(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (83)
Saya didepan 'Musee du Louvre'
Released by mastonie, Sunday, May 30, 2010 at 03.37 pm
Bangunan ‘aneh’ didepan Museum Louvre.
Acara bebas hari berikutnya saya pergunakan untuk mengunjungi Museum Louvre.
Karena mempunyai acara sendiri, dr. Muthalib hanya mengantar saya sampai pintu gerbang Museum saja. Setelah itu dibiarkannya saya ‘terjun bebas’ keluyuran sendiri di Paris dengan hanya berbekal satu tiket terusan! Ini sebuah tantangan bagi saya yang sama sekali buta bahasa Perancis. Tapi saya tidak akan menyia-siakan kesempatan.
Hari Rabu, 4 Maret 1992 pagi, dalam kondisi cuaca dingin sejuk saya berdiri bengong sendirian didepan Museum Louvre. Sebuah pemandangan unik dan ‘aneh’ terhampar didepan mata. Bangunan utama museum adalah sebuah bangunan dengan arsitektur renaisans kuno yang indah dan megah. Yang membuat saya tercengang adalah sebuah bangunan “nyentrik” yang berada didepan museum. Tertimpa sinar matahari siang, bangunan berbentuk Piramida itu bergemerlapan karena terbuat dari kaca tembus pandang. Jadi (menurut pendapat saya) sungguh perpaduan yang aneh antara gaya arsitektur renaisans kuno dicampur dengan gaya arsitektur abstrak modern masa kini. Menurut cerita memang sempat terjadi pro kontra dengan dibangunnya Piramida kaca raksasa didepan bangunan kuno itu.
Jadi inilah dia Museum Louvre (Musee du Louvre) yang terkenal itu. Sebetulnya Museum ini adalah bekas sebuah istana bernama Palais du Louvre yang dibangun sekitar abad 12. Namun sejak tahun 1793 dialih fungsikan menjadi sebuah museum.
Dikelak kemudian hari (sekitar tahun 2006) Museum ini dijadikan setting untuk film “The Da Vinci Code” yang diangkat dari novel ‘best seller’ karangan Dan Brown dengan judul yang sama.
Memasuki Museum Louvre seperti masuk kedunia antah berantah. Paduan antara ‘chandellier’ (lampu robyong) kristal dan patung-patung berbagai bentuk dan ukuran sangat dominan menghiasi ruangan. Harus saya akui, semua koleksi benda seni kuno dan antik yang ada dimuseum ini bernilai sejarah tinggi. Koleksi museum ini meliputi barang seni yang berasal dari jaman Timur Kuno, Romawi, Mesir, Yunani serta koleksi dari Kerajaan Perancis sendiri. Ditambah ribuan benda seni kuno dan antik yang berasal dari penjuru Eropa dari segala abad. Oleh karena itu Museum Louvre terkenal sebagai museum yang paling kaya koleksinya diseluruh dunia! Seluruh koleksi benda antik dan kuno itu ditata dengan cita rasa seni berselera sangat tinggi. Apalagi hampir seluruh langit-langit atau plafon museum dihiasi dengan lukisan karya pelukis besar dunia yang bertema keagamaan dan sejarah dengan kombinasi warna warni yang mempesona mata. Sungguh menciptakan sebuah pemandangan yang indah dan luar biasa megah. Rasa iri sekonyong menyeruak menggerogoti batin saya. Begitu hebatnya bangsa Perancis (dan juga rata-rata bangsa Eropa lain) menghargai serta mengagungkan sejarah dan warisan budaya masa lalunya. Apakah itu berarti sebuah gambaran dari bangsa yang besar? Saya diam-diam merasa trenyuh. Nelangsa (pilu) kalau harus membandingkan Museum Louvre dengan (kebanyakan) museum yang ada di Indonesia. Bahkan Museum Nasional sekalipun! Apalagi kalau dibandingkan dengan museum yang ada di Istana Kerajaan baik di Jawa maupun didaerah lain di Indonesia.
Bertemu langsung dengan ‘senyum misterius’ Mona Lisa.
(Lagu “Mona Lisa” yang dipopulerkan oleh Nat King Cole).
Bagi saya yang baru pertama kali masuk ke Museum Louvre, (dan bagi siapapun yang pernah melihatnya) maka koleksi benda seni yang dipajang di Museum Louvre pasti akan menimbulkan kesan sangat mendalam. Namun ada satu obyek spesial yang harus saya temukan dimuseum ini. Sebuah lukisan masterpiece yang amat termasyhur didunia, karya seniman Italia serba bisa yang lahir dikota Vinci, Toscane: Leonardo Da Vinci (15 April 1452 – 2 Mei 1519). Sebuah lukisan ‘setengah badan’ seorang wanita cantik yang menyunggingkan sebuah senyum misterius dan pernah menggemparkan dunia. Terkenal dengan sebutan nama “Mona Lisa”, konon karena lukisan ini adalah potret dari Madonna (disingkat jadi Monna atau Mona) Lisa, istri kedua atau selir seorang saudagar bernama Bartolomeo del Giocondo dari Florence, Italia. Oleh sebab itu, jangan pernah mencari “Monalisa” di Museum Loevre, karena di museum ini ia disebut dengan nama aslinya “La Gioconda”, lukisan yang dibuat sekitar tahun 1503 ini pernah menjadi ajang perburuan kolektor lukisan tingkat dunia. Bahkan juga jadi target incaran para penjahat untuk dapat mencurinya. Begitu terkenalnya lukisan ini sampai menginspirasi seorang komponis untuk menciptakan sebuah lagu dengan judul yang sama. Mungkin karena menyadari amat sangat kondang nya lukisan ini, pengelola museum sampai memerlukan membuat sebuah petunjuk arah khusus disetiap ruangan. Petunjuk arah berwujud anak panah dengan tulisan “La Gioconda” ini sangat membantu memudahkan dan menuntun pengunjung museum untuk menemukan dimana lokasi lukisan ini disimpan. Bahkan tanpa perlu bertanya-tanya kepada siapapun, asal dia tidak buta huruf, pasti bisa dengan mudah menemukan lukisan “La Gioconda” alias “Mona Lisa”, ‘wanita berwajah klasik dengan senyum malu-malu kucing’ itu.
si "Mona Lisa" bersembunyi dibalik kaca anti peluru!
Walaupun saya juga bisa menemukannya dengan tanpa susah payah, tetap saja saya kecewa berat ketika bisa menatap langsung si “La Gioconda” alias “Mona Lisa”. Lukisan yang konon kabarnya dipuja dan dirindukan oleh hampir semua kolektor lukisan (!) didunia ini (sehingga banyak sekali dibuat salinan atau duplikatnya), ternyata mempunyai ukuran yang tidak terlalu besar, hanya sekitar 77 x 53 sentimeter saja! Dan masih ‘disembunyikan’ pula dalam sebuah pigura kaca tebal yang berada dibalik sebuah dinding kaca kokoh dan bahkan (katanya) anti peluru! Masih belum cukup, lukisan itu dilindungi dengan system alarm yang konon paling canggih. Jadi inilah lukisan mahakarya itu. Saya termenung didepan dinding kaca lebar yang melindungi lukisan itu. Ada rasa menyesal karena tak dapat membelai walau hanya piguranya sekalipun. Pikiran saya jauh menerawang. Apakah “Selir sang Giocondo” (La Gioconda) itu merasa cukup nyaman diberi perlindungan yang ekstra ketat itu? Apakah Leonardo Da Vinci, pelukis yang menciptakannya merasa sedih atau mungkin bahkan bangga karyanya dipamerkan seraya sekaligus disembunyikan begitu rupa?
Tetapi diluar itu semua, saya harus bersegera melihat dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Harap maklum, karena pengunjung museum dilarang keras berlama-lama berada didepan lukisan yang ‘terpenjara’ itu! Menurut saya, wanita yang dijadikan model oleh Da Vinci itu (Madonna Lisa) memang berwajah cantik, klasik dan antik, tapi agak aneh. Apalagi senyumnya itu. Sangat misterius, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Konon ada yang pernah menganalisa bahwa lukisan itu sebenarnya adalah potret diri Leonardo Da Vinci sendiri yang sengaja dibuatnya menjadi sosok wanita yang tersenyum malu-malu. Padahal (mungkin) itu sebuah ‘karikatur’ yang maksudnya tersenyum mengejek ‘ketololan’ orang-orang yang melihatnya! Wallahu’alam.
Bagaimanapun lukisan itu sudah diakui oleh dunia seni sebagai sebuah lukisan masterpiece (mahakarya) Leonardo Da Vinci, yang nilainya tak terkira. Jadi wajar saja kalau penjagaan untuk benda yang satu ini begitu ketatnya. Pengunjung museumpun dilarang untuk menyentuh (walaupun hanya) dinding kaca pelindung yang paling luar dan dilarang keras pula untuk memotretnya. Tapi saya yang termasuk “bonek” tentu tak kehilangan akal. Sudah jauh-jauh datang dari benua lain, masak iya tidak berhasil berpose bersamanya walau hanya satu jepretan saja. Maka dengan membujuk (memakai bahasa Tarzan), pengunjung lain yang tampak sekali enggan, sayapun akhirnya berhasil memaksanya untuk mengambil foto saya bersama sang Monalisa! “Merci Monsieur!” (terima kasih tuan) itu saja kata bahasa Perancis yang diajarkan dr. Muthalib kepada saya untuk ‘senjata’ menghadapi orang Paris yang keras kepala (memakai bahasa nasionalnya).
Tentu saja kata “Mercy Monsieur” itu harus saya hafalkan, khawatir kalau saya malah kepeleset ngomong jadi ” Montir Mersi”! Ya, siapa tahu? Namanya juga kepeleset.
Hari sudah menjelang petang ketika saya pulang dengan naik bis kota. Petunjuk halte terdekat dengan rumah Pak Dubes sudah saya hafalkan diluar kepala supaya tidak tersesat.
Kan tidak lucu kalau Sekpri Menko Kesra sampai “disparu a Paris” (‘disappear in Paris’ atau lenyap bin ‘raib’ di Paris).
Termenung didalam bis kota yang betul-betul “BERNYALI”: BERsih, NYAman dan LIcin, saya masih terus terkenang si Mona Lisa alias La Gioconda, “the lady with the mystic smile”.
Juga pesona kemegahan Musee du Louvre yang entah kapan bisa saya kunjungi lagi.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar