(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (65)
Released by mastonie, Saturday, July 10, 2010 at 04.17 pm
Ternyata di Belanda ada maling tape mobil juga.
Selama berada dinegeri Belanda, Pak Pardjo mendapatkan pinjaman mobil dari KBRI, sebuah sedan Mercedes Benz keluaran terbaru berplat nomor CD 208.
Sewaktu masuk kedalam mobil mewah itu saya agak terkejut. Bukan karena ‘left hand drive’ (setir kiri), karena hampir semua Negara di Eropa, kecuali Inggris, memakai sistem kemudi kiri. (Jadi Indonesia ternyata malah meniru Inggris, yang justru tidak terlalu lama menjajah negeri kita dibanding Belanda). Tapi tidak seperti layaknya dashboard mobil mewah, selain piranti pengatur hawa (AC), mobil ini tidak mempunyai perangkat audio (radio dan tape) yang biasanya jadi standar pabrik. Saya tidak tahu kenapa.
Untuk menghormati Pak Pardjo yang juga Menko Kesra, Dubes RI untuk Belanda, Bapak M. Romly, mengadakan jamuan makan malam disebuah restoran Cina yang terkenal di Amsterdam.
Pada sore hari Selasa, 20 September 1988, menjelang malam, semua mobil staf KBRI yang ikut jamuan makan malam diparkir berderet didepan restoran. Mobil Pak Dubes Romly (juga Mercedes Benz) diparkir agak jauh, karena beliau datang paling akhir.
Hidangan andalan restoran ini adalah “Peking Duck” (bebek Peking/Beijing), yang kebetulan adalah makanan kesukaan Pak Pardjo. Diiris sangat tipis, daging (atau lebih tepatnya kulit) bebek goreng itu rasanya begitu “kemripik” (renyah) dimulut. Apalagi disajikan dengan saus berwarna coklat yang sangat lezat rasanya.
Sedang enak-enaknya saya ‘merem-melek’ (terlena) menikmati hidangan, tiba-tiba diluar terdengar suara sangat keras “DUG”! Lalu terdengar teriakan beberapa orang disusul suara gaduh orang berlarian. Secara refleks saya beserta seorang petugas Protokol KBRI yang duduk paling dekat dengan pintu depan langsung melompat keluar. Tampak orang-orang sedang mengerumuni mobil Merci mewah milik Pak Dubes. Beberapa orang lagi berlarian mengejar seseorang yang sudah tidak tampak lagi batang hidungnya, menghilang dikeremangan malam.
Astagfirullah! Saya terkejut sekali melihat kaca jendela sebelah kanan depan dari mobil mewah Dubes RI itu sudah hancur berantakan. Dashboard nya tampak berantakan, beberapa kabel menjuntai dan perangkat audionya sudah raib!
Saya sungguh tercengang. Di Ibukota negeri Belanda ternyata keamanan juga bukan jaminan, apalagi pencurinya kelihatan sekali sangat profesional. Terbukti kejadian itu sungguh berlangsung sangat cepat. Dari suara “DUG” sampai saya meloncat keluar tidak sampai tiga menit. Apalagi sopir pak Dubes yang berada diluar, lebih cepat lagi mengejar sambil berteriak. Tapi si maling sudah berhasil dengan ‘sukses’….kabur membawa barang curiannya. Konon dikota Amsterdam dan sekitarnya memang terkenal rawan dengan ‘alap-alap’ tape mobil. Katanya pelakunya adalah orang-orang imigran berkulit gelap (!) yang memang sudah dapat cap sering melakukan tindakan kriminal.
Sekarang saya baru tahu mengapa mobil Mercedes Benz yang dipinjamkan kepada Pak Pardjo tidak dipasangi perangkat audio alias radio tape mobil.
Lha wong mobil Mercedes Benz milik Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda saja masih di”kerjain” juga. Teganya….
Ke Leiden, kota sepeda onthel.
Hari Rabu, tanggal 21 September 1988, Pak Pardjo mempunyai rencana untuk melakukan ‘general check up’ di “Leiden University Medical Center” (Rumah Sakit Universitas Leiden). Kota Leiden terletak hanya sekitar 20 kilometer disebelah selatan Den Haag. Jarak yang relatif dekat bila ditempuh dengan mobil. Kota kecil yang dibangun pada tahun 1575 ini mengingatkan saya pada kota Yogyakarta ‘tempo doeloe’, yang pernah disebut sebagai ‘Kota Pelajar’. Yogya waktu itu penuh dengan pelajar yang bersepeda. Leiden juga bisa disebut begitu, karena penduduknya (tidak peduli professor, dokter, mahasiswa ataupun masyarakat kebanyakan), juga pergi kemana-mana dengan naik sepeda onthel. Jarang sekali yang memakai kendaraan bermotor. Dimana saja bisa kita temukan sepeda. Bahkan tempat parkir sepeda di Universitas Leiden, lebih luas daripada tempat parkir yang disediakan untuk mobil. Tidak jarang parkir untuk mobilpun ‘diserobot’ untuk memarkir sepeda.
Tapi seiring dengan makin banyaknya sepeda, konon maling sepeda banyak juga. Jadi tak heran saya mendengar gurauan begini:
“Jika anda bertemu dengan sepuluh orang yang sedang naik sepeda di Leiden, lalu anda iseng berteriak: Lho itu sepeda saya!, Maka dapat dipastikan ada lima orang yang loncat dari sepeda dan langsung lari terbirit-birit”.
Artinya? Ya, anda artikan sendiri saja deh. Gitu saja masih nanya.
Jalan-jalan dikota Leiden ditanami dengan pohon peneduh yang rindang, saya tidak tahu nama pohon yang ditanam itu, tapi yang pasti bisa saya rasakan adalah udara kota Leiden sangat sejuk segar. Sejak dulu kala memang Pemerintah Belanda tampak sangat peduli pada pohon peneduh jalan. Banyak kota-kota di Jawa yang dulu (oleh pemerintah kolonial Belanda) juga ditanami pohon peneduh jalan seperti Kenari, Mahoni, Trembesi atau Asam Jawa yang bisa mencapai ratusan tahun usianya. Tapi saya tidak tahu lagi bagaimana kini nasib pohon-pohon peneduh itu.
Sebagai kota tua, Leiden mempunyai banyak sekali Museum, bisa dikatakan museum apa saja ada disini. Juga bangunan bersejarah dari awal abad 16 yang sampai saat ini masih berdiri. Beberapa diantaranya adalah Stadhuis (Balaikota), yang pernah terbakar ditahun 1929, tapi masih bisa diselamatkan. Juga sebuah ‘windmolen’ (kincir angin) kuno yang dahulu berfungsi sebagai alat pemipil jagung, tapi kini telah dijadikan museum juga bernama Molen de Valk.
Universitas Leiden sendiri adalah bangunan yang juga berasal dari abad ke 16. Tapi sampai saat Pak Pardjo melakukan pemeriksaan kesehatan disana (pada tahun 1988), gedung itu masih tampak kokoh dan sangat terpelihara. Belanda rupanya tahu betul cara merawat dan memelihara bangunan kunonya.
Oleh sebab itu sesungguhnya sangat mengherankan kalau bangsa kita yang pernah ‘dikuasai’ selama ratusan tahun oleh Belanda, tidak bisa mewarisi satupun sisi baiknya, paling tidak dalam hal menata kota dan merawat bangunan kunonya saja.
Alangkah sayangnya.
foto: airliners.net
Hari Sabtu tanggal 24 September 1988 pagi hari, pesawat Jumbo KLM dari Amsterdam mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.
Berakhir sudah perjalanan panjang Delegasi RI yang dipimpin Menko Kesra Soepardjo Roestam guna mengemban tugas mewakili Presiden RI memenuhi undangan Presiden Kim Il Sung, dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaaan yang ke 40 Republik Rakyat Demokrasi Korea (Korea Utara).
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar