota.
Walaupun ide pembuatan ‘kota’ ini berasal dari perseorangan, tetapi Madurodam dikelola secara sangat professional oleh sebuah Yayasan. Sehingga kota ‘khayalan’ ini terpelihara dengan baik dan bisa menarik minat pengunjung untuk datang ke tempat yang seolah menggambarkan dongeng dari negeri liliput itu.
Sungguh, walaupun hanya beberapa jam saja, saya merasa sangat terhibur bisa ‘berkelana’ bak seorang raksasa dikota Madurodam.
Jadi, jikalau suatu saat anda berkesempatan pergi dinas atau berwisata ke negeri Belanda, jangan lupa mampir di “Kota para Liliput” itu. Kenangan berada di Madurodam bisa untuk bahan dongeng sebelum tidur bagi sanak saudara, handai tolan, Aa’, Teteh, Uwa, Paman, Bibi, Abah, Umi bahkan mertua dan anak cucu.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar