EPISODE TERBANG KE BENUA AMERIKA SELATAN:
Ternyata memang inilah Suriname. Negeri (bagi) ‘wong Jowo’ yang dibuang paksa oleh penjajah Belanda, lebih dari seratus tahun yang lalu (Jika dihitung mundur dari tahun 1990). Sangat mengherankan bahwa keturunan ‘orang-orang buangan’ itu masih begitu kuat ‘nguri-uri’ (memelihara) budaya Jawanya. Padahal sudah hampir lebih dari 4 generasi mereka -dipaksa- tinggal di negeri yang jaraknya lebih dari ratusan ribu kilometer dari tanah tumpah darah nenek moyangnya ini.
Diam-diam saya ‘trenyuh’, seraya kagum pada keteguhan tekad mereka untuk tetap jadi ‘Wong Jowo’. Walau apapun terjadi.
Didalam buku “Historische Database van Suriname” yang disusun oleh Maurits Hassankhan dan Sandew Hira disebutkan bahwa lebih dari 32.965 orang penduduk Jawa dikirim dengan kapal ke Suriname sebagai imigran. Puluhan ribu “Wong Jowo” yang nyaris seluruhnya para pekerja (baik pria maupun wanita) itu dikirim secara rutin dan bertahap ke Suriname mulai dari tanggal 9 Agustus 1890 sampai dengan tanggal 13 Desember 1939. Oleh sebab itu tanggal 9 Agustus 1890 boleh disebut sebagai awal mula ‘Wong Jowo’ dibuang ke Suriname. Dan diantara tanggal dan bulan itulah yang akhirnya selalu diperingati sebagai hari bersejarah oleh anak keturunan para ‘Koeli Kontrak’ itu ditanah air mereka yang kedua, Suriname.
Waljinah
Pak Wiliam Sumita ternyata juga menyiapkan acara kejutan buat Menko Kesra beserta Ibu Soepardjo. Acara itu berupa tatap muka dengan sesepuh yang merupakan sisa dari ‘cikal-bakal’ Wong Jowo di Suriname. Generasi ‘orang buangan’ itu hanya menyisakan ibu-ibu tua yang sudah sangat lanjut usianya. Tapi nyatanya masih punya ‘memori’ sangat kuat tentang keberadaan mereka dan asal usulnya. Seluruh pembicaraan dilakukan dalam bahasa Jawa ngoko. Saya jadi geli sewaktu melihat Pak dan Bu Pardjo terlibat wawancara dengan mereka. Sama sekali tidak ada jarak. Saya bayangkan suasananya tentu akan sangat lain kalau wawancara itu dilakukan dengan masyarakat ‘Jawa asli’ yang berada di Jawa-Tengah (Indonesia) misalnya. Sudah pasti orang Jawa (di Indonesia) akan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil ketika tahu yang diajak bicara adalah seorang Menteri. Tapi kali ini dialog terjadi di Suriname Bung! Jadi enak saja mereka bicara dalam bahasa Jawa kasar (ngoko) dengan seorang Menteri, layaknya bicara dengan teman lama. Akrab dan penuh gelak tawa. Ibu-ibu sepuh itu bahkan masih bisa menceriterakan asal-usul dan keluarganya yang ada di Jawa (mereka samasekali tidak mengenal Indonesia). Lengkap dengan nama keluarga dan nama desanya. Luar biasa. Hanya jarak saja yang ternyata memisahkan mereka. Tapi secara moral dan budaya mereka masih terikat sangat kuat dengan tanah tumpah darahnya. Mereka bahkan masih bisa mengingat, betapa susahnya dulu ketika mereka ditangkap secara paksa oleh Kompeni Belanda dan kemudian di’angkut’ dengan kapal laut selama berbulan-bulan menuju tanah yang sama sekali tidak mereka kenal. Dan ternyata mereka tak pernah bisa kembali dan bertemu sanak saudaranya lagi. Mengesankan sekaligus mengharukan. Bu Pardjo tampak tak kuasa menahan air matanya.
(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (71)
Pak Pardjo pidato di Suriname
Released by mastonie, Sunday, May 23, 2010 at 10.46 pm
Undangan dari Suriname.
Pada bulan Agustus tahun 1990 Presiden Republik Indonesia mendapat undangan dari Pemerintah Suriname untuk ikut menyaksikan Perayaan Peringatan “100 tahun kedatangan ‘Wong Jowo’ di Suriname”. Peringatan itu akan diadakan pada awal bulan September 1990.
Mungkin karena padatnya jadwal acara Presiden, maka Menko Kesra mendapat perintah untuk mewakili Presiden (atas nama Pemerintah RI) guna menghadiri acara tersebut.
Mungkin karena padatnya jadwal acara Presiden, maka Menko Kesra mendapat perintah untuk mewakili Presiden (atas nama Pemerintah RI) guna menghadiri acara tersebut.
Kali ini saya juga ikut dalam rombongan Delegasi RI yang dipimpin oleh Menko Kesra Letjen TNI Purn. H. Soepardjo Roestam, mengunjungi Suriname.
Sebagai sesama ‘Wong Jowo’, Pak Pardjo rupanya ingin sekali memberikan oleh-oleh yang lain daripada yang lain. Maka beliaupun memutuskan untuk membawa serta sejumlah artis ‘Jowo’ yang konon sangat disukai oleh masyarakat Suriname. Artis yang masuk dalam anggota rombongan diantaranya adalah Waljinah si ‘Walang Kekek’, penyanyi keroncong dan langgam Jawa yang terkenal itu, dan penari serba bisa Didiek ‘Nini Thowok’ Hadiprayitno serta satu grup kesenian Ludruk dari Provinsi Jawa Timur.
Sebagai sesama ‘Wong Jowo’, Pak Pardjo rupanya ingin sekali memberikan oleh-oleh yang lain daripada yang lain. Maka beliaupun memutuskan untuk membawa serta sejumlah artis ‘Jowo’ yang konon sangat disukai oleh masyarakat Suriname. Artis yang masuk dalam anggota rombongan diantaranya adalah Waljinah si ‘Walang Kekek’, penyanyi keroncong dan langgam Jawa yang terkenal itu, dan penari serba bisa Didiek ‘Nini Thowok’ Hadiprayitno serta satu grup kesenian Ludruk dari Provinsi Jawa Timur.
Sekali lagi Pak Pardjo menghendaki terbang dengan pesawat KLM, karena beliau menginginkan rombongan transit semalam di negeri Belanda. Rupanya Pak Pardjo selalu ingin mengulang kenangan manis saat berbulan madu dengan Bu Pardjo ditahun 1950an, ketika Pak Pardjo bertugas sebagai Sekretaris Atase Pertahanan KBRI di Den Haag. Penerbangan ke Suriname (lewat rute mana saja) memang akan berlangsung lama, oleh sebab itu wajar kalau Pak Pardjo memilih tempat transit dinegeri dimana beliau bisa bernostalgia. Bagi saya inilah kedua kalinya saya ‘mampir’ di negeri kincir angin Belanda.
Karena hanya ada waktu sehari semalam saja, maka Pak Pardjo meminta Protokol KBRI Den Haag agar mengatur acara bagi anggota Delegasi dengan sebaik-baiknya. Maklum bagi sebagian besar anggota rombongan, ini adalah perjalanan mereka untuk yang pertama kali pergi keluar negeri.
Disambut ‘Jaran Kepang’, Nagasari dan Klepon
Setelah terbang dengan Pesawat KLM selama lebih dari 30 jam (termasuk dua kali transit di Amsterdam dan Georgetown, Guyana), maka tibalah Delegasi RI di Bandara Johan Adolf Pengel, Paramaribo, Suriname. Bandara Internasional yang sederhana ini lebih dikenal sebagai Bandara Internasional Zanderij.
Hari Jum’at Legi tanggal 31 Agustus 1990 telah menjelang malam -sekitar pukul 18.30 waktu setempat- ketika roda-roda pesawat Boeing 747-200 KLM menjejak landasan Bandara ‘Bumi Wong Jowo yang terbuang’ itu. Pada saat menuruni tangga pesawat, terdengar bunyi gamelan yang bertalu-talu. Saya sempat tidak memercayai pendengaran saya kalau tidak melihat sendiri serombongan penari yang berpakaian ‘seragam resmi’ Jaran Kepang alias Kuda Lumping, lengkap dengan kacamata hitam dan kaos kaki selutut! Dengan bersemangat mereka menyambut kedatangan rombongan Delegasi RI yang -hampir semuanya- terlihat tercengang-cengang.
Hari Jum’at Legi tanggal 31 Agustus 1990 telah menjelang malam -sekitar pukul 18.30 waktu setempat- ketika roda-roda pesawat Boeing 747-200 KLM menjejak landasan Bandara ‘Bumi Wong Jowo yang terbuang’ itu. Pada saat menuruni tangga pesawat, terdengar bunyi gamelan yang bertalu-talu. Saya sempat tidak memercayai pendengaran saya kalau tidak melihat sendiri serombongan penari yang berpakaian ‘seragam resmi’ Jaran Kepang alias Kuda Lumping, lengkap dengan kacamata hitam dan kaos kaki selutut! Dengan bersemangat mereka menyambut kedatangan rombongan Delegasi RI yang -hampir semuanya- terlihat tercengang-cengang.
Wee.. ladhalah kopyah, jauh-jauh terbang selama lebih dari 30 jam kok rasanya seperti mendarat di sebuah kota kecamatan di Jawa saja laiknya. Saya tertawa cekikikan sepanjang landasan menuju tempat tunggu VIP di Bandara Zanderij Paramaribo. Apalagi saya lihat Didiek ‘Nini Thowok’ yang dari sononya memang penari (mungkin untuk memberikan semangat atau entah untuk apa) ikut asyik menari-nari diantara para penari Jaran Kepang made in ‘luar negeri’ itu. Rasa terkejut saya belum hilang ketika melihat spanduk di ruang tunggu yang berbunyi “Sugeng Rawuh para tamu saking Indonesia”. Masya Allah. Ini diluar negeri apa masih di Delanggu (kota kecil diantara Solo-Jogya) sih? Kata hati saya. Suasananya memang sangat mirip dengan suasana sebuah kota kecamatan yang ada dikota-kota di Jawa. Apalagi ketika wakil tuan rumah yang adalah Ketua Parlemen Suriname, Pak Wiliam Sumita, juga memberikan sambutan dalam bahasa Jawa Madya (bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari oleh rakyat biasa) dengan sesekali selipan bahasa Belanda dan Bahasa Inggris.
Sewaktu menempati kursi yang tersedia, saya melirik hidangan yang tertata rapi dimeja. Saya terhenyak nyaris tak percaya melihat ‘pasugatan’ (hidangan) yang disajikan. Ada nagasari, klepon, lemper bahkan thiwul dan gethuk tersedia lengkap di meja.
Saya sentil Didiek yang ‘nempel’ terus didekat saya:
Sewaktu menempati kursi yang tersedia, saya melirik hidangan yang tertata rapi dimeja. Saya terhenyak nyaris tak percaya melihat ‘pasugatan’ (hidangan) yang disajikan. Ada nagasari, klepon, lemper bahkan thiwul dan gethuk tersedia lengkap di meja.
Saya sentil Didiek yang ‘nempel’ terus didekat saya:
“Jangan-jangan kita keliru mendarat ya mas?”
Didiek menjawab tak kurang kocak:
“Iyo, gek-gek awake dewe iki kesasar neng Temanggung. Tiwas kesel olehe mabur”. (Ya, jangan-jangan kita tersesat sampai Temanggung. Padahal sudah terlanjur capek terbang).
Didiek Hadiprayitno memang berasal dari Temanggung, jadi rupanya dia juga menangkap ‘atmosfer’ kota kelahirannya itu. Padahal kita ada nun jauh di (benua) Amerika Selatan!
Didiek Hadiprayitno memang berasal dari Temanggung, jadi rupanya dia juga menangkap ‘atmosfer’ kota kelahirannya itu. Padahal kita ada nun jauh di (benua) Amerika Selatan!
Pelabuhan Paramaribo foto2: mastonie
Diam-diam saya ‘trenyuh’, seraya kagum pada keteguhan tekad mereka untuk tetap jadi ‘Wong Jowo’. Walau apapun terjadi.
Sepanjang perjalanan yang berjarak sekitar 45 kilometer menuju pusat kota Paramaribo, saya memang merasakan atmosfer yang tidak berbeda dengan suasana pedesaan dikota-kota kecil di Jawa (Jawa Tengah terutama).
Hidung saya seperti mencium bau ‘damen’ (tangkai padi kering) yang dibakar.
Lagu-lagu berirama keroncong dan gending Jawa samar-samar terdengar diradio-radio milik penduduk dipinggir jalan.
Saya berkata dalam hati:
“Kulonuwun bapak/ibu, nderek langkung kulo bade kesah dhateng Paramaribo”.
Eh, tapi nanti dulu. Mereka kan nggak bisa berbahasa Jawa krama? Jadi mungkin begini saja:
”Amit para sedulur, aku tak nunut liwat menyang Paramaribo ya?”
(Maaf Saudara-saudara, saya minta ijin numpang lewat ke Paramaribo). He he he......
(Maaf Saudara-saudara, saya minta ijin numpang lewat ke Paramaribo). He he he......
Bahasa Jawa (ngoko) adalah bahasa sehari-hari.
Tidak seperti anggota Delegasi RI yang lain -termasuk para artis-, yang bermalam di Hotel “Krasnapolsky” (hotel terbesar yang ada dikota Paramaribo pada saat itu), saya harus bermalam dikediaman resmi Bapak Sukadari A. Honggowongso, Duta Besar RI untuk Suriname. Ini memang ‘protap’ yang harus saya jalani sebagai Ajudan merangkap Sekpri Menko Kesra. Dimanapun Menko bermalam, disitulah saya harus menginap. Memang agak kurang bebas. Tapi itulah resiko pekerjaan. Keuntungannya saya bisa tahu lebih banyak tentang ‘wong Jowo’ di Suriname dari Bapak dan Ibu Sukadari yang ramah tamah karena juga sama-sama ‘Wong Jowo’.
Meskipun Bahasa Resmi (Nasional) Suriname adalah Bahasa Belanda, tapi sebagian besar penduduk Suriname sehari-hari berbicara memakai bahasa Jawa kasar (ngoko). Bukan hanya orang keturunan Jawa saja, bahkan orang keturunan Creole (etnis campuran Afro-Amerika) dan Cina, ada juga yang fasih berbahasa Jawa. Tapi jangan coba untuk memakai bahasa Jawa Krama (halus), ditanggung mereka tidak ‘mudheng’ (faham). Apalagi Bahasa Indonesia.
Rupanya nenek moyang mereka yang ‘Wong Jowo’ asli, dan (100 tahun atau 1 abad yang lalu) dibuang ke Suriname adalah orang-orang kelas pekerja, buruh tani dan kuli kasar. Jadi pantas saja kalau mereka tidak pandai bahasa Jawa halus. Bahasa Indonesia juga tidak dikenal karena pada saat mereka dibuang dahulu, bahasa Indonesia (barangkali) belum lahir.
Gadis2 Suriname keturunan 'Jowo'
Meski demikian, ternyata ada juga keuntungan bagi generasi-generasi yang lahir di Suriname. Kalau berada dirumah, mereka berbahasa Jawa dengan orang tua dan tetangga serta kerabatnya. Disekolah mereka harus pandai Bahasa Belanda (sebagai bahasa Nasional), dan juga Bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang wajib dipelajari. Jadi kalau dibandingkan dengan kita, rata-rata orang Indonesia, dalam bidang penguasaan bahasa, mereka jauh lebih unggul. Ketika mendapat kesempatan untuk jalan-jalan ke pasar di Paramaribo, saya betul-betul merasa ‘feel at home’. Bagaimana tidak, suasana pasarnya persis sama dengan pasar-pasar di tanah Jawa. Pembicaraan dan transaksi serta tawar menawar yang dilakukan -hampir semuanya- menggunakan bahasa Jawa ‘ngoko’. Hanya toko-toko besar saja yang pramuniaganya ‘sok’ memakai bahasa Belanda atau Inggris. Tapi kalau kita ngotot pakai bahasa Jawa, akhirnya toh mereka pakai bahasa Jawa juga. Dasar.
Hanya kadang-kadang saya suka lupa, lalu bicara memakai bahasa Jawa Krama (halus), (karena kebiasaaan saya kalau bicara dengan orang yang lebih tua harus ‘boso’). Saya baru sadar kalau saya memakai ‘bahasa yang salah’, ketika melihat respons mereka yang terlihat bingung.
Bekas Negara ‘koloni’ yang penuh intrik dan konflik.
Merupakan salah satu Negara yang terletak di Amerika Selatan, Suriname adalah sebuah Negara yang merupakan bekas koloni (jajahan) Belanda. Sebuah Negara kecil berbentuk Republik dengan kepala Pemerintahan seorang Perdana Menteri. Seperti Negara-negara lain yang pernah dijajah Belanda, maka Suriname juga ‘dibiarkan’ merdeka dengan kondisi yang karut marut. Oleh karena itu meskipun ketika saya berkunjung ke Suriname sudah mendekati akhir dekade tahun 90- an, keadaaan Negara yang mayoritas penduduknya adalah ‘Wong Jowo’ itu masih terkesan ‘ketinggalan kereta’.
Paramaribo yang jadi ibukota Negara saja kondisi kotanya (pada waktu itu, tahun 1990) hampir mirip dengan sebuah Kota Kawedanan di Jawa. Tidak tampak ada pembangunan gedung yang modern. Apalagi pencakar langit. Hotel Krasnapolsky yang merupakan jaringan hotel besar dari Belanda hanya berupa sebuah bangunan kuno yang kalau di Indonesia mungkin kelasnya (paling banter) hanya hotel berbintang satu. Didaerah pedalaman kota Paramaribo yang terlihat adalah perumahan khas bergaya kolonialis Belanda kuno yang meskipun rapi tapi tampak kurang terpelihara.
Namun kondisi politiknya lebih runyam lagi. Perubahan Pemerintahan silih berganti karena kisruh politik yang seakan tidak pernah berhenti. Persis keadaan Negara kita disekitar tahun 50 an dulu.
Tampaknya Belanda selalu melepas Negara bekas jajahannya dengan ‘setengah hati’. Mereka seperti sengaja meninggalkan bom waktu berupa intrik politik dan konflik kepentingan yang sepertinya bukan dilerai tapi malah dikipasi. Bandingkan dengan Negara-negara bekas koloni Inggris yang kalau sudah mendapatkan kemerdekaan bisa pesat sekali menjadi Negara maju dan modern (contohnya Singapura, Malaysia atau Hongkong).
Tampaknya Belanda selalu melepas Negara bekas jajahannya dengan ‘setengah hati’. Mereka seperti sengaja meninggalkan bom waktu berupa intrik politik dan konflik kepentingan yang sepertinya bukan dilerai tapi malah dikipasi. Bandingkan dengan Negara-negara bekas koloni Inggris yang kalau sudah mendapatkan kemerdekaan bisa pesat sekali menjadi Negara maju dan modern (contohnya Singapura, Malaysia atau Hongkong).
Perayaan Peringatan 100 tahun migrasi ‘Wong Jowo’ ke Suriname.
Pak Pardjo (kiri) dengan Pak Wiliam Sumita
Pak Wiliam Sumita (Ketua Parlemen yang juga mantan PM Suriname) adalah keturunan kedua dari ‘Wong Jowo’ yang menikah dengan etnis Cina di Suriname. Dialah Ketua Panitia Peringatan 100 tahun migrasi ‘Wong Jowo’ ke Suriname. Migrasi tentu adalah kata penghalus, sebab kenyataannya nenek moyang mereka dulu dibawa dengan paksa (kalau tidak boleh disebut dibuang) untuk dijadikan “Koeli Kontrak” oleh Pemerintah Kolonialis Belanda tanpa tahu kemana arah tujuannya. Didalam buku “Historische Database van Suriname” yang disusun oleh Maurits Hassankhan dan Sandew Hira disebutkan bahwa lebih dari 32.965 orang penduduk Jawa dikirim dengan kapal ke Suriname sebagai imigran. Puluhan ribu “Wong Jowo” yang nyaris seluruhnya para pekerja (baik pria maupun wanita) itu dikirim secara rutin dan bertahap ke Suriname mulai dari tanggal 9 Agustus 1890 sampai dengan tanggal 13 Desember 1939. Oleh sebab itu tanggal 9 Agustus 1890 boleh disebut sebagai awal mula ‘Wong Jowo’ dibuang ke Suriname. Dan diantara tanggal dan bulan itulah yang akhirnya selalu diperingati sebagai hari bersejarah oleh anak keturunan para ‘Koeli Kontrak’ itu ditanah air mereka yang kedua, Suriname.
Perayaan kali ini (yang dijatuhkan pada awal bulan September 1990) memang merupakan perayaan terbesar, karena merupakan peringatan 100 tahun (satu abad!) kisah ‘pembuangan Wong Jowo’ sebagai koeli kontrak kesebuah Negara yang ratusan ribu kilometer jaraknya dari tanah air, dan ternyata banyak sekali menyisakan kisah duka lara itu.
Usaha Panitia Perayaan ini sungguh patut dihargai, karena peringatan itu betul-betul merupakan cermin kebanggaan mereka terhadap asal usul dan tanah air nenek moyangnya. Selama hampir satu minggu semua kegiatan kesenian yang berbau Jawa ditampilkan. Kecintaan masyarakat atau komunitas ‘Wong Jowo’ di Suriname terhadap warisan budaya nenek moyangnya begitu besar. Hal itu tampak dari terpeliharanya bahasa dan nama-nama Jawa yang dipakainya. Keturunan ‘Wong Jowo’ tidak malu menggunakan nama yang sangat ‘njawani’ seperti Kromodirejo, Paiman, Sastro dan nama-nama kebanyakan orang Jawa tempo dulu. Yang bahkan di Indonesia sendiri pada jaman sekarang orang Jawa sudah jarang memakainya (karena malu?). Hanya sedikit saja orang keturunan Jawa di Suriname yang mengkombinasikan namanya dengan nama modern. Biasanya dipakai oleh mereka yang sudah berasimilasi dengan etnis lain di Suriname. Seperti Pak Wiliam Sumita contohnya.
Waljinah
Melihat masih begitu kentalnya budaya Jawa di Suriname, keputusan Menko Kesra Soepardjo Roestam membawa ‘oleh-oleh’ Tim Kesenian Jawa memang sangat tepat. Diluar dugaan Tim ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat Jawa (dan juga etnis lain) di Suriname. Mereka sangat hafal artis-artis Jawa (bukan Indonesia lho) seperti Waljinah, Mus Mulyadi dan bahkan Edy Silitonga yang pernah menyanyikan lagu berbahasa Jawa. Rekaman kaset para penyanyi itu tersebar sampai kepelosok desa. Oleh karena itu tidak mengherankan ketika rombongan Delegasi RI baru turun dari pesawat, yang ramai disambut dan dielu-elukan masyarakat justru Waljinah!
Menko Kesra (yang notabene adalah Pimpinan Delegasi) beserta Ibu Soepardjo malah cuma jadi seperti ‘pelengkap penderita’ saja. Apalagi jika Tim Kesenian itu akan ‘manggung’ digedung yang sudah disiapkan. Sambutan dan ‘histeria’ massa nya lebih hebat lagi. Mereka berebut mendekat untuk dapat sekedar bersalaman sambil meneriakkan nama Waljinah. Rombongan Delegasi RI yang resmi seperti hanya jadi pengiring saja.
Meskipun Panitia Perayaan tidak tampak sangat profesional, tapi acara yang mereka susun cukup memadai dan menarik.
Pak Pardjo nonton Wayang Kulit dg Dalang dr Suriname
Pagelaran Wayang kulit dengan dalang dan niyaga yang semuanya ‘wong Jowo’ keturunan Suriname termasuk salah satu acara yang sangat menarik untuk dilihat. Penontonnya juga ‘mbludag’ (banyak sekali). Animo masyarakat (Jawa dan non Jawa) melihat kesenian tradisionalnya sangat tinggi. Walaupun tidak bisa dibandingkan dengan kepiawaian Ki Manteb atau Ki Anom Suroto, tapi dalang Suriname punya ‘antawacana’ (dialog) dan ‘sabetan’ (teknik memainkan wayang) yang cukup lumayan. Demikian pula dengan para pesinden dan penabuh gamelannya. Bagi kuping orang Jawa ‘asli’, memang terasa ada sedikit rasa kurang pas dalam hal tata bahasa dan alunan gending-gendingnya. Tapi kalau mengingat bahwa mereka melestarikan warisan budaya Jawa ini hanya dari ‘bekal ingatan’ para nenek moyang yang terbuang ratusan ribu kilometer jauhnya dari tanah tumpah darahnya, rasanya yang ada hanya acungan jempol dan penghargaan yang tinggi untuk perjuangan pelestarian warisan budaya Jawa itu. Bertemu dengan sisa-sisa ‘cikal-bakal’ Wong Jowo.
Pak Wiliam Sumita ternyata juga menyiapkan acara kejutan buat Menko Kesra beserta Ibu Soepardjo. Acara itu berupa tatap muka dengan sesepuh yang merupakan sisa dari ‘cikal-bakal’ Wong Jowo di Suriname. Generasi ‘orang buangan’ itu hanya menyisakan ibu-ibu tua yang sudah sangat lanjut usianya. Tapi nyatanya masih punya ‘memori’ sangat kuat tentang keberadaan mereka dan asal usulnya. Seluruh pembicaraan dilakukan dalam bahasa Jawa ngoko. Saya jadi geli sewaktu melihat Pak dan Bu Pardjo terlibat wawancara dengan mereka. Sama sekali tidak ada jarak. Saya bayangkan suasananya tentu akan sangat lain kalau wawancara itu dilakukan dengan masyarakat ‘Jawa asli’ yang berada di Jawa-Tengah (Indonesia) misalnya. Sudah pasti orang Jawa (di Indonesia) akan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil ketika tahu yang diajak bicara adalah seorang Menteri. Tapi kali ini dialog terjadi di Suriname Bung! Jadi enak saja mereka bicara dalam bahasa Jawa kasar (ngoko) dengan seorang Menteri, layaknya bicara dengan teman lama. Akrab dan penuh gelak tawa. Ibu-ibu sepuh itu bahkan masih bisa menceriterakan asal-usul dan keluarganya yang ada di Jawa (mereka samasekali tidak mengenal Indonesia). Lengkap dengan nama keluarga dan nama desanya. Luar biasa. Hanya jarak saja yang ternyata memisahkan mereka. Tapi secara moral dan budaya mereka masih terikat sangat kuat dengan tanah tumpah darahnya. Mereka bahkan masih bisa mengingat, betapa susahnya dulu ketika mereka ditangkap secara paksa oleh Kompeni Belanda dan kemudian di’angkut’ dengan kapal laut selama berbulan-bulan menuju tanah yang sama sekali tidak mereka kenal. Dan ternyata mereka tak pernah bisa kembali dan bertemu sanak saudaranya lagi. Mengesankan sekaligus mengharukan. Bu Pardjo tampak tak kuasa menahan air matanya.
Setelah Suriname berdiri sendiri sebagai sebuah Negara, barulah generasi selanjutnya bisa menjalin komunikasi lewat pos dengan sisa sisa keluarga mereka yang masih ada dan hidup di Tanah Jawa, yang sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 merupakan bagian dari negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undangan Balasan dari Menko Kesra.
Begitu terkesannya Pak Pardjo dalam kunjungannya di Suriname ini. Sebuah kunjungan keluar negeri yang boleh dikata seperti kunjungan ‘mudik’ ke Jawa menemui sanak saudara yang lama tak bersua.
Beliau juga sangat terkesan dengan semangat ‘nguri-uri’ warisan budaya Jawa tinggalan para leluhur yang dipunyai oleh ‘Wong Jowo’ di Suriname. Oleh karena itu beliau (atas nama pribadi dan Pemerintah RI) menyampaikan undangan balasan kepada Pemerintah Suriname (d.h.i Panitia Perayaan) dan tawaran khusus bagi para dalang dan niyaganya untuk memperdalam ilmu karawitan di ‘Tanah Leluhur’ mereka: Tanah Jawa, Indonesia. Undangan dan tawaran ini tentu saja mereka sambut dengan sangat gembira.
Beliau juga sangat terkesan dengan semangat ‘nguri-uri’ warisan budaya Jawa tinggalan para leluhur yang dipunyai oleh ‘Wong Jowo’ di Suriname. Oleh karena itu beliau (atas nama pribadi dan Pemerintah RI) menyampaikan undangan balasan kepada Pemerintah Suriname (d.h.i Panitia Perayaan) dan tawaran khusus bagi para dalang dan niyaganya untuk memperdalam ilmu karawitan di ‘Tanah Leluhur’ mereka: Tanah Jawa, Indonesia. Undangan dan tawaran ini tentu saja mereka sambut dengan sangat gembira.
Tanggal 6 September 1990, Delegasi RI meninggalkan Bandara Internasional Zanderij Paramaribo dengan sejuta kenangan indah tentang saudara setanah air yang kini telah mendapatkan tanah airnya yang baru nun diujung Benua yang ratusan ribu kilometer jauhnya.
(Kelak kemudian hari menjelang berakhirnya masa tugas Menko Kesra Soepardjo Roestam, undangan itu mereka penuhi. Rombongan Kesenian Suriname, dan kemudian juga beberapa Pejabat dan Mantan Pejabat Suriname bergantian berkunjung ke Indonesia atas biaya Pemerintah RI. Sayapun sempat ditugaskan oleh Pak Pardjo untuk mendampingi mereka selama di Indonesia)
bersambung.....
Haduh...saya sempat termenung setelah selesai membaca kisah 'perantauan' saudara2 kita di suriname.Meski tidak kesana, tapi saya sempat kenal baik orang suriname, peserta tetap MIDDEN JAVA REUNI,papi Pingun namanya (saya staf Dinas Pariwisata Solo waktu itu),beliau seperti keluarga kita saja kalau datang, hafal nama2 kami di Pariwisata, dan kami selalu ber manja2 dg nya laiknya ketemu 'pakde'nya he he he, lucunya ya itu, ketika saya bilang papi,dinten menika bade ngersakaken dipun derekaken dateng pundi ?...dia malah bengong dan bilang, kowe ngomong opo ? ha ha ha maksud kita sopan ternyatamalah ora mudeng...wis blaik tenan.
BalasHapusNamun mmg trenyuh, mereka saat itu dibuang tanpa tahu apapun, dan ketika kehidupan harus tetap berlangsung, budaya Jawa itu ternyata sangat di 'uri uri' sama mereka, bahkan upacara yg di Jawa pun sdh tdk dilksanakan, mereka masih dengan 'setia' menyelenggarakan itu, mungkin itu satu2nya kebanggaan meeka atas tumpah darah mereka, yg tak mampu melindungi meeka ketika mereka dibawa kesana dg paksa dan dipisahkan dg keluarga .....duh tragis...
Sip....mas Koes, cerita ini bisa dijadikan bahan perenungan bagi kita yg masih ikut menikmati 'kemajuan' Negara kita Indonesia, apa yg kita lakukan ?
Trenyuh aku dadi nangis mocone karo dleweran lohku
BalasHapusHmmmm amazing...aku bangga dadi wong jowo..mugo2 lewat seni keroncongku aku biso ketemu sesukur2 ono ing Suriname..Insyaaloh
BalasHapusHmmmm amazing...aku bangga dadi wong jowo..mugo2 lewat seni keroncongku aku biso ketemu sesukur2 ono ing Suriname..Insyaaloh
BalasHapusHmmmm amazing...aku bangga dadi wong jowo..mugo2 lewat seni keroncongku aku biso ketemu sesukur2 ono ing Suriname..Insyaaloh
BalasHapusHmmmm amazing...aku bangga dadi wong jowo..mugo2 lewat seni keroncongku aku biso ketemu sesukur2 ono ing Suriname..Insyaaloh
BalasHapuskoyo ngopo yo rasane mbah-mbah biyen seng di buang karo londo ra weroh tujuane,"ewon"kilo meter adohe,njut ra iso bali lan ra iso ketemu sanak keluargane nang tanah leluhure.mugo mugo gusti maringi sabar lan tabah kagem mbah"lan sederek"kulo wonten suriname.
BalasHapus