(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
New York I'm coming.........
Masih dihari dan tanggal yang sama, Kamis 8 Maret 1990, Jumbo jet Pan Am mendarat di Bandara Internasional John F. Kennedy New York. Bandara yang sangat besar dan sangat sibuk. Itu kesan pertama saya. Demikian juga kotanya.
Keluar dari halaman Bandara JFK, mobil sudah terjebak kemacetan lalu lintas. Ditahun yang sama, Jakarta belum separah itu macetnya. Ini untuk pertama kalinya saya datang ke New York. Harap maklum kalau sepanjang perjalanan saya terlongong seperti sapi ompong, melihat belantara “gedung jangkung” yang ada. Padahal kota New York (NY) ‘hanya’ terletak disebuah pulau yang bernama Manhattan.
Setelah semua acara resmi di New York City, kota tersibuk dan termahal didunia itu selesai, Pak Pardjo memanggil saya.
“Ton, besok saya terbang ke Washington untuk check up. Jij dengan dokter Jarwo bisa nyusul ke Washington, tapi lewat jalan darat saja. Nanti saya pinjam mobil dengan sopirnya sekalian ke Pak Watapri. Kira-kira Tony berani nggak?
Ya, ampun. Untuk yang kesekian kalinya saya merasa ditantang.
Pak Pardjo tampaknya suka sekali “menguji nyali” saya.
“Bilih Bapak ngersakaken makaten, dalem nderek kemawon
(Sekiranya Bapak berkehendak begitu, saya mengikuti saja)” jawab saya.
“Paling-paling hanya lima jam. Tony malah bebas bisa melihat-lihat kota yang dilalui. Semuanya lewat high way. Jadi jij tidak usah khawatir” beliau mencoba menjelaskan (mungkin) sambil membesarkan hati saya.
“Sendiko dhawuh (Ya) Pak. Matur sembah nuwun (terima kasih)”
“Bilih Bapak ngersakaken makaten, dalem nderek kemawon
(Sekiranya Bapak berkehendak begitu, saya mengikuti saja)” jawab saya.
“Paling-paling hanya lima jam. Tony malah bebas bisa melihat-lihat kota yang dilalui. Semuanya lewat high way. Jadi jij tidak usah khawatir” beliau mencoba menjelaskan (mungkin) sambil membesarkan hati saya.
“Sendiko dhawuh (Ya) Pak. Matur sembah nuwun (terima kasih)”
Keesokan harinya Bapak dan Ibu Soepardjo terbang ke Washington. Saya dan dokter Jarwo (dokter AURI, mantan dokter pribadi Jendral Yusuf) mendapat pinjaman sebuah sedan station wagon merk Chevrolet bernomor CD, dengan pengemudi bernama Bob. Seorang pemuda bertampang ‘Indo’ yang trampil sekali mengemudi dan hafal semua jalan dikota-kota besar Amerika. Ia seorang local staff dikantor Watapri yang sudah lama hidup di New York. Anak muda yang sopan dan tidak ‘neko-neko’. Karena waktu tidak dibatasi oleh Pak Pardjo, jadi saya dan Pak Jarwo berencana untuk keliling New York dalam waktu sehari ini sebelum berangkat menyusul ke Washington.
Melihat patung “Liberty”
Siapa yang tak kenal “Patung Liberty” (Statue of Liberty, Statue de la Liberte)? Kalau sudah ke New York tapi tidak pergi ke Pulau Liberty untuk menjenguk “Patung Kemerdekaan” itu, berarti anda sudah merugi. Begitu selalu kata orang. Termasuk Dik Bob sang pengemudi. Saya dan dokter Jarwo memanggilnya “Dik” karena memang orangnya masih muda sekaligus untuk tidak mengambil jarak. Jadilah hari itu kita menyeberang ke Pulau Liberty yang terletak dimulut pelabuhan New York, dengan naik ferry khusus pulang pergi.
Mejeng didepan Patung Liberty, fotos: mastonie
Patung yang menjadi lambang kemerdekaan dan kebebasan (liberty) ini adalah sumbangan dari Rakyat Perancis kepada Rakyat Amerika Serikat yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya. Dirancang dan dibuat oleh arsitek Frederic Auguste Bartholdi, patung perempuan membawa obor ini secara resmi diserahkan kepada Pemerintah Amerika Serikat pada tanggal 28 Oktober 1886.
Patung setinggi 46 meter (jika ditambah dengan bangunan penyangga -pedestal- dibawahnya jadi 93 meter) itu apabila didekati nyata sekali berwarna agak kehijauan. Karena letaknya yang strategis dimulut Pelabuhan New York, Patung Liberty pernah dioperasikan sebagai “mercu suar” sampai tahun 1902. Angin berhembus sangat keras di pulau Liberty. Oleh sebab itu penyangga patung ini didesain mempunyai toleransi gerakan bergoyang mengikuti arah angin sejauh 7 sampai 13 sentimeter ketika tersapu angin dengan kecepatan maksimal sampai hampir 100 km/jam. Badan Patung Liberty terbuat dari tembaga dengan rangka baja yang berongga, sehingga pengunjung bisa masuk kedalamnya dan naik melalui tangga sampai keatas. Waktu saya berkunjung kesana (1990), ada peraturan, setiap jam hanya diijinkan naik 3 grup berisi @ 10 orang secara bergantian dengan selang waktu beberapa menit. Saya sendiri kehilangan ‘nafsu’ naik sampai atas karena tiupan angin yang keras dan dingin menggigilkan tubuh.
Untuk menghilangkan rasa ‘kuciwa’, saya sempatkan bernarsis ria, foto didepan Patung Wanita yang paling “tahan lama” berdiri itu (bayangkan ia sudah berdiri ditempat yang sama dengan posisi yang sama sejak tahun 1886! Namanya juga patung).
Patung setinggi 46 meter (jika ditambah dengan bangunan penyangga -pedestal- dibawahnya jadi 93 meter) itu apabila didekati nyata sekali berwarna agak kehijauan. Karena letaknya yang strategis dimulut Pelabuhan New York, Patung Liberty pernah dioperasikan sebagai “mercu suar” sampai tahun 1902. Angin berhembus sangat keras di pulau Liberty. Oleh sebab itu penyangga patung ini didesain mempunyai toleransi gerakan bergoyang mengikuti arah angin sejauh 7 sampai 13 sentimeter ketika tersapu angin dengan kecepatan maksimal sampai hampir 100 km/jam. Badan Patung Liberty terbuat dari tembaga dengan rangka baja yang berongga, sehingga pengunjung bisa masuk kedalamnya dan naik melalui tangga sampai keatas. Waktu saya berkunjung kesana (1990), ada peraturan, setiap jam hanya diijinkan naik 3 grup berisi @ 10 orang secara bergantian dengan selang waktu beberapa menit. Saya sendiri kehilangan ‘nafsu’ naik sampai atas karena tiupan angin yang keras dan dingin menggigilkan tubuh.
Untuk menghilangkan rasa ‘kuciwa’, saya sempatkan bernarsis ria, foto didepan Patung Wanita yang paling “tahan lama” berdiri itu (bayangkan ia sudah berdiri ditempat yang sama dengan posisi yang sama sejak tahun 1886! Namanya juga patung).
Melihat “WTC Twin Towers” dan “Empire State Building”.
Sebagai kota “Skyscrapers” (pencakar langit), New York City terkenal dengan gedung-gedung ‘jangkung’ yang menjulang tinggi menggapai angkasa. Beberapa diantaranya pernah memegang rekor tertinggi didunia. Seperti “Empire State Building” dan “World Trade Center (WTC) Twin Towers”, yang semuanya terletak di pulau Manhattan (berasal dari kata Manna-hata, pulau yang mempunyai banyak bukit), dimulut sungai Hudson. Pulau yang ‘ditemukan’ pada tahun 1524 ini merupakan pusatnya kota New York. Nyaris semua kegiatan ada disini, dari pusat pemerintahan tingkat dunia (PBB) sampai bursa saham paling terkenal didunia (Wall Street dan NY Stock Exchange) serta pusat hiburan dan kehidupan malamnya (Broadway). Oleh karena itu tidak heran kalau New York (NY) menjadi kota terpadat, tersibuk, termahal dan terkenal tinggi angka kriminalitasnya.
Saya dan dokter Jarwo sempat berkeliling untuk melihat Menara Kembar WTC, Empire State dan tentu ke Central Park, taman rekreasi dipusat kota dimana banyak tupai jinak yang berlarian minta makanan. Taman hijau seluas hampir 3,5 kilometer persegi ini konon dibangun sejak tahun 1850. Ia memiliki semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh penduduk New York. Ada jalur sepanjang 10 kilometer yang mengelilingi Central Park, yang bisa digunakan untuk jogging, jalan santai ataupun bersepeda. Bahkan ada juga fasilitas untuk bermain ice skating (ski es) dan olah raga lainnya. Taman ini bisa disebut sebagai hutan kota karena banyaknya satwa dan unggas (burung) liar yang betah hidup didalamnya. Banyaknya pepohonan hijau yang rimbun berfungsi sebagai ‘paru-paru’ kota, mengingat polusi udara yang diakibatkan padatnya kendaraan bermotor di New York City.
Ada satu hal yang membuat saya sampai saat ini masih merasa ‘trenyuh’. Yaitu ketika mendapati kenyataan bahwa Twin Towers WTC yang pernah saya lihat dengan mata kepala sendiri berdiri perkasa ditengah kota New York, kini telah tiada. Bangunan luar biasa itu telah runtuh dengan cara luar biasa pula akibat kebiadaban para teroris yang tega menabrakkan pesawat penumpang ke dua gedung kembar naas itu pada tanggal 11 September 2001.
Dan korban tewas yang tercatat sampai melebihi 3000 jiwa adalah korban sia-sia dari perjuangan sebuah kelompok orang yang menamakan dirinya ‘pejuang penyelamat dunia’.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar