(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (96)
Released by mastonie, Thursday, June 10, 2010 at 11.11 pm
Released by mastonie, Thursday, June 10, 2010 at 11.11 pm
Berganti Kloter supaya bisa segera pulang.
Situasi berlarur-larut yang tidak menentu itu membuat anggota TPOH yang sudah selesai tugasnya merasa ‘gerah'. Nyaris lebih dari sebulan kita berada di tanah suci dan kini harus menunggu kepulangan ke tanah air tanpa kepastian waktu, jelas sangat mengganggu pikiran. Harus segera dicari jalan keluarnya.
Karena kalau harus pulang sesuai dengan kloter yang kita ikuti pada saat keberangkatan (kloter 106 HPK), berarti kita masih harus menunggu entah berapa lama lagi. Sedangkan kloter-kloter awal saja (lebih kecil dari 106) banyak yang belum terpulangkan. Jalan keluar yang kita temukan ternyata adalah harus pindah atau ganti kloter.
Tetapi dengan syarat, yang pertama: mendapatkan kloter yang berkurang jumlah jemaahnya, entah karena sakit, sehingga belum bisa dipulangkan atau karena ada jemaahnya yang meninggal dunia ditanah suci. Ini bukan perkara mudah, karena jarang ada sebuah kloter yang jemaahnya sakit atau meninggal dunia dalam jumlah banyak sekaligus. Oleh sebab itu anggota TPOH yang ingin segera pulang ketanah air harus dipecah menjadi beberapa kelompok.
Syarat kedua: Garuda tidak bertanggung jawab atas perpindahan kloter ini. Dalam arti apabila kloter yang dipilih mendarat di Debarkasi lain selain Jakarta, maka kepulangan dari daerah itu ke Jakarta bukan tanggung jawab Garuda lagi. Dengan demikian para anggota TPOH yang berniat untuk pindah kloter harus bertanggung jawab terhadap kepulangan diri mereka masing-masing ke Jakarta.
Tentu saja kedua syarat itu mau tidak mau kita setujui, daripada terkatung-katung di tanah suci tanpa kejelasan kapan akan bisa dipulangkan ketanah air.
Maka bersegeralah kita ‘berburu’ kloter yang sudah berkurang jumlah anggotanya. Hampir setiap hari kita ‘nongkrong’ di Madinatul Hujjaj Jeddah.
Keuntungan dari para anggota TPOH adalah bisa mendapatkan informasi secara langsung dari petugas pemulangan di Madinatul Hujjaj tentang jumlah jemaah sakit dan meninggal disetiap kloter. Sehingga kita bisa memilih akan pindah ke kloter berapa dan kemana tujuannya. Ternyata kloter yang berasal dari Jakarta (HPK) jemaahnya jarang yang menderita sakit atau meninggal. Yang banyak adalah kloter yang berasal dari luar Jawa seperti Kalimantan (BDJ) dan Sulawesi (UPG). Akhirnya ada informasi tentang kloter tujuan Debarkasi Surabaya (SUB) yang jumlah anggota kloternya berkurang sampai enam orang. Agar tidak berkepanjangan, kita ‘tubruk’ saja kloter ini. Lumayan, berarti ada enam anggota TPOH yang bisa segera pulang ke tanah air meskipun harus lewat Surabaya. Akhirnya disepakatilah enam orang anggota TPOH yang akan pindah kloter itu. Satu dari Surabaya (betapa beruntungnya dia, karena bisa langsung pulang tanpa lewat Jakarta lagi), satu dari Makasar (Ujungpandang) dan empat dari Jakarta. Saya termasuk salah seorang yang berasal dari Jakarta. Maka hari itu juga kita selesaikan semua urusan, termasuk tanda tangan surat perjanjian dengan pihak Garuda Indonesia.
Akhirnya bisa pulang ketanah air juga kita.
Haji “abidin”, pulang ketanah air seperti haji ONH Plus.
Karena harus pulang lewat Surabaya, maka saya segera menelepon istri saya untuk memberitahu bahwa saya nantinya akan pulang ke Jakarta lewat Bandara Soekarno-Hatta. Tidak lewat Halim dan Asrama Haji lagi. Jadi kepulangan saya persis seperti pulangnya jemaah haji ONH Plus. Tapi saya tidak bercerita panjang lebar tentang perjuangan untuk bisa pulang ini. Juga tentang pindah kloter dan masalah turun di Surabaya. Karena bisa membuat istri dan keluarga saya tambah bingung. Saya juga mengontak teman baik saya di Surabaya, untuk menjemput di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, sekaligus membelikan tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta, kalau bisa pada hari yang sama. Jadi saya tidak perlu repot bermalam di Surabaya mengingat sebagai “boss koper”, bagasi saya kini sudah ‘beranak’ sampai menjadi tiga koper!
Kini tibalah saat kepulangan itu. Sebagai anggota TPOH, maka kita berenam mendapatkan tempat duduk di ‘upper deck’ (lantai atas) pesawat Jumbo jet Boeing 747-300 Garuda yang dalam penerbangan normal (bukan pesawat haji) dipakai untuk penumpang ‘C-Class’ (kelas Bisnis).
Setelah pesawat mengudara dari Bandara King Abdul Aziz Jeddah, kita baru tahu bahwa ternyata juga ada penyimpangan informasi pada masalah pemulangan jemaah haji ini. Banyak tempat duduk didalam pesawat yang ternyata kosong. Artinya jumlah seat pesawat tidak sesuai dengan data yang ada dikomputer petugas pemulangan di Madinatul Hujjaj. Hal itu menjadi tambahan catatan bagi TPOH untuk bahan laporan kepada Menteri Agama. Yang sangat mengherankan kita adalah, untuk masalah yang bersifat ibadah seperti pengurusan jemaah haji saja masih ada oknum-oknum yang tega mencari keuntungan untuk diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.
Padahal orang yang pergi ketanah suci membayar biaya ONH yang tidak sedikit. Sangat menyedihkan.
Setelah terbang non-stop selama kurang lebih 12 jam, sekitar pukul 12.30 pesawat Jumbo jet Garuda mendarat dengan selamat di Bandara Juanda Surabaya. Alhamdulillah.
Tapi sesuai peraturan yang berlaku, karena ini pesawat (yang membawa jemaah) haji, maka seluruh penumpangnya tanpa kecuali harus dibawa ke Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Bagasi juga baru bisa diambil di tempat debarkasi itu. Ini yang menyebabkan anggota TPOH yang harus kembali ke Jakarta mengalami kendala. Pesawat reguler tujuan Jakarta berangkat paling akhir pukul 20.00. Boarding paling lambat satu jam sebelumnya. Jadi menurut perhitungan, kita sudah harus berada kembali di Bandara Juanda paling lambat pukul 18.00 untuk bisa mendapatkan tiket. Kalau terlambat berarti harus bermalam di Surabaya. Mau bermalam dimana dengan membawa kopor sebanyak itu? Bukan masalah uangnya. Tapi repotnya itu.
Pukul 15.00 saya baru bisa mengambil bagasi dan bersiap keluar dari Asrama haji Sukolilo. Itupun karena kita anggota TPOH, kalau bukan, saya tidak tahu baru bisa keluar jam berapa.
Beruntung teman baik saya mengirim anaknya untuk menjemput di Sukolilo. Bahkan sudah dengan membawa tiket pesawat Garuda flight terakhir hari itu ke Jakarta. Subhanallah. Semoga budi baik teman saya itu dibalas dengan pahala berlipat ganda oleh Nya. Amin
Allah SWT sepertinya tak berhenti memberikan karunia kemudahan kepada saya.
Pesawat Boeing 737 Garuda melesat keudara dari Bandara Juanda pada pukul 20.00. Ini adalah penerbangan terakhir pesawat dari Bandara Juanda. Untung ke empat anggota TPOH (Asal Jakarta) akhirnya bisa berangkat semua. Meskipun tidak bisa duduk bersama-sama lagi. Sehabis menyantap hidangan yang disajikan, pikiran saya menerawang jauh.
Dalam 24 jam terakhir ini hidup saya hanya berada disekitar kursi pesawat saja. Penerbangan Jeddah – Surabaya nyaris 12 jam. Sekarang ditambah sekitar satu setengah jam lagi dari Surabaya ke Jakarta. Badan sudah pegal semua. Tapi Jakarta sudah terbayang dipelupuk mata. Alangkah rindu saya pada anak dan istri, yang sudah saya tinggalkan lebih dari satu bulan lamanya.
foto: airliners.net
Menjelang pukul sepuluh malam pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Sewaktu turun dari pesawat banyak penumpang lain yang melihat dengan penuh keheranan kepada empat penumpang yang tampak ‘aneh bin ajaib’. Masih mengenakan pakaian sipil lengkap (PSL, jas plus peci) yang sudah dipakai hampir sehari semalam sejak dari Jeddah sebagai ‘pakaian resmi’ TPOH, masing-masing masih menenteng jeriken air zam-zam. Saya juga masih membawa ambal kecil yang saya gulung rapi supaya bisa masuk ke kabin. Jadi kita berempat memang tampak “mbrengkut” (banyak bawaan). Orang-orang pasti heran ini koq ada manusia yang sepertinya pulang dari tanah suci, tapi koq naik pesawat dari Surabaya? Hmmm..belum tahu dia. Kisah perjuangan kita untuk bisa pulang kembali ke “tanah air beta”.
Ternyata tidak cukup satu troli saja untuk membawa barang bawaan saya dari tanah suci. Demikian pula dengan tiga orang rekan yang lain. Betul-betul tampak seperti “boss koper and the gank”! Satu troli untuk koper jatah Garuda yang sudah ‘bengkak’, ditambah satu koper baru yang ‘gendut’ juga. Troli yang satu lagi memuat ‘adik koper dan anak’nya plus dua jeriken air zam-zam. Mantab!
Sambil mendorong dua troli sekaligus, mata saya mencari-cari anak istri saya yang katanya sudah siap dipintu terminal kedatangan domestik.
Sekali lagi orang-orang yang menjemput dipintu kedatangan terheran-heran. Ini koq ada ‘jemaah haji’ yang pulang naik pesawat domestik? Ya, kita berempat kan memang “Jemaah Haji PLUS”. Plus susah payah maksudnya.
Bahagia rasanya bisa berkumpul lagi dengan keluarga setelah menjalankan perintah agama untuk beberapa waktu lamanya. Hilang semua rasa letih, lesu, lelah selama menjalankan tugas dan ibadah ditanah suci.
Sudah hampir tengah malam ketika saya masuk kedalam rumah setelah mampir untuk melaksanakan salat sujud syukur dua raka’at dimasjid terdekat.
Tugas sebagai TPOH belum berakhir karena saya masih harus menyusun laporan kegiatan, penilaian dan hasil pemantauan lapangan ditiga kota: Jeddah, Mekah al-Mukaramah dan Madinah al-Munawarah tentang penyelenggaraan Haji tahun 1992 berikut pendapat, usul dan saran-saran untuk Bapak Menteri Agama beserta jajarannya guna penyempurnaan penyelenggaraan Haji yang lebih baik lagi pada tahun-tahun mendatang. Insya Allah.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar