(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (50)
Terbongkarnya aib dan runtuhnya 'konspirasi'.
Beberapa hari sepulang dari Bangkok, suatu pagi saya dipanggil keruang kerja Pak Pardjo dikediaman. Wajah beliau tampak merah padam menahan marah. Saya terkejut dan sempat agak kecil hati juga, gerangan melakukan kesalahan apakah saya, sehingga tampaknya Pak Pardjo seakan mau “nguntal malang” (menelan bulat-bulat) tubuh saya.
“Kurang ajar, saya baru saja ditelpon Pak Prapto (Gubernur DKI), beliau ternyata menitipkan uang sebesar lima ribu dolar AS untuk tambahan uang representasi buat Mendagri check-up ke Amerika kemarin. Saya malu sekali karena saya tidak pernah menerima uang itu, sehingga saya juga tidak mengucapkan terima kasih kepada Pak Prapto. Coba hari ini juga Tony lapor ke Pak Roso Biro Umum, supaya diperiksa siapa yang menerima dan mengambil uang itu. Menurut Pak Prapto si “A” (Pak Pardjo menyebut nama ajudan “baru”) yang menerima. Ada tanda terimanya di sekretaris Pak Prapto. Kalau benar, saya minta orang itu dipecat. Saya tidak mau lagi melihat mukanya disini! Trondolo!”
Saya terkejut mendengar ‘rentetan’ kata-kata Pak Pardjo yang seolah tembakan mitraliur itu. Lebih terkejut lagi karena ada orang yang begitu berani mengambil uang yang bukan haknya. Apalagi itu uang untuk Pak Menteri. Betul-betul ‘dahsyat’ luar biasa kelakuannya.
“Sekarang juga Tony pergi ke kantor, nanti saya tunggu laporannya” lanjut beliau.
“Inggih (Ya) Pak, dalem nyuwun pamit dhateng kantor (saya mohon pamit pergi kekantor)” jawab saya tak berpanjang kata.
Ternyata bukan saya yang kena marah, tapi saya tidak tahan menatap wajah Pak Pardjo yang memendam amarah begitu hebat. Saya malah mengkhawatirkan kesehatan beliau. Sehabis terkena stroke, Pak Pardjo harus dijaga agar tidak meluap emosinya. Tapi saya tidak bisa menyalahkan beliau, sebab akhir-akhir ini orang (yang sekarang jadi “tertuduh”) itu justru sangat beliau percaya.
Dijalan saya berpikir, saya yang sudah ikut Pak Pardjo cukup lama, tidak pernah terbersit sekalipun untuk mengambil atau “menilap” hak orang lain, apalagi hak orang yang telah mempercayai saya!
Jumlah uangnyapun cukup membelalakkan mata. Lima ribu dolar AS bukan jumlah yang sedikit (pada tahun 1986). Bahkan juga sampai saat ini.
Tapi bagi saya uang sejumlah itu sama sekali tak ada artinya dibanding dengan kepercayaan yang diberikan oleh seseorang kepada saya.
Saya langsung menghadap Pak Roso dikantor. Saya uraikan semua kemarahan Pak Pardjo yang disampaikan lewat saya tadi. Pak Roso tampak sekali sangat kaget. Beliau duduk diam, terpaku dikursinya. Wajahnya merah padam. Selama ini saya belum pernah melihat Pak Roso marah.
Ternyata beliau juga sudah ditelpon Pak Prapto. Hanya Pak Roso tidak menyangka kalau Pak Prapto akan menelpon Pak Menteri langsung. Maklum sebelum jadi Gubernur DKI, Pak Prapto adalah Sekjen Depdagri. Jadi beliau mengenal dengan baik seluruh pejabat Depdagri, termasuk si ajudan “baru” itu. Wajar kalau Pak Prapto langsung ‘komplain’. Hening beberapa saat.
“Baik dik Tony, nanti saya akan melapor sendiri langsung ke Pak Menteri. Saya malu sekali karena saya yang mengusulkan dia untuk jadi ajudan pengganti”. Lirih sekali Pak Roso bicara. Saya diam saja. Mencoba untuk tidak berkomentar.
“Saya tidak menyangka dia akan seberani itu. Ketempelan setan dimana itu orang. Walaupun dia berjanji akan mengembalikan uang itu, saya rasa Pak Menteri tetap tak akan berkenan menerimanya lagi. Saya yang akan menarik dia. Belum tahu nanti saya tempatkan dimana. Yang pasti dia tidak akan tampak disekitar sini lagi”. Lanjut Pak Roso, suaranya tampak sekali unhappy.
Dalam hati saya membatin, inilah yang dikatakan oleh pepatah:
”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”.
Tapi saya sama sekali tak berniat mengutarakannya kepada Pak Roso, karena saya tidak yakin apakah beliau sama sekali tidak mengerti adanya intrik dan konspirasi untuk menyingkirkan ajudan ‘bawaan’ Pak Pardjo. Saya dan Dik Syaiful.
Yang terpenting bagi saya adalah, kini sudah terbukti sekali lagi kebenaran pepatah Jawa yang saya yakini: “Becik kethithik, ala ketara. Sapa salah seleh”.
(Yang benar maupun yang salah akan ketahuan. Siapa bersalah, akan menerima hukuman).
Mengenai pepatah ini, pasti Pak Roso tahu, karena beliau juga orang Jawa.
Sejak terbongkarnya ‘aib’ itu, saya tak pernah lagi melihatnya dikantor pusat Depdagri. Pak Roso juga tidak mau memberitahu saya perihal penempatan dia. Mungkin beliau terlanjur malu.
Ya, Saya memang tetap meyakini: “Sapa salah, seleh” (siapa bersalah, mendapat hukuman).
bersambung.....
Akhirnya semua yang 'berkedok' tak bertahan ya....
BalasHapus