(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (80)
Mejeng bersama "Presiden George Bush Sr"
Released by mastonie, Monday, June 21, 2010 at 05.15 am
Ikut antri masuk Gedung Putih.
Seperti biasa Pak Pardjo memilih bermalam di Hotel “The Embassy Row”, Washington, DC. Dinamakan “Embassy Row”, mungkin disebabkan karena hotel ini terletak disebuah jalan dimana banyak sekali bangunan kantor atau rumah dinas Kedutaan Negara sahabat Amerika Serikat, termasuk kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia, yang letaknya persis berseberangan dengan hotel ini.
Pak Pardjo selalu memilih sebuah kamar “junior suite” yang jendelanya langsung menghadap kantor KBRI yang punya arsitektur kuno dan unik.
Konon Ngarso Dalem Sri Sultan HB IX juga paling suka memakai kamar itu.
Pada saat itu ternyata putra kedua Pak Pardjo, yang bernama Dwi Sampurno (Mas Wiwiek) bersama dr. Abdul Muthalib, (hematolog yang ditugaskan oleh Tim Dokter Kepresidenan) telah berada pula di Washington, DC menunggu kedatangan kita.
Setelah pemeriksaan kesehatan Pak Pardjo yang berlangsung seharian penuh, keesokan harinya Bu Pardjo mengajak dua putranya beserta staf pribadi (ajudan dan dokter) untuk berkeliling kota Washington DC. Ibukota Negara adikuasa ini memang sebuah kota yang penuh bangunan bersejarah.
saya dan Bu Pardjo beserta putra2 di Washington, DC
Hampir semua bangunan perkantoran adalah bangunan yang dibangun ratusan tahun silam.
Salah satunya adalah kediaman resmi (Official Residence) Presiden Amerika Serikat yang dikenal dengan nama “The White House” (Gedung Putih).
Berfoto dengan “Presiden George Bush, Sr” didepan White House.
Gedung (yang anehnya tidak pernah disebut sebagai Istana atau Palace) ini adalah sebuah bangunan yang dirancang dan dibuat oleh arsitek James Hoban pada tahun 1792!
(Artinya saat saya berkunjung kesana pada tahun 1992, usia si “Mbah Gedung Putih” itu sudah 200 tahun alias DUA abad).
Sebetulnya gaya arsitekturnya adalah gaya rumah sederhana, mencontoh rumah yang sering dimiliki oleh para ‘tuan tanah’ Inggris di daerah pedesaan.
Gedung ini baru resmi dihuni sebagai Rumah Presiden (President’s House) sejak tahun 1800.
John Adams (Presiden kedua AS) adalah penghuni pertamanya.
Pada tahun 1814 tentara Inggris pernah membuat Gedung ini porak poranda, rusak hebat. Namun kemudian pada tahun 1815 bangunan ini direnovasi dan bahkan diperluas lagi. Saat itulah seluruh dinding bangunan dicat putih.
Sejak saat itulah kediaman Presiden Amerika Serikat dikenal dengan nama “The White House” atau “Gedung Putih”.
Bangunan utama Gedung Putih yang sangat mencolok adalah teras depannya yang menjorok kedepan. Teras ini ditopang oleh pilar-pilar bulat sebanyak 10 buah, akan tetapi apabila dilihat dari depan (dari arah Pennsylvania Avenue) yang tampak hanya atap teras berbentuk segitiga dengan empat buah pilar bulat yang besar saja.
Meskipun Presiden Amerika Serikat terkenal sebagai target utama para teroris dunia, tapi kediaman resminya ternyata terbuka untuk umum.
Secret Service (Paspampres) dan FBI (Biro Intelijen Federal) bahkan CIA (BIN nya Amerika) rupanya sangat percaya diri akan sanggup melindungi keamanan Presiden Amerika Serikat beserta keluarga dan perangkatnya.
Gedung Putih dibuka untuk umum pada hari Selasa sampai Sabtu, dari pukul 07.30 pagi sampai pukul 12.30 siang. Semua orang (termasuk wisatawan mancanegara) boleh masuk ke Gedung Putih, dengan syarat mendaftar lebih dahulu. Meski begitu, minat masyarakat (baik orang Amerika maupun non-Amerika) untuk masuk ke rumah dinas “orang nomor satu di Amerika Serikat” ini tetap saja membludak (sangat banyak). Saya tidak tahu dengan persis apakah untuk masuk Gedung Putih dipungut bayaran atau tidak, karena waktu itu semua sudah diurus oleh Protokol KBRI.
Yang betul-betul membuat saya kagum adalah kedisiplinan masyarakat Amerika untuk antri. Tidak ada perkecualian. Siapapun harus patuh dan ikut dalam antrian. Karena antrian yang (selalu) panjang mengular ini, dan dengan alasan kesehatan, menyebabkan Pak Pardjo terpaksa tidak bisa ikut. Beliau memilih mengadakan pertemuan dengan Pak AR Ramly (Dubes RI untuk AS) beserta Staf KBRI dikantornya.
Sedangkan Bu Pardjo dan keluarga (termasuk saya) merelakan diri ramai-ramai antri untuk masuk ke Gedung Putih.
Sambil berdiri dalam antrian, saya membayangkan betapa senangnya rakyat Indonesia, kalau diijinkan atau diberi kesempatan untuk masuk ke Istana Presiden di Jakarta. Seperti rakyat Amerika Serikat yang bebas berkunjung ke White House.
(Setahu saya -saat itu tahun 1992- baru Istana Tampaksiring di Bali yang dibuka untuk umum. Istana Cipanas dan Istana Bogor hanya secara terbatas dibuka untuk mereka yang mendapat ijin khusus dari Sekretariat Negara dan Paspampres. Menurut kabar, dijaman reformasi sudah mulai ada ‘keterbukaan’. Diawali pada jaman Presiden Abdurrachman “Gus Dur” Wahid, yang mengijinkan masyarakat untuk masuk ke Istana Merdeka. Konon hal yang sama dilakukan pula oleh Presiden SBY. Jadi masyarakat umum sekarang sudah bisa masuk dan melihat Istana Negara dan Istana Merdeka yang jadi kediaman resmi Presiden RI. Alhamdulillah)
Setelah melalui pintu dengan metal detector dan pemeriksaan manual petugas Secret Service, maka para pengunjung akan dihitung, setiap 20 orang langsung dipisah menjadi satu kelompok. Dengan dikawal oleh satu petugas dari Gedung Putih yang bertindak sebagai ‘tour leader’ bagi tiap kelompok, maka satu persatu kelompok pengunjung diijinkan masuk ke Gedung Putih dengan selang waktu beberapa menit. Sangat tertib, teratur dan terorganisir dengan sangat baik.
Sebetulnya hanya lima ruangan saja yang terletak dilantai pertama Gedung Putih yang diijinkan untuk dikunjungi masyarakat umum dan turis. Tapi itupun sudah lebih dari cukup untuk mengagumi keindahan dan kemegahan “Rumah bercat putih yang sudah berusia lanjut” itu.
Ruangan pertama yang bisa dilihat umum bernama “The State Dining Room”, diruangan yang besar (daya tampungnya sekitar 140 orang) inilah biasanya jamuan kenegaraan dilaksanakan. Setelah itu berturut-turut ada tiga ruangan untuk menerima tamu Presiden dan Ibu Negara, yang dinamai sesuai warna yang mendominasi ruangan.
“The Red Room” adalah ruangan yang dindingnya ditutup kain sutera berwarna merah dengan sulaman benang emas. Disebelahnya ada “The Blue Room”, ruang tamu utama khusus untuk menerima tamu Presiden. Kemudian pengunjung dibawa masuk keruang sebelah barat yang berwarna hijau daun. Inilah “The Green Room”, yang juga berfungsi sebagai ruang tamu.
Ruangan pertama yang bisa dilihat umum bernama “The State Dining Room”, diruangan yang besar (daya tampungnya sekitar 140 orang) inilah biasanya jamuan kenegaraan dilaksanakan. Setelah itu berturut-turut ada tiga ruangan untuk menerima tamu Presiden dan Ibu Negara, yang dinamai sesuai warna yang mendominasi ruangan.
“The Red Room” adalah ruangan yang dindingnya ditutup kain sutera berwarna merah dengan sulaman benang emas. Disebelahnya ada “The Blue Room”, ruang tamu utama khusus untuk menerima tamu Presiden. Kemudian pengunjung dibawa masuk keruang sebelah barat yang berwarna hijau daun. Inilah “The Green Room”, yang juga berfungsi sebagai ruang tamu.
fotos: courtessy google
Ruangan terakhir yang boleh dikunjungi orang awam bernama “The East Room”. Ruangan yang memang terletak dibagian timur dan merupakan ruangan terbesar di Gedung Putih. Dihiasi dengan beberapa lampu robyong berukuran besar dilangit-langit dan yang berukuran kecil menempel didinding yang tertutup wall paper. Lantainya dilapisi permadani tebal. Didalam ruangan ini terletak sebuah Grand Piano, yang biasanya dimainkan secara live untuk menghibur para tamu yang bercengkerama sesudah menikmati jamuan kenegaraan di “State Dining Room”.
Pertama kali memasuki ruangan di Gedung Putih, pikiran saya langsung jauh mengembara kemasa silam. Bangunan berusia dua abad ini jelas bangunan kuno bersejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan bangsa Amerika. Tapi saya benar-benar kagum dengan kondisi bangunan ‘uzur’ ini. Dia jelas tampak sangat terawat. Seluruh ruangan (yang boleh dilihat umum) tertata rapi, bersih nyaris tak berdebu. Perabotan dan segala pernak-pernik hiasan yang ada dalam gedung adalah perabotan kuno berasal dari awal abad 19. Akan tetapi (setidaknya dimata saya) seluruhnya tampak seperti barang baru. Beberapa ruangan lantainya terbuat dari marmer tua yang licin berkilat. Ada juga yang full tertutup permadani tebal nan indah. Lampu ‘chandellier’ (lampu robyong) aneka ukuran dan warna bergelantungan dilangit-langit. Sebagian menempel didinding. Saya melihat bagian dinding luarnya yang tidak ditutup dengan wall paper dalam keadaan mulus, tak terlihat ada satupun retakan.
Melihat kemegahan Gedung dan aneka perabotan yang ada didalamnya, seharusnya Gedung Putih ini pantas disebut sebagai Istana.
saya 'mejeng' didepan "the White House"
Dan inilah kesan pribadi saya sesudah terkagum-kagum melihat “Gedung Putih”: Untuk ukuran bangunan yang sudah berusia lebih dari dua abad, sesungguhnyalah, Gedung Putih adalah sebuah contoh yang layak ditiru tentang perilaku sebuah bangsa yang sangat peduli terhadap warisan budaya dan sejarahnya!
Keluar dari halaman Gedung Putih, dipinggir Pennsylvania Avenue, terdapat banyak sekali tukang foto yang menawarkan kepada para pengunjung untuk berfoto dengan latar belakang “White House”, atau bahkan berfoto dengan “Presiden George Bush, Sr”!
Bukan saya kalau menyia-nyiakan kesempatan langka itu.
Maka sayapun berfoto pula dengan “H.E. Mr. President George Bush, Sr”.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar