(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)
( 10 )
Pemandangan Mina
Released by mastonie on Wednesday, April 20, 2011 at 02.02 pm
Rebutan antri ke”belakang” ……
Mabit di Mina merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi para jemaah calon haji.
Itulah saatnya kita harus hidup bersama-sama dengan orang lain dalam suasana yang sangat khas, penuh nuansa ibadah. Tapi ternyata itu tidak mudah dijalani. Banyak cobaan silih berganti datang menggoda, yang sedikit banyak bisa mengganggu ibadah.
Seingat saya satu kelompok tenda Maktab di Mina hanya mempunyai 10 buah MCK (mandi, cuci, kakus) pria dan 10 buah MCK wanita. Ditambah dengan masing-masing 5 tempat berwudhu.
Yang disebut MCK di Mina adalah semacam bilik kecil berjejer dengan pintu sederhana. Ukurannya barangkali hanya 1,5 x 2 meter. Didalamnya ada sebuah lubang yang terletak dilantai. Itulah lubang kakus. Ada sebuah selang shower dibawah untuk membersihkan hadas, dan sebuah shower besar tergantung diatas untuk mandi. Kalau tidak salah diantara 10 bilik MCK itu ada 2 (dua) buah yang sebenarnya dikhususkan untuk buang air kecil saja. Ini dimaksudkan untuk 'pelayanan ekstra cepat'. Semacam loket khusus, tapi bukaaaan...
Mengingat jumlah MCK yang masih sangat jauh dari memadai (karena satu Maktab bisa menampung jemaah calon haji sampai 2 ribuan orang), maka tidak heran kalau setiap hari tampak antrian panjang di MCK. Apalagi orang Indonesia sudah terkenal sangat susah antri. Ada saja yang berusaha untuk menyerobot dengan berbagai macam alasan. Kadang-kadang terjadi keributan kecil juga. Maklum urusan ‘kebelakang’ ini memang terkadang bisa sangat mendesak. Tidak kalah dengan situasi gawat darurat. Tapi biasanya karena sama-sama mengingat sedang menjalankan ibadah haji, urusan terselesaikan dengan baik.
Oleh sebab itu untuk urusan kebelakang memang butuh ‘kiat’ tersendiri. Khususnya agar pada saat akan kebelakang tidak bentrok waktunya dengan kebiasaan orang banyak. Suatu hal yang gampang dikatakan tapi susaaaaah amat dilaksanakan.
Jurus yang saya terapkan (dengan beberapa teman yang sefaham) adalah mengubah gaya hidup ‘kebelakang’ dengan total. Kalau biasanya rutin dilakukan pada pagi hari sesudah shalat Subuh (misalnya), maka di Mina pola itu harus diganti, kalau tidak ingin antri sampai ‘tua’.
MCK biasanya sudah agak lengang pada tengah malam. Nah, itulah kesempatan yang harus diambil. Tapi perubahan pola ini memang harus benar-benar dengan niat kuat. Soalnya kalau tidak, perut seperti tidak bisa diajak kompromi. Apalagi kalau habis menyantap makanan ‘hot’ yang mengundang ‘revolusi’ dalam perut. Masa harus menunggu sampai tengah malam? Salah-salah bisa ‘mbrojol’ duluan. Gawat kan?
Soal lain yang juga bikin pusing adalah mandi dan wudhu. Kalau mandi masih bisa diakali atau dikurangi jumlahnya. Sehari cuma mandi sekali, misalnya. Tak masalah, karena cuaca di tanah suci membuat kita seolah tidak berkeringat. Tapi wudhu kan harus tetap 5 kali sehari. Mana bisa kurang?
And the problem is……setiap adzan berkumandang, tempat wudhu (terletak didekat MCK) selalu amat sangat penuh sesak sekali. Yang lebih menjengkelkan (eh, calon haji tidak boleh jengkel ya?), walaupun tempat wudhu sudah dibagi masing-masing 5 tempat untuk wanita dan pria, tapi para jemaah wanita ini dengan gagah berani merebut tempat wudhu para lelaki yang (tentu saja) hanya bengong melihatnya. Kadang-kadang malah sampai 2 tempat yang dikuasai!
Alhasil ketika mau berwudhu, para jemaah lelaki tambah panjang antriannya.
Sabaaaar pak hajiiiiii……begitu selalu kata para jemaah wanita.
Entah menghibur entah menggoda!
‘Kapling’ hadiah yang bermasalah…
Tempat kedudukan (kapling) saya didalam tenda memang sangat ‘strategis’.
Pilihan dari seorang Perwira Tinggi berbintang jeee…
Pak Sarining Setyo Utomo (nama Jenderal pemurah dan ramah itu) sendiri ternyata malah pindah ke tenda lain yang lebih senyap. Maklum, tenda yang saya tempati memang terletak dekat dengan jalan raya yang banyak dilalui kendaraan bermotor, jadi memang agak bising.
Walau begitu, saya memutuskan untuk setia menempati ‘kapling hadiah’ itu.
Terletak persis dimulut (pintu masuk) tenda. Saya memang jadi lebih mudah keluar masuk tanpa mengganggu orang lain. Tapi justru saya yang terganggu keluar masuknya orang lain! Sebetulnya bukan pintu sih. Lebih tepat kalau disebut jalan masuk ketenda. Bentuknya mirip segitiga, hasil lipatan dari kedua ujung tenda yang disingkap keatas, sehingga terbentuk lubang menganga (berbentuk segitiga juga) tempat keluar masuknya orang kedalam tenda.
Keuntungannya jelas ada. Kalau saya sedang bertahta di kapling, setiap orang yang mau masuk atau keluar pasti ‘uluk salam’ dahulu kepada saya. Saya jadi banyak kenalan dan terkenal sebagai portir (penjaga pintu) kan?
Tapi kerugiannya juga lumayan, saya sering terganggu kalau sedang ‘liyer-liyer’ setengah melek setengah merem. Jelas mengurangi jam tidur saya.
Saya juga jadi tumpuan angin yang keluar masuk ketenda. Dan jangan tanya, angin di Mina (setidaknya pada bulan Desember itu) terkenal dahsyat kencang dan dinginnya. Apalagi kalau sudah menjelang sore. Harap maklum ‘pintu’ tenda biasanya baru ditutup sesudah shalat Isya, kadang lebih malam lagi.
Akibatnya sungguh runyam. Saya mulai batuk-batuk. Teman teman masih bisa menghibur: “Kalau begitu pak Tony jelas bukan keturunan Unta”.
Memang betul, yang tidak batuk di tanah Arab memang hanya Unta.
Sialnya saya hanya membawa persediaan obat pribadi yang bersangkutan dengan sakit jantung saya. Dengan sedikit obat flu, tapi malah tidak ada obat batuknya!
Dalam rombongan jemaah haji Anubi resminya ada dua orang dokter pendamping jemaah. Dr. Affandi berasal dari Semarang, satunya lagi dr. Sunaryo Gana dari Kudus. Karena dokter Naryo istrinya juga seorang dokter, jadi bisa dibilang ada tiga dokter dalam rombongan.
Selama ini dr. Affandi mendapat tugas mendampingi jemaah Anubi yang “super VIP”, yang bertahan untuk tetap tinggal dihotel, jadi tidak ikut mabit di Mina. Oleh sebab itu saya konsultasi ke dokter Naryo, yang dengan setia mendampingi jemaah di Mina.
Sejak manasik haji di Jakarta saya sudah agak akrab dengan suami istri dokter Naryo dan dokter Nuria Meida. Kebetulan saja dr. Nuria masih ada hubungan keluarga dengan istri paman saya yang ada di Kudus.
Saya jauh lebih tua dari pasangan dokter ini, jadi dokter Naryo selalu memanggil saya dengan sebutan “Bang”. Entah mengapa dia memilih sebutan gaya ‘Betawi’ itu, bukan “Mas” atau “Kang”, padahal dia berkomunikasi dengan saya memakai bahasa Jawa ngoko, menandakan sikap keakraban dan tidak mengambil jarak.
Dokter Naryo memberikan beberapa obat generik yang ada dalam persediaannya.
Alhamdulillah, batuk saya bisa agak berkurang. Tapi saya belum benar-benar merasa sehat.
Sekarang saya baru merasa, betapa lebih mudahnya pergi naik haji senyampang usia masih muda. Diusia menjelang lima lusin ini, saya merasa badan saya tidak terlalu ‘fit’. Barangkali pengaruh dari sakit yang saya derita setahun yang lalu.
Tapi dengan obat yang diberikan dokter Naryo, saya mengharap masih bisa bertahan sampai pulang dari padang Arafah setelah melaksanakan Wukuf.
Artinya secara syah saya sudah menunaikan kewajiban berhaji.
Insya Allah tidak terjadi apa-apa……
Balada Armina yang selalu macet….
“Haji adalah wukuf di Arafah”. Itu adalah sabda Baginda Rasulullah Saw dalam salah satu hadits. Dan Wukuf memang hanya bisa dilaksanakan dipadang Arafah. Tidak ada tempat lain. Dan tidak ada wukuf selain pada tanggal 9 Dzulhijjah. Terjadi hanya setahun sekali.
Tenda Calon Haji di Arafah foto2: mastonie
Oleh karena kepastian haji seseorang ditentukan dengan dilakukannya wukuf di padang Arafah, maka mau tidak mau, sehat maupun sakit, seluruh jemaah calon haji dari seluruh penjuru dunia harus melaksanakan wukuf. Atau dianggap tidak pernah pergi haji, alias hajinya tidak syah.
Itulah sebabnya Pemerintah Indonesia (dhi Departemen Agama) mengambil langkah untuk mengadakan “Safari Wukuf”. Yaitu kegiatan untuk mengangkut para jemaah calon haji yang menderita sakit untuk dibawa ke padang Arafah pada saat tiba hari untuk wukuf. Sebuah tindakan mulia, karena sungguh tidak mudah membawa para jemaah calon haji yang sedang sakit (dari ringan, berat sampai koma) yang dirawat dibeberapa klinik maupun Rumah Sakit di Mekah dan Madinah untuk secara serentak dibawa ke padang Arafah dengan ambulans.
Dibutuhkan tidak hanya tenaga dan pikiran, tapi juga loyalitas dan dedikasi seluruh petugas.
Sangat mengharukan. Sewaktu menjadi anggota TPOH dan berhaji untuk pertama kali pada tahun 1992, saya ikut terlibat dalam penyelenggaraan ‘Safari Wukuf’ ini. Saya tahu dengan persis bagaimana kegiatan itu sangat menguras tenaga dan fikiran serta waktu.
Barangkali Negara lain juga melaksanakan acara seperti itu, saya kurang tahu.
Tapi yang pasti dari tahun ketahun padang Arafah dan Mina (populer dengan sebutan ARMINA) yang nyaris hanya dihuni manusia setahun sekali, selalu menjadi daerah yang penuh sesak oleh jutaan jemaah calon haji dari seluruh pelosok dunia. Kemacetan pun tak terhindarkan lagi. Jarak dari Masjidil Haram Mekah ke Mina hanya sekitar 7 kilometer jauhnya, demikian pula jarak Mina ke Muzdalifah dan Muzdalifah ke Arafah.
Akan tetapi pada musim haji jarak yang tidak sampai 25 kilometer itu bisa ditempuh sampai berjam-jam.
Hampir setiap tahun pemerintah Kerajaan Arab Saudi terus berusaha meningkatkan pelayanan di jalur Armina ini. Jalur jalan diperbanyak (pada tahun 1992 sudah ada 4 jalur jalan, kini kabarnya sudah jadi 9 jalur). Pengaturan lalu lintas diperketat. Tapi tetap saja kemacetan lalu lintas menjelang dan selama wukuf tak teratasi.
Bayangkan saja kalau lebih dari dua juta orang berbondong-bondong menuju satu tempat pada waktu yang sama. Mereka menggunakan bermacam jenis kendaraan bermotor, dari sedan, jip, truk sampai bus besar kecil. Bahkan banyak juga yang hanya berjalan kaki.
Tujuan mereka hanya satu: wukuf di padang Arafah sebagai tanda syah nya haji.
Syaratnya (menurut saya) hanya ada tiga perkara: sabar, tawakal dan mau antri.
Oleh sebab itu hampir tak pernah ada yang mengeluh.
Semua menganggap itulah salah satu bagian dari ujian kesabaran seorang calon haji.
Wallahu 'alam.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar