(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (90)
Released by mastonie, Wedneday, June 16, 2010 at 10.57 am
Melaksanakan tugas dengan riang
foto: islamicfinder.org
Menjadi anggota TPOH (Tim Pemantau Operasional Haji) Departemen Agama memang banyak suka dukanya. Akan tetapi karena anggota TPOH 1992 sangat kompak, jadi semua tugas rasanya bisa dilaksanakan dengan “don’t worry, be happy” atau senang-senang saja. Menurut perasaan saya sendiri, tampaknya malah lebih banyak suka daripada dukanya. Tugas pemantauan diutamakan dikerjakan pada siang hari. Terutama peninjauan kebeberapa maktab dan muasasah yang merupakan penanggung jawab pemondokan para jemaah haji Indonesia. Harap maklum, tempat-tempat yang dipantau atau ditinjau TPOH biasanya juga ramai dengan toko dan pedagang kaki lima yang menjual pernak-pernik barang dan souvenir yang ‘menggoda’ iman. Oleh sebab itu tidak heran kalau koper (jatah dari Garuda) tiba-tiba jadi penuh sesak. Tidak bisa lagi memuat segala macam oleh-oleh yang sudah terbeli. Padahal ini baru di Mekah, belum lagi nanti ke Madinah dan terakhir nanti di Jeddah lagi. Apa akal? Pak Abu (anggota TPOH dari Departemen Hankam) yang pertama nyeletuk:
“Ya beli koper baru lagi, gitu saja koq susah amat”.
Saya langsung menyahut: “Padahal amat saja kagak susah ya pak?”
Semua tertawa dan langsung akur. Seluruh anggota TPOH setuju untuk membeli koper baru.
Malam itu sesudah salat Isya berjamaah di Masjidil Haram, saya, Pak Sadik (anggota TPOH dari Kejaksaan Agung) dan Pak Abu pergi ke Pasar Seng (yang letaknya -pada tahun 1992- nyaris nempel dengan Masjidil Haram). Kita mulai ‘larak-lirik’ mencari tas atau koper yang kira-kira memenuhi syarat untuk menjadi koper kedua sebagai tempat yang layak bagi pernak-pernik souvenir yang sudah kita beli.
"Pasar Seng" tahun 2007, foto: mastonie
Hampir semua pedagang Pasar Seng mengenal dengan baik ciri-ciri jemaah haji Indonesia. Tidak heran banyak juga dari mereka yang mengerti serba sedikit bahasa Indonesia. Kata-kata seperti “Andunisia toyib (Indonesia bagus)”, “Murah” dan “Hanya lima real” begitu sering mereka lontarkan kepada para jemaah haji Indonesia. Tentang ”komsah real” (lima real) ini, tampaknya menjadi harga patokan yang paling jamak kita temukan di Arab Saudi. Setidaknya dikota-kota dimana jamaah haji tinggal (Mekah, Madinah dan Jeddah). Adapun tentang terkenalnya jamaah haji Indonesia dimata para pedagang di Arab, tentu kita semua maklum. Sepanjang yang saya ketahui, jemaah haji asal Indonesia dari tahun ke tahun selalu memegang rekor jemaah terbanyak dan bagi pedagang ada dua hal yang penting: paling royal, suka berbelanja dan paling sopan.
Pada malam itu kami bertemu dengan pedagang koper asal Pakistan yang ternyata pengagum Bung Karno. Setiap bertemu dengan jemaah Indonesia, dia selalu bilang :”Soekarno?”. Padahal waktu itu kan Bung Karno sudah lama wafat.
Saya kurang begitu jelas asal muasalnya, kalau berbelanja sesuatu barang, entah bagaimana ternyata saya dianggap oleh teman-teman anggota TPOH sebagai orang yang paling cerewet tapi paling lihai ber ‘negosiasi’ alias tawar menawar. (Walaupun dalam bahasa Inggris, yang belepotan ditambah dengan sedikit bahasa Tarzan).
Akhirnya pada malam itu saya berhasil mendapatkan sebuah koper mirip ‘samsonite’ (bukan asli) dengan harga yang paling masuk akal, kalau tidak bisa dibilang paling murah. Akibatnya ternyata ‘ruuuar biasa’. Saat itu juga semua teman anggota TPOH langsung ikut membeli koper serupa dengan yang saya beli. Kejadian seperti itu terus berulang. Setiap saya membeli barang dengan harga yang dianggap murah, kontan semua teman akan minta diantar ke toko yang sama untuk membeli barang yang sama, tentu dengan harga yang sama pula!
Sejak saat itu saya lalu dinobatkan sebagai “Bos Shopping” dan “Bos Koper”.
Salah seorang anggota TPOH (dari DPR-RI) ada yang berasal dari Makasar. Beliau sudah agak lanjut usianya tapi sangat senang membeli ‘ambal’ (permadani). Yang istimewa adalah, ambal yang dibelinya selalu ambal-ambal pilihan berbagai ukuran yang (untuk ukuran saya) sangat mahal harganya. Beliau ternyata kolektor ambal dan sangat ahli seluk dan beluk ambal yang bermutu atau tidak. Oleh sebab itu siapapun (anggota TPOH) yang bermaksud untuk membeli ambal, selalu konsultasi lebih dahulu kepada beliau. Maka kemudian kami sepakat memberi gelar “Bos Ambal” kepadanya.
Mungkin dalam sejarah dibentuknya TPOH di Departemen Agama RI, hanya TPOH tahun 1992 yang mempunyai 3 “Bos” sekaligus. Dan sayalah yang menyandang 2 dari 3 gelar “Bos” itu!
Apa tidak huueeeebat? Bos gitu lhoh.
“Ba’dal haji” untuk kakek dan ayah..
Sejak jauh hari sebelum berangkat ke tanah suci saya sudah berniat untuk mem”ba’dal” hajikan almarhum Simbah Kakung (kakek dari fihak ibu) dan almarhum ayah (tiri) saya. Yang dimaksud dengan “Ba’dal haji” adalah menghajikan seseorang yang karena keadaan fisiknya (uzur dan atau sakit parah) tidak memungkinkan untuk pergi ketanah suci atau seseorang telah meninggal dunia sebelum sempat menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Ba’dal haji bisa dilaksanakan sendiri atau melalui bantuan orang lain, dengan syarat yang melaksanakan ba’dal haji harus sudah pernah menunaikan ibadah haji sebelumnya. Karena saya baru pertama kali naik haji, maka saya tidak boleh melaksanakannya sendiri. Jadi harus minta bantuan orang lain yang sudah pernah pergi haji.
Almarhum Mbah Kakung adalah orang pertama yang mengenalkan saya kepada agama Islam. Beliau adalah mantan abdi dalem Kraton Solo sekaligus guru pencak silat dan guru mengaji. Saya bukan cucu laki-laki pertama beliau, tetapi (menurut perasaan saya) saya adalah cucu laki-laki yang paling dekat dengan beliau. Oleh karena itu sejak kelas dua SMP saya memutuskan untuk ‘ngenger’ (ikut) dirumah Mbah Kakung dan lepas dari asuhan kedua orang tua saya. Saya belajar mengaji dari beliau dan mendapatkan banyak ‘piwulang’ (ajaran) tentang hidup dan kehidupan. Terutama tentang falsafah hidup orang Jawa. Setelah saya dewasa, Mbah Kakung pulalah yang menjadi “jurubicara” keluarga ketika melamar calon istri saya. Tetapi hanya Allah SWT yang mempunyai kuasa dan rencana atas mahlukNya. Mbah Kakung wafat ketika saya baru mulai ‘belajar’ hidup. Saya sering merasa trenyuh (terharu) dan nelangsa (pilu) kalau mengingat kata-kata beliau:
”Mengko yen kowe wis dadi uwong, aku pengin ngrasakke numpak montormu”
(Nanti kalau kamu sudah jadi ‘orang’, saya ingin sekali naik mobilmu).
Saya yakin kata-kata beliau itu adalah sebuah do’a seorang kakek untuk cucunya. Subhanallah, do’a Mbah Kakung ternyata benar-benar dikabulkan Allah SWT, walaupun itu terjadi beberapa tahun setelah beliau wafat. Oleh karena itu setiap saya mengendarai mobil, saya selalu merasa seperti berhutang sesuatu kepada Mbah Kakung (juga Mbah Putri). Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik bagi beliau berdua sesuai amal ibadahnya. Amin.
Sejak itulah saya punya niat, kalau Allah SWT mengijinkan saya pergi ketanah suci, maka pasti saya juga akan menghajikan Mbah Kakung. Insya Allah.
Alhamdulillah, niat saya kesampaian berkat bantuan Ibu Maftuh Ihsan (istri Pejabat Konjen RI di Jeddah) yang berhasil mendapatkan dua orang 'pelaksana tugas' yang bersedia mem-ba’dal haji-kan almarhum Mbah Kakung dan ayah (tiri) saya.
foto: islamicfinder.org
foto: islamicfinder.org
Untuk dapat melaksanakan tugas menghajikan seseorang adalah pekerjaan yang sangat berat, oleh sebab itu lazimnya yang mempunyai hajat menghajikan keluarganya akan dengan sukarela memberikan sekedar ‘uang lelah’ atau imbalan (umumnya berupa uang dalam bentuk real Arab Saudi atau dolar Amerika) untuk jerih payah para 'pelaksana tugas' itu.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar